Mentalitas Jiwa Beragama dalam Membentuk Kepribadian

Setting kondisi bangsa arab sebelum islam hadir ketengah masyarakatnya, dikenal dengan zaman zahiliyah ( kebodohan ), bukan karena mereka tidak pandai membaca dan menulis atau tidak terampil dalam mengolah daya kreatifitasnya, melainkan ditengah-tengah kondisi sosial masyarakatnya mereka masih menyembah berhala (patung-patung yang di buat oleh tangan manusia), membunuh bayi wanita, menjalankan praktek riba dalam perdagangan, mabuk minuman keras, judi,dan zina adalah bagian dari tradisi atau praktek yang biasa dilakukan dan terjadi pada waktu itu. Inilah yang dimaksud dengan tradisi zahiliyah pra-islam datang.
Kemudian dengan hadirnya islam ketengah-tengah bangsa arab yang di bawa oleh nabi Muhammad SAW telah merubah segala tatanan hidup yang biasa terjadi, sehingga bangsa arab pada akhirnya dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi oleh dunia. Keberhasilan nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran islam untuk membangun peradaban tinggi tersebut, tidak terlepas dari misi kerasulan itu sendiri yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Tentunya, peradaban tinggi tidak tercapai apabila pribadi-pribadi masyarakatnya masih buruk, dalam hal ini pribadi/perangai/akhlak nabi yang tercermin dalam bersikap dan tingkah laku dengan realitas sosial yang ada menjadi penopang seutuhnya atas risalah yang di bawa oleh beliau.
Dalam konteks ke-kinian, persaingan arus global yang hadir ditengah-tengah masyarakat telah menjadi sebuah tantangan dan kenyataan yang harus di hadapi dan di jalani oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan persoalan hidup yang akan muncul di kemudian hari, agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan moral atau krisis moralitas, maka dibutuhkan pribadi-pribadi manusia unggul dengan mentalitas yang sehat, selalu memberikan dampak positive terhadap lingkungan sosialnya, hal ini akan dapat terwujud apabila masing-masing sumber daya manusia yang ada mampu mereflesikan nilai-nilai ajaran agamanya dalam keseharian, karena agama selalu mengajarkan ummatnya untuk menciptakan kemaslahatan.
A.    Kesehatan Mental
Manusia mempunyai sifat yang holistik, dalam artian manusia adalah makhluk fisik, psikologis, sekaligus rohani, dan aspek-aspek ini kemudian saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi karena merupakan satu kesatuan dari unsur manusia. Hal ini menandakan bahwa kondisi fisik manusia adalah bagian integral dari kondisi psikologis dan rohaninya.  Apabila fisik (jasmaninya) sakit, akan berdampak pada kondisi psikologis dan rohaninya, begitupun juga sebaliknya.
Untuk itu, perawatan jasmani menjadi penting karena kondisi fisik mempunyai pengaruh langsung terhadap kesehatan emosi manusia, misalnya penyakit-penyakit tertentu sekaligus penggunaan obat-obatan tertentu untuk mengobati problema-problema fisik dapat menimbulkan gejala-gejala atau simptom depresi.[1]
Seseorang dikatakan sehat secara jasmani apabila memiliki energi, daya tahan yang cukup, dan kekuatan untuk menjalankan aktivitas dengan kondisi badan terasa nyaman dan sehat. Selanjutnya, menurut Dr. Kartini Kartono mental yang sehat memiliki sifat-sifat yang khas, antara lain mempunyai kemampuan untuk bertindak secara efisien, memiliki tujuan-tujuan hidup yang jelas, memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian  dan memiliki batin yang selalu tenang.
Menelaah pernyataan tersebut, dapat di sarikan bahwa jika seseorang manusia sehat secara jasmani dan mental, selain akan terhindar dari gejala penyakit kejiwaan dengan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwanya, akan mampu menempatkan pribadinya secara harmonis dan baik untuk dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya.
Keselarasan fungsi jiwa dan menempatkan pribadi dengan baik di tengah realitas sosial tersebut akan terfleksi dengan menjalankan ajaran agama, norma, hukum, dan moral yang terdapat dikomunitas sosial yang ada. Sehingga akan tercipta suasana bathin yang tenang, jauh dari kegelisahan dan akan mencapai kebahagiaan pada diri orang tersebut.  
Kesehatan mental apabila ditinjau dari sisi etimologi, kata ‘’mental’’ berasal dari bahasa latin, yaitu ‘’mens’’ atau ‘’mentis’’ yang berarti roh, sukma, jiwa, atau nyawa. Dalam bahasa yunani, kesehatan terkandung dalam kata ‘’hygience’’ yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari hygience mental ( ilmu kesehatan mental).[2] Mengutip beberapa definisi dari dari para pakar (Burhanudin:1999) yang dimaksud dengan kesehatan mental adalah :
1.      Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala jiwa (neorose) dan gejala penyakit jiwa (psychose).
2.      Kesehatan mental adalah adanya kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk meyesuaikan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungannya.
Sejalan dengan definisi diatas, untuk sampai pada mental yang sehat, seseorang harus terlebih awal mengenal dirinya sendiri, memahamai atau sadar akan potensi kekurangan dan kelebihannya, kemudian bertindak sesuai dengan kemampuannya untuk menciptakan kemaslahatan.
B.     Krisis Mental Dan Peran Agama
Secara umum setiap orang potensinya senantiasa memiliki mental yang sehat, namun karena beberapa faktor orang akan terjangkit mentalitas yang  tidak sehat. Seseorang yang tidak sehat secara mental akan mengalami tekanan-tekanan bathin, dengan suasana bathin tersebut akan mengganggu ketenangan hidupnya.
Pada era modern saat ini yang ditandai dengan kemudahan tekhnologi informasi serta  peralatan canggih yang memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhannya, ternyata selain  membawa manfaat positive, juga tidak sedikit meninggalkan efek negative bagi pelaku kehidupannya di dalamnya, manusia lebih cenderung berprilaku konsumtif yang pada akhirnya berpikir hanya bagaimana untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, perkembangan tersebut tidak dapat membawa kebahagiaan bagi manusia, bahkan menyebabkan kehidupan manusia menjadi sukar. Kesukaran material berubah menjadi kesukaran mental. Demikanlah dengan jiwa manusia yang membawa beban semakin berat sehingga timbul kegelisahan, ketegangan dan keresahan bahkan tekanan perasaan yang mengurangi kebahagiaan.
Di tambah lagi, beberapa tahun kebelakang dalam konteks Indonesia, kita di akrabkan dengan istilah krisis multidimensi. Keterpurukan ekonomi, ketidakstabilan politik, ancaman disintegrasi dan sebagainya hampir menjadi santapan setiap harinya.
Namun, sadarkah kita bahwa sesungguhnya yang kita alami saat ini adalah krisis akhlak. Akhlak sangat berkaitan dengan pola pikir, sikap hidup, dan perilaku manusia. Jika akhlak seorang individu buruk, maka sangat mungkin ia akan melahirkan berbagai perilaku yang dampaknya akan merugikan orang lain. Dalam konteks ini, keterpurukan bangsa kita bisa jadi diakibatkan oleh keterpurukan akhlak dari individu-individu di dalamnya.[3]
