BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN HANBAL
Nama
lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Asad Ibn Idris Ibn Abdullah
Ibn Hasan al-Syaibaniy. Ibunya bernama Syarifah Maimunah binti Abdul Malik Ibn
Sawadah Ibn Hindun al-Syaibaniy, jadi baik dari pihak ayah maupun ibu, Imam
Ahmad bin Hanbal berasal dari salah satu kabilah yang berdomisili di
semenanjung Arabia. Imam Ahmad bin Hanbal lahir di Baghdad pada bulan rabi’ul
awal tahun 164 H/780 M. Ayah dan ibunya sebenarnya berasal dari kota Marwin
wilayah Khurasan, tetapi dikala ia masih dikandungan, ibunya pergi ke Baghdad
dan di sana beliau dilahirkan.
Imam Ahmad bin Hanbal
adalah imam yang keempat dari fuqaha Islam. Ahmad bin Hanbal adalah seseorang
yang mempunyai sifat-sifat luhur dan budi pekerti yang tinggi. Garis Silsilah
Ahmad bin Hanbal bertemu dengan keturunan Rasulullah SAW. Pada Mazin ibn Muadz
Ibn Adnan. Ibnu Hanbal dikenal sebagai seorang yang wara, zuhud, amanah, dan
sangat kuat berpegang pada yang haq, ia hafal al Qur’an dan mempelajari bahasa,
belajar menulis dan mengarang ketika berusia empat belas tahun. Ia hidup sebagai
seorang yang cinta menuntut ilmu dan bekerja keras, sehingga ibunya merasa
kasihan kepadanya. Bahkan diceritakan ia pernah ingin keluar untuk menuntut
ilmu sebelum terbit fajar, namun ibunya meminta agar ditunggu saja hingga
orang-orang bangun tidur. (Huzaimah Tahido Yanggo. 137).
Semula beliau dididik dan
dibesarkan oleh kedua orang tuanya, tetapi dalam usia 30 tahun, suatu usia yang
sangat muda, bapak beliau meninggal dunia, sehingga kelanjutan pendidikan di
biayai oleh ibunya. Maka sejak kecil mulailha beliau belajar membaca dan
menghafal al Qur’an, pada usia 14 tahun beliau telah hafal seluruh al Qur’an.
Jenjang keilmuannya
pertama di mulainya di kota Baghdad dan sekitarnya, dengan mempelajari ilmu
fiqh di kota itu yang mana sedang berkembang fiqh madzhab Irak, suatu madzhab
yang dikembangkan oleh penganut madzhab Hanafi. Karena kebanyakan para ulama
fiqh yang terkenal adalah ulama-ulama dari madzhab Irak ini. Maka beliau
berguru kepada seorang ulama fiqh terkenal yaitu Abu Yusuf, seorang sahabat dan
murid terkenal dari Imam Hanafi. Setelah beliau menguasasi fiqh, beliau mulai
belajar hadits dan ilmu hadits kepada ulama-ulama hadits yang ada di Irak ketika
itu.
Beliau pertama kali
belajar hadits kepada Husyaim bin Abi Hazim al Wasithi (W.183 H). Lima tahun
beliau belajar kepada Husyaim dan pengaruh Husyaim sangat besar pada pribadi
beliau. Pada waktu itu juga beliau belajar kepada Umar bin Abdullah bin Khalid,
Abdurrrahman bin Mahdi dan Abu Bakar bin Iyasy. Saat menunaikan ibadah haji di
Mekkah, beliau bertemu dengan Imam Syafi’I, kemudian belajar ushul fiqh dan
cara-cara mengistibatkan hokum dari Imam Syafi’I. Kepada Sufyan bin Uyainah juga, Ahmad bin Hanbal menuntut
ilmu hadits dan menerima hadits yang ada padanya.
Ada beberapa sifat atau
keadaan yang dimiliki Imam Abu Ahmad, sehingga dengan mudah ia dapat menguasai
beberapa cabang ilmu agama Islam dalam waktu singkat, yaitu : Pertama, mempunyai kemampuan hafalan
yang luar biasa. Kedua, mempunyai
sifat sabar, tabah, tahan menderita, dan tekun menghadapi semua pekerjaan yang
beliau lakukan. Ketiga, menjauhkan
diri dari tindakan, sikap, dan pendapat yang diragukan kebenarannya. Keempat. Melakukan segala sesuatu dengan
ikhlas; semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT (M. Ali Hasan. 224).
POLA PEMIKIRAN, METODE ISTIDLAL DAN FAKTOR-FAKTOR PENETAPAN
HUKUM IMAM AHMAD BIN HANBAL
Karena kecintaannya kepada
hadits, Ibnu Jarir dan Ibn Kutaibah menggolongkan Imam Ahmad bin hanbal ke
dalam ulama hadits, bukan ulama fiqh (fuqoha), karena Imam Hanbali tidak
membukukan fiqhnya ke dalam suatu kitab dan tidak pula mendiktekannya kepada
murid-muridnya seperti yang dilakukan Abu Hanifah. Sementara Pegangan dalam penukilan
fiqihnya adalah kegiatan dari murid-muridnya. (M. Ali Hasan. 224).
Ahmad Amin dalam Dhuha al-Islam menyimpulkan, sebenarnya
fiqh ibnu Hanbal lebih banyak didasarkan pada hadits, yaitu apabila terdapat
hadits yang shahih, sama sekali tidak diperhatikan faktor-faktor lainnya dan
apabila didapati ada fatwa sahabat. Maka fatwa tersebut diamalkan. Tetapi
apabila didapati beberapa fatwa sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka
dapat dipilih mana di antara fatwa sahabat tersebut yang mendekati al Qur’an dan
sunnah.
