Paradigma Pendidikan Multikultural H. A. R. Tilaar*

Henry Alex Rudolf Tilaar, lahir dan dibesarkan dari darah seorang guru yang berjiwa nasionalis dan keluarga yang sederhana di desa yang cukup relatif terpencil di tepi Danau Tondano di Sulawesi Utara. Sebagai  pendidik, orang tua Tilaar selalu memberi dukungan, menyemangati-Nya untuk terus belajar dan terus berproses mengikuti jenjang pendidikan. Namun, apa yang sudah saya capai saat ini, ungkap Tilaar, lebih didasarkan pada dorongan pribadi (kemauan) yang tertanam di jiwa saya untuk fokus dalam mengembangkan studi pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Karena itulah saya menempuh studi lebih terkonsentrasi pada bidang pendidikan, berusaha konsekuen terhadap apa yang saya pikirkan, dan kemudian saya letakkan setiap pemikiran saya itu dalam bentuk karya.
Selama menempuh jenjang studi, aktivitas H.A.R. Tilaar semuanya difokuskan untuk mengajar sebagai guru Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Atas (SMA) hampir 5 tahun di Bandung, dan menjadi dosen di perguruan tinggi sampai saat ini.

Apa yang menjadi motivasi Bapak dalam penulisan karya?
Saat melihat kondisi pendidikan yang terjadi di negeri ini, berdasarkan pada apa yang sudah saya alami saat berproses dalam menempuh jenjang studi, dan yang sudah saya jalani selama menjadi guru, maka ini yang menjadi acuan saya dalam menuliskan karya. Dan ternyata buku-buku saya juga menjadi koleksi dari Life of Congress di Amerika Serikat tentunya menjadi studi tersendiri. Sehingga saya diberikan penghargaan Distinguished Alumni Award dari universitas tempat saya belajar.

Pemberian penghargaan tersebut sebetulnya sudah di mulai sejak tahun 1977. Pada waktu itu tahun 2009 lalu, ada tiga orang yang dianugerahi penghargaan tersebut, yang pertama itu, Dr. Young Hwan Kim dari Korea Selatan yang dinilai telah membantu pengembangan e-learning melalui televisi di Korea Selatan dan juga di Asia melalui APEC, Kedua Dr. Joseph J. Russell yang telah memainkan peran penting dalam pengembangan pendidikan masyarakat African-American di Amerika Serikat, dan yang ketiga saya dari Indonesia.

Penghargaan yang diberikan ketika saya sudah 40 tahun tamat dari sekolah tersebut. Yang katanya mereka juga mengikuti pemikiran-pemikiran saya melalui internet. Lalu pertanyaannya, kenapa saya mendapatkan penghargaan tersebut? Karena saya meletakkan prinsip pendidikan nasional itu pada kebutuhan anak Indonesia, bukan kebutuhan yang lain. Oleh karenanya, saya menentang sekolah yang bertaraf Internasional yang menggunakan kurikulum asing yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak Indonesia. Hal ini hanya buang-buang uang tanpa konsep. 
Kritik ini juga saya lontarkan pada saat dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 (UU SISDIKNAS), dengan mengadakan seminar di Harvard University yang mengupas tentang bagaimana membangun satu pendidikan nasional, tapi hal ini tidak diperhatikan oleh bangsa kita, akan tetapi saat salah satu konsultan pendidikan dari Inggris mengeluarkan kritik terhadap masalah ini, seolah menjadi heboh. Nah, pertanyaannya adalah apakah ini yang menjadi mentalitas bangsa kita? Kalau orang Indonesia yang berbicara itu tidak didengar tapi saat orang bule (asing) yang memberikan opsi ini baru didengar, aneh bin ajaib inilah mentalitas bangsa ini. Lima tahun yang lalu sudah saya peringatkan, kaji kembali apakah sudah benar jalan pendidikan bangsa ini.
Sebagai seorang pendidik, kebijakan apa yang telah Bapak tekankan? (Ketika menjabat sebagai guru, dosen, dekan, dan birokrasi pemerintahan).

Melakukan reorientasi dari pendidikan nasional itu sendiri yang kita terapkan, yaitu dengan tetap mengacu pada desentralisasi, tetapi ada peran terbatas mengenai biaya dan lain-lain. Dalam konteks kekinian, bagaimana memberdayakan sekolah-sekolah dengan aturan bagus yang disebut dengan KTSP yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Seharusnya sekolahlah yang mengembangkan KTSP dan hal inilah juga yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah. Begitu juga dengan peran perguruan tinggi baik di kota-kota maupun di daerah. Sedangkan kuncinya adalah guru. Bagaimana guru membuat kurikulum yang cocok dengan daerahnya (potensi daerah), bukan diarahkan untuk bisa berbahasa Mandarin, Jepang, dan sebagainya. Jadi, pendidikan kita ini sebenarnya adalah proses pembodohan rakyat, bukan mencerdaskan kehidupan bangsa ini.