 Melihat kondisi ini, seakan kita hidup dalam sebuah dunia yang gelap, dimana setiap orang meraba-raba, namun tidak menemukan denyut nurani dan tidak melihat sorot mata persahabatan yang tulus, dalam hal ini masyarakat mungkin mengalami krisis moral. Krisis moral dapat ditandai oleh dua gejala yaitu tirani dan keterasingan. Tirani merupakan gejala dari rusaknya perilaku sosial, sedangkan keterasingan menandai rusaknya hubungan sosial. Adapun penyebab terjadinya krisis moral itu sendiri adalah :
1.      Adanya penyimpangan pemikiran dalam sejarah pemikiran manusia yang  menyebabkan paradoks antar nilaimisalnya etika dan estetika
2.      Hilangnya model kepribadian yang integral, yang memadukan kesalihan dengan  kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, dan seterusnya
3.      Munculnya antagonisme dalam pendidikan moral
4.       Lemahnya peranan lembaga sosial yang menjadi basis pendidikan moral
Krisis moral ini menimbulkan begitu banyak ketidakseimbangan di dalam masyarakat yang tentunya tidak membuat masyarakat bahagia. Maka solusi yang sangat tepat bagi masalah ini hanya satu yaitu : Kembali kepada jalan agama, karena ajaran agama akan memberikan bimbingan hidup dari masa kecil hingga dewasa, baik melingkupi pribadi, keluarga, masyarakat atau hubungan dengan Allah. Maka bimbingan dan pendidikan agama akan memberikan jaminan kebahagiaan dan ketentraman bathin dalam hidup ini.[4] Sebagaimana yang tertulis dalam al-qur’an yang artinya berbunyi “Maka, barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah : 38)
C.    Akhlak Dalam Kehidupan
Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia itu.[5]
Dalam Islam akhlak dapat di bagi menjadi dua yaitu :
1.      fitriyah, yaitu sifat bawaan yang melekat dalam fitrah seseorang yang dengannya ia diciptakan, baik sifat fisik maupun jiwa.
2.      Muktasabah, yaitu sifat yang sebelumnya tidak ada namun diperoleh melalui lingkungan alam dan sosial, pendidikan, pelatihan, dan pengalaman
Yang pada puncaknya tertuju kepada akhlak Laa Ilaaha Illallaah sebagai kumpulan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan memasuki individu manusia dan merekonstruksi visi dalam membangun mentalitas, serta membentuk akhlak dan karakternya. Demikianlah, Laa Ilaaha Illallaah sebagai kumpulan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan memasuki masyarakat manusia dan mereformasi sistem, serta membangun budaya dan mengembangkan peradabannya.
Walaupun islam merinci satuan akhlak terpuji, namun dengan pengamatan mendalam, kita menemukan satuan tersebut sesungguhnya mengakar pada induk karakter tertentu. Sedangkan akhlak tercela seperti penyakit syubhat dan syahwat, sama bersumber dari kelemahan akal dan jiwa, adapun hal tersebut dapat dilihat faktor-faktor yang membentuk perilaku antara lain meliputi :
Faktor internal :
1.      Instink biologis, seperti lapar, dorongan makan yang berlebihan dan berlangsung lama akan menimbulkan sifat rakus, maka sifat itu akan menjadi perilaku tetapnya, dan seterusnya
2.       Kebutuhan psikologis, seperti rasa aman, penghargaan, penerimaan, dan aktualisasi diri
3.       Kebutuhan pemikiran, yaitu akumulasi informasi yang membentuk cara berfikir seseorang seperti mitos, agama, dan sebagainya
Faktor eksternal :
1. Lingkungan keluarga
2. Lingkungan sosial
3. Lingkungan pendidikan
Dalam konsep Islam, karakter ( Kepribadian ) tidak sekali terbentuk, lalu tertutup, tetapi terbuka bagi semua bentuk perbaikan, pengembangan, dan penyempurnaan, sebab sumber karakter perolehan ada dan bersifat tetap. Karenanya orang yang membawa sifat kasar bisa memperoleh sifat lembut, setelah melalui mekanisme latihan. Namun, sumber karakter itu hanya bisa bekerja efektif jika kesiapan dasar seseorang berpadu dengan kemauan kuat untuk berubah dan berkembang, dan latihan yang sistematis.
Selanjutnya, perlu di perhatikan akan tahapan perkembangan perilaku dari manusia itu sendiri, yang diantaranya terdiri dari beberapa tahap :
·         Tahap I (0 – 10 tahun); Perilaku lahiriyah, metode pengembangannya adalah pengarahan, pembiasaan, keteladanan, penguatan (imbalan) dan pelemahan (hukuman), indoktrinasi.
·         Tahap II ( 11 – 15 tahun);Perilaku kesadaran, metode pengambangannya adalah penanaman nilai melalui dialog, pembimbingan, dan pelibatan
·         Tahap III ( 15 tahun ke atas);Kontrol internal atas perilaku, metode pengembangannya adalah perumusan visi dan misi hidup, dan penguatan tanggung jawab kepada Allah.
Kemudian yang harus diperhatikan adalah tentang ambivalensi kejiwaan manusia  , yaitu dua garis jiwa yang berbeda bahkan berlawanan, namun saling berhadapan yang mana fungsinya adalah untuk :
1.      Merekatkan sisi-sisi kepribadian manusia tetap agar utuh
2.      Memperluas wilayah kepribadian manusia dengan tetap menjaga pusat keseimbangannya
3.      Menjaga dinamika perkembangan jiwa manusia
Seseorang akan memiliki tingkat kesehatan mental yang baik, jika garis jiwa yang ambivalen berjalan dan bergerak secara harmonis, seakan simfoni indah orkestra handal. Maka langkah yang harus ditempuh agar simfoni tersebut mengalun indah dan harmonis adalah :
1.      Atur posisi dan komposisi garis jiwa itu secara benar, dan hilangkan semua kecenderungan jiwa yang salah
2.      Berikan atau tentukan arah kecenderungan jiwa secara benar dan natural.
3.      Lihat ekspresinya dalam bentuk sikap dan perilaku kesehariannya
Garis jiwa yang ambivalen ada dalam diri manusia sejak ia lahir sampai ia mati, melekat, dan mewarnai semua sisi kehidupannya. Walaupun demikian, tetap ada perbedaan mendasar tentang objek dan alasan yang melahirkan garis jiwa menjadi perilaku, pada tahapan usia yang berbeda pula.
Kepribadian yang sehat memiliki pengaturan (regulasi) dan penyesuaian (integrasi) yang baik dan harmonis. Dengan demikian, jika seseorang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri, maka ia akan mengalami gangguan jiwa atau mental. Dalam upaya membangun kepribadian seseorang, kepribadian dapat terbentuk setelah seseorang melalui proses :
1.      Adanya nilai yang diserap seseorang dari berbagai sumber, mungkin agama, ideologi, dan sebagainya
2.      Nilai membentuk pola pikir seseorang yang secara keseluruhan ke luar dalam bentuk rumusan visinya
3.      Visi turun ke wilayah hati dan membentuk suasana jiwa yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk mentalitas
4.      Mentalitas mengalir memasuki wilayah fisik dan melahirkan tindakan yang secara keseluruhan disebut sikap
5.      Sikap yang dominan dalam diri seseorang secara kumulatif mencitrai dirinya adalah kepribadian