Imam Ahmad bin Hanbal pada
dasarnya tidak menulis kitab fiqh secara khusus, karena semua masalah fiqh yang
dikaitkan dengannya sebenarnya berasal dari fatwanya sebagai jawaban dari
pertanyaan yang pernah ditanyakan kepadanya. Sedangkan yang menyusunnya
sehingga menjadi sebuah kitab fiqh adalah pengikutnya. Sementara metode
istidlal imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:
a.
Nash al Qur’an dan sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash
dari al Qur’an dan dari sunnah rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan
hukum adalah dengan nash itu.
b.
Fatwa para sahabat nabi SAW.
Apabila tidak mendapatkan suatu nash yang
jelas dari al Qur’an maupun hadits shahih, maka Ahmad bin Hanbal menggunakan
fatwa dari para sahabat nabi yang tidak ada perselisihan dikalangan mereka.
c.
Fatwa
sahabat Nabi SAW yang dianggap lebih dekat dengan al Qur’an dan sunnah.
Apabila Imam Ahmad tidak menemukan fatwa
para sahabat nabi yang disepakati sesama mereka, beliau menetapkan hukum dengan
cara memilih fatwa-fatwa mereka yang dipandang lebih dekat dengan al Qur’an dan
sunnah.
d.
Hadits mursal dan hadits dhaif
Apabila Imam Ahmad tidak mendapatkan dari
al Qur’an dan sunah yang shahih, serta fatwa para sahabat yang disepakati atau
diperselisihkan, maka beliau menetapkan hadits
mursal dan hadits dhaif, yang dimaksud
dengan hadits dhaif oleh Imam Ahmad adalah karena ia membagi hadits dalam dua
kelompok. Shahaih dan dhaif, bukan
kepada shahih, hasan dan dhaif seperti kebanyakan ulama lain.
e.
Qiyas
Apabila Imam Ahmad tidak mendapatkan nash, baik al Qur’an
dan sunnah yang shahihah serta fatwa-fatwa sahabat, maupun hadits dhaif dan
mursal, maka Imam Ahmad dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang
imam Ahmad menggunakan al-mashalih al-mursalah
terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, imam Ahmad pernah menetapkan hukum
Ta’zir terhadap orang yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had
yang lebih berat terhadap orang yang minum khamar pada siang hari di bulan
ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh para pengikutnya. (Huzaimah Tahido
Yanggo. 142-143). Begitu pula dengan istihshan, istishab, dan sad al-zarra’I
semuanya masuk dalam bab qiyas, dan jika qiyas diterjemahkan dalam makna luas
yang mencakup semua bentuk istinbat tanpa ada nash, dan imam Ahmad meletakan
qiyas diurutan terakhir dan hanya dalam kondisi darurat. (Rasyad
Hasan Khalil. 196-197).
Imam Ahmad bukan dari
golongan orang yang membenarkan pendapat-pendapat akal secara mutlak, tanpa
bersandar kepada al Qur’an dan sunnah, terlebih dalam masalah ibadah, sehingga
menurut beliau qiyas tidak berlaku sama sekali dalam bidang ibadah dan bidang
halal haram. (M. Ali Hasan. 225).
KARYA-KARYA IMAM AHMAD BIN HANBAL SERTA MURID-MURIDNYA
DAN PERKEMBANGAN MADZHABNYA
Imam Ahmad bin Hanbal
selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik, ia juga seorang pengarang, ia
mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan isinya sangat berharga bagi
masyarakat yang hidup sesudahnya. Di antara
kitab-kitabnya adalah sebagai berikut: kitab al Musnad, kitab Tafsir Qur’an, kitab
al Nasikh dan al Mansukh, kitab al Muqaddam wa al Muakkhar fi al Qur’an, kitab
Jawabatu al Qur’an, kitab al Tharikh, kitab Manasiku al Kabir, kitab Manasiku
al Shaghir, kitab Tha’atu al-Rasul, kitab al-Illah, kitab al-Salah. (Huzaimah
Tahido Yanggo. 140-145).
Madzhab ini tersebar di
berbagai negeri Islam, di antaranya Irak, Mesir, semenanjung Arab, dan Syam. Kemudian
dengan munculnya imam Muhammad bin Abdul Wahab sebagai pendiri dakwah
salafiyah, menjadikan mazhab hanbali menjadi madzhab resmi kerajaan Saudi
sampai sekarang, sehingga ia menjadi semakin kuat dan terus berkembang. (Rasyad
Hasan Khalil. 200).
Dan di antara para ulama
yang telah berjasa mengembangkan madzhabnya adalah: al Atsram abu Bakar Ahmad
ibn Haniy al Khurassany, Ahmad bin Muhammad ibn al-Hajjaj al Murwaniy, ibn
Ishaq al Harbiy, al Qassim Umar ibn Abi Ali al Husean al Khiraqiy, Abd. Aziz
ibn Ja’far dan para penerusnya.
DAFTAR
BACAAN
Huzaimah Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,
Jakarta. Logos Wacana Ilmu, 1997.
M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Jakarta. Grafindo
Persada, 2002.
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri, Sejarah Legislasi Hukum Islam,
Jakarta. Amzah. 2009.
No comments:
Post a Comment