Inovasi pendidikan yang Bapak inginkan?
Membangun sebuah bangsa Indonesia yang besar seperti yang dicita-citakan dalam Revolusi 1945 dan yang sudah kita sepakati dalam Sumpah Pemuda 1928. Bangsa ini yang dibangun dengan darah dan air mata dari pemuda-pemudi kita sejak tahun-tahun permulaan abad 20. Kebangkitan nasional Indonesia yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo, gerakan taman siswa yang dipelopori Ki Hajar Dewantara, serta Sumpah Pemuda yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia. Sudah selayaknya kita selaku generasi bangsa ini, meneruskan jejak perjuangan mereka untuk membangun kembali bangsa Indonesia yang cerdas bukan yang cerdik sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Mohammad Hatta.

Makna pendidikan multikultural menurut Bapak ?
Manusia itu lahir dalam lingkungan dan kebudayaannya sendiri, dan tidak bisa dia menghilangkannya, karena itulah budaya manusia sendiri itu harus dirawat, bukan berarti nasionalisme menjadi hilang karenanya, tapi ternyata manusia ketika pada kebudayaannya, akan terus menapaki orientasinya yang lebih luas mengikuti perkembangannya secara dinamis. Seperti ilustrasi, Anda lahir di bogor berarti orang Sunda, orang Sunda ini lahir dengan budaya Sundanya, bukan budaya Jawa dan bukan budaya Manado. Tetapi budaya Sunda ini diarahkan pada budaya yang lebih abstrak dalam buku saya dijelaskan seakan-akan berbentuk piramida terbalik, kalau mula-mula diturunkan urutannya adalah kekeluargaan, kultur (suku sendiri), lama-kelamaan naik tingkat dan orientasinya menjadi lebih tinggi, lebih luas, yang lebih tinggi itu adalah ke-Indonesia-an. Dari kesundaan itu Anda hanya akan mengetahui akan Bogor saja dan terikat pada kesundaannya. Tetapi, kita sepakat dengan Sumpah Pemuda bahwa kita itu adalah Indonesia. Indonesia yang berakar pada sub-budaya yang ada, itulah keindahan dari Indonesia.

Lalu, bagaimana kita menaiki orientasi yang lebih luas itu ?
Melalui pendidikan multikultural. Dengan menaiki tingkat yang lebih tinggi maka kita akan mempunyai orientasi yang lebih luas yaitu ke-Indonesia-an. Untuk itu multikulturalisme harus dilengkapi dengan apa yang saya sebut dengan meng-Indonesia, sebab menurut saya Indonesia itu adalah suatu proses. Itu harus kita peroleh melalui pendidikan nasional, pendidikan rakyat, untuk menjadi bangsa Indonesia, bukan sudah jadi.