Selanjutnya, yang harus difahami juga adalah bagaimana melakukan perubahan karakter, tentunya perubahan karakter dalam rangka membentuk pribadi yang bernilai positive, mengingat dalam islam sendiri karakter (Kepribadian) tidak sekali terbentuk, lalu tertutup, tetapi terbuka bagi semua bentuk perbaikan, pengembangan, dan penyempurnaan, sebab sumber karakter perolehan ada dan bersifat tetap. Adapun tiga langkah merubah karakter, diantaranya adalah :
1. Terapi kognitif
Cara yang paling efektif untuk memperbaiki karakter dan mengembangkannya adalah dengan memperbaiki cara berfikir.
Langkah :
Pengosongan, berarti mengosongkan benak kita dari berbagai bentuk pemikiran yang salah, menyimpang, tidak berdasar, baik dari segi agama maupun akal yang lurus
Pengisian, berarti mengisi kembali benak kita dengan nilai-nilai baru dari sumber keagamaan kita, yang membentuk kesadaran baru, logika baru, arah baru, dan lensa baru dalam cara memandang berbagai masalah
Kontrol, berarti kita harus mengontrol pikiran-pikiran baru yang melintas dalam benak kita, sebelum berkembang menjadi gagasan yang utuh
Doa, berarti bahwa kita mengharapkan unsur pencerahan Ilahi dalam cara berfikir kita

2. Terapi mental
Warna perasaan kita adalah cermin bagi tindakan kita. Tindakan yang harmonis akan mengukir lahir dari warna perasaan yang kuat dan harmonis
Langkah :
Pengarahan, berarti perasaan-perasaan kita harus diberi arah yang jelas, yaitu arah yang akan menentukan motifnya. Setiap perasaan haruslah mempunyai alasan lahir yang jelas. Itu hanya mungkin jika perasaan dikaitkan secara kuat dengan pikiran kita
Penguatan, berarti kita harus menemukan sejumlah sumber tertentu yang akan menguatkan perasaan itu dalam jiwa kita. Ini secara langsung terkait dengan unsur keyakinan, kemauan, dan tekad yang dalam yang memenuhi jiwa, sebelum kita melakukan suatu tindakan.
Kontrol, berarti kita harus memunculkan kekuatan tertentu dalam diri yang berfungsi mengendalikan semua warna perasaan diri kita
Doa, berarti kita mengharapkan adanya dorongan Ilahiyah yang berfungsi membantu semua proses pengarahan, penguatan, dan pengendalian bagi mental kita

3. Perbaikan fisik
Sebagaimana ahli kesehatan mengatakan bahwa dasar-dasar kesehatan itu tercipta melalui perpaduan yang baik antara tiga unsur :
1.   Gizi makanan yang baik dan mencukupi kebutuhan
2.   Olahraga yang teratur dalam kadar yang cukup
3.   Istirahat yang cukup dan memenuhi kebutuhan relaksasi tubuh
Dalam Hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad : Rasulullah bersabda, “Inginkah kalian kuberitahu tentang siapa dari kalian yang paling kucintai dan akan duduk di majelis terdekat denganku di hari kiamat?”
Kemudian Rasul mengulanginya sampai tiga kali, dan sahabat menjawab “Iya, ya rasulullah ! ” Lalu rasul bersabda, “Orang yang paling baik akhlaknya.”