Pada tahun 2007 ada tiga buku yang terbit, pertama yang dieditori oleh Komaruddin Hidayat mengenai Islam bagaimana Indonesia menjadi satu pada zamannya, kedua mengenai sejarah timbulnya Indonesia oleh simbolon dan yang ketiga Tilaar dengan melalui proses pendidikan untuk menjadi Indonesia. Misalnya: bagaimana meninggalkan rasa kesukuan yang sempit menjadi ke-Indonesia-an, maksud dari buku “meng-Indonesia yang saya tulis. 
Kalau saya berpendapat dalam buku itu, tidak menghilangkan identitas suku, karena bagaimanapun orang Sunda sifat kesukuan (kesundaannya) akan tetap melekat, akan tetapi semakin diperhalus karena adanya suku-suku yang lain.  Jadi dengan adanya suku-suku yang lain akan memberikan indeks terhadap pembentukan pribadi kita sebagai identitas suku.
Oleh karena itu, multikulturalisme merupakan sesuatu yang indah untuk Indonesia. Kalau kita berhasil maka kita akan menjadi contoh dunia, antara lain kita bisa melawan apa yang disebut globalisasi tanpa arah, globalisasi yang banyak dikupas oleh para ahli mengenai polemiknya.
Globalisasi antara lain yang dikendalikan oleh modal-modal usaha. Contoh: di mall-mall sekarang banyak terlihat toko-toko yang merupakan cabang-cabang dari negara lain, seperti: Paris, New York, Tokyo. Mengapa demikian itulah yang disebut dengan modal multinasional yang mendikte kita.
Perdagangan bebas yang dimotori WTO pada tahun 2015 nanti, akan diberlakukannya perdagangan bebas ASEAN. Kalau kita tidak siap dan kuat bersaing maka kita akan tergilas oleh negara-negara kuat. Inilah nasib bangsa kita yang dikendalikan oleh Multinational Corporation, korporasi internasional yang memiliki modal besar.
Bagaimana penerepan pendidikan multikultural di Indonesia ?
Implementasi pendidikan multikultural haruslah menyangkut ke dalam semua aspek kehidupan termasuk agama dalam kehidupan sehari-hari. Karena setiap suku bangsa mempunyai keunggulan masing-masing untuk dikembangkan kemudian disumbangkan pada bangsa Indonesia. Seperti budaya sunda mempunyai cara-cara yang halus yang kemudian bisa disumbangkan untuk ke-Indonesia-an, begitu juga dengan agama bukan untuk gontok-gontokan, tetapi saling menghargai keyakinan yang berbeda. Semua aspek itulah yang harus kita kembangkan untuk ke-Indonesia-an. Begitu juga dengan 4 pilar kehidupan nasional kita, yaitu: Pancasila, UUD 45, NKRI & Kebhinekaan yang harus ditanamkan sejak muda.

Bagaimana gagasan Bapak tentang kurikulum pendidikan multikultural ?
Kurikulum pendidikan multikultural itu berisikan ajaran bagaimana menumbuhkan sikap toleran dari warga masyarakat agar supaya mengakui akan pluralisme dalam masyarakatnya, antara lain dalam rangka upaya untuk mengurangi gesekan-gesekan atau ketegangan yang diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat. Dan bagaimana mereduksi berbagai jenis prasangka negatif yang secara potensial hidup dalam masyarakat plural.

Mengenai rancangan kurikulum pendidikan multikultural, kita juga harus melihat otonomi pendidikan yang diberikan kepada daerah, sejalan dengan otonomi daerah yang sekarang sedang berlangsung, maka daerah masing-masinglah yang mempunyai kewenangan menyusun kurikulum pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, karena kondisi sosial dan budaya di masing-masing daerah tentunya berbeda. Untuk itu, kurikulum multikultural harus didesain sesuai budaya daerahnya dan diarahkan pada budaya nasional. KTSP yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat bisa kita jadikan pegangan dalam merancang kurikulum pendidikan multikultural yang sesuai dengan daerahnya masing-masing. Yang harus kita pahami pendidikan multikultural bukan berarti disusunnya mata pelajaran pendidikan multikultural, melainkan kurikulum pendidikan multikultural harus menjiwai semua mata pelajaran dalam lembaga pendidikan baik formal maupun informal.
Bagaimana pandangan Bapak tentang sistem pendidikan nasional ?
Mengenai sistem, jika kita lihat SISDIKNAS sudah nyelonong terkesan tidak mempunyai arah untuk dibawa ke mana pendidikan nasional bangsa kita ini. Contoh saja: Sejak reformasi orang tidak lagi berbicara mengenai pancasila, sejarah nasional, akan tetapi orang lebih banyak berbicara mengenai ujian nasional dengan beberapa mata pelajaran yang menentukan nasib anak. Hal ini yang saya kritik dalam buku yang saya tulis Standarisasi Pendidikan Nasional, ini jelas menghancurkan kepribadian anak. Karena arahannya hanya terorientasi pada fulus saja. Kita menggunakan standarisasi tapi rakyat tidak dijelaskan apa itu standar, yaitu standar yang kita gunakan adalah standar negara-negara maju. Bambang Sudibyo (Mantan Menteri Pendidikan) mengatakan bahwa standar yang dipakai adalah mengikuti negara-negara maju, standar Organization Economic Development (OECD).

Bagaimana kita membangun pendidikan bangsa ini dengan mengikuti standar tersebut, kenapa tidak melihat dari bawah, coba lihat pendidikan pedalaman Kalimantan sana atau di daerah-daerah pedalaman bagian selatan, apakah perangkat-perangkat di sana sudah bisa berjalan untuk menjalankan standar tersebut.
Apa harapan Bapak untuk pendidikan nasional Indonesia  ke depan?
Memiliki tujuan dan arah yang jelas, mempunyai konsep serta mempunyai pemimpin yang tegas. Saya pribadi sekarang merasa tidak