Manusia ideal dalam konteks agama adalah manusia yang mampu menjalankan potensinya dengan menyelaraskan hubungannya secara vertikal kepada Tuhannya dan berinteraksi sosial secara horizontal terhadap sesamanya dalam rangka membangun kemaslahatan atau kebahagian secara kolektif, dengan saling memberikan manfaat bagi sesamanya.
Untuk itu, dibutuhkan sosok manusia cerdas yang sehat secara fisik, psikologis dan rohaninya, atau dalam termonologi lainnya adalah sehat secara jasmani dan rohaninya, karena dengan faktor-faktor tersebutlah yang akan melahirkan pribadi-pribadi yang dalam konteks sosial kehidupannya dapat member nilai manfaat untuk dirinya, orang lain, masyarakat dan lingkungannya.
Tentunya, kepribadian dari sumber daya manusia tersebut tidak akan lahir jika didalam diri mereka tidak terdapat mentalitas yang kokoh yang pada awalnya di bentuk dari ajaran dan doctrinal agama, karena mengingat agama adalah jalan yang akan membawa seseorang kepada keselamatan yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang disediakan untuk mengatur tatanan hidup manusia menuju kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan semu.
Karena manusia adalah makhluk dinamis, maka kepribadian tidak serta merta hadir dengan sendirinya, akan tetapi dapat di bentuk dengan penggemblengan mental atau penyadaran  dengan bersandar kepada normatifitas ajaran agama.






DAFTAR PUSTAKA

Burhanudin, Yusak, Kesehatan Mental, Pustaka Setia, Bandung;1999
Gymnastiar, Abdullah, Refleksi Untuk Membangun Nurani Bangsa, MQS. Publishing, Bandung; 2004
Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Haji Masagung, Jakarta;1990

http://c3i.sabda.org/penyebab_masalah_kejiwaan










[1] http://c3i.sabda.org/penyebab_masalah_kejiwaan

 

[2] Drs. Yusak Burhanudin, Kesehatan Mental, Pustaka Setia, Bandung, 1999. hl.9
[3]Abdullah Gymnastiar,Refleksi Untuk Membangun Nurani Bangsa,MQS Publishing, bandung 2004.h.36
[4]  Ibid. h. 105
[5] http://pustaka-ebook.com/membentuk-karakter-cara-islam/

Lembaga dan Lingkungan Pendidikan

A.      Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan yaitu lingkungan sekitar yang sengaja digunakan sebagai alat dalam proses pendidikan seperti pakaian, keadaan rumah, alat permainan, buku-buku, alat peraga dan lain-lain. (Wens Tanlain, Dkk., 1988)
Menurut wujudnya lingkungan ini dibagi menjadi 4 bagian:
1.        Lingkungan berwujud manusia seperti orang tua atau keluarga, teman-teman bermain, tetangga, teman sekolah, dan kenalan-kenalan lain.
2.        Lingkungan kesenian berupa macam-macam pertunjukkan, seperti pertunjukkan yang ada di televisi.
3.        Lingkungan kesusastraan, seperti bermacam-macam tulisan, atau bacaan yang ada dikoran.
4.        Lingkungan berwujud tempat yaitu seperti tempat tinggal dimana anak dibesarkan (iklim tempat tinggal).
Sementara itu Ki Hajar Dewantara membagi lingkungan pendidikan menjadi 3 bagian, yang terkenal dengan istilah ‘‘Tri Pusat Pendidikan’’yaitu:
1)      Lingkungan keuarga.
2)      Lingkungan sekolah.
3)      Lingkungan masyarakat.

1.         Lingkungan keluarga
     Keluarga sebagai kesatuan hidup bersama, menurut ST. Vembiarto, mempunyai 7 fungsi yang ada hubungannya dengan kehidupan anak, seperti:
a.       Fungsi biologis; yaitu keluarga merupakan tempat lahirnya si anak.
b.      Fungsi afeksi; yaitu keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).
c.       Fungsi sosialisasi: yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak melalui interaksi sosial dalam keluarga.
d.      Fungsi pendidikan; yakni keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak.
e.       Fungsi rekreasi; yaitu keluarga merupakan tempat rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan dan kegembiraan.
f.       Fungsi keagamaan; yaitu keluarga merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi para anggotanya, disamping peran  yang dilakukan institusi agama.
g.      Fungsi perlindungan; yaitu keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun sosialnya.

2.         Lingkungan sekolah
Fungsi dan peran lingkungan sekolah pada umumnya adalah:
a)         Mempertajam dan mencerdaskan intelektual si anak.
b)        Penyempurnaan pendidikan dalam keluarga maupun keagamaan.
c)         Sebagai pewaris dan pemelihara kebudayaan dan sebagai agen pembaharu kebudayaan.
d)        Untuk melayani kepentingan negara, seperti yang ditetapkan oleh pemerintah karena pemerintah mengatur segala sesuatu yang menyangkut kepentingan seluruh rakyat.

3.         Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok orang manusia yang hidup bersama di suatu wilayah dengan tata cara berfikir dan bertindak yan relatif sama yang membuat warga masyarakat itu menyadari diri mereka sebagai suatu kelompok.
Masyarakat  yang dimaksud sebagai lingkungan pendidikan disini bukan dari segi kumpulan orang-orangnya, tetap dari segi karya manusianya, budayanya, sistem-sistemnya, serta pemimpin-pemimpin masyarakat, baik yang formal maupun informalnya; termasuk didalamnya juga terdapat kumpulan organisasi-organisasi pemuda dan sebagainya.

B.       Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan terbagi kedalam 3 bagian yaitu:
1.      Lembaga formal,
Salah satu lembaga pendidikan formal adalah sekolah, sebagai lembaga yanng dikatakan formal karena penyelenggaraannya diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai jenjang dalam kurun waktu tertentu, dan mempunyai aturan resmi sebagai ketetapan.

2.      Lembaga non-formal,
Lembaga pendidikan non-formal atau diluar sekolah ialah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan senngaja, tertib, dan berencana diluar kegiatan persekolahan. Sedangkan yang menjadi pesertanya adalah:
*      Penduduk usia sekolah yang tidak dapat masuk sekolah pendidikan formal atau orang dewasa menginginkannya.
*      Mereka yg terkena Drouf Out dari lembaga formal.
*      Mereka yang tidak meneruskan study di jenjang formal.
*      Mereka yan tela bekerja tetapi memiliki keterampilan tertentu.
Landasan penyelenggaraan pendidikan non-formal berdasarkan surat keputusan Menteri Dep. Dik. Bud. No. 079/0/1975 tanggal 17 april 1975, dengan kualifikasi meliputi pendidikan masyarakat, keolahragaan, dan pembinaan generasi muda.
3.      Lembaga In-formal.
Pendidikan in formal biasanya berlangsung ditengah keluarga, namun bisa saja berlangsung di lingkungan sekitar keluarga tertentu yang berlangsung setiap hari tanpa ada batas waktu, seperti: perusahaan, pasar, terminal, dan lain-lain.
Kegiatan pendidikan ini tanpa suatu organisasi yang ketat tanpa adanya program waktu, tak terbatas, dan tanpa adanya evaluasi. Salah satu alasan kenapa harus ada pendidikan informal ini, karena pendidikan informal inilah yang sebetulnya memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukkan pribadi seseorang.

          Pendidikan ini dapat berlangsug diluar sekolah, misalnya didalam keluarga atau masyarakat, tetapi juga dapat pada saat didalam suasana pendidikan formal/sekolah. Misalnya pada waktu istirahat sekolah, waktu jajan dikantin, atau pada pemberian pelajaran tentang keadaan sikap guru mengajar, atau saat guru memberikan tindakan tertentu pada anak.

Teori Berpikir Filsafat

AKSIOLOGI
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?)

EPISTEMOLOGI
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?

Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan

a.      Empirisme

    Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
     Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual. 
b.      Rasionalisme
          Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c.       Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d.      Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.

ONTOLOGI

Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1.      Objek Formal
    Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.      Metode dalam Ontologi
          Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh :            Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
              Badan itu sesuatu yang lahiri                 (S-Tt)
              Jadi, badan itu fana’                                     (S-P)
         Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh :             Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus                    (Tt-S)
               Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan            (Tt-P)
                Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan                     (S-P)
          Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan




Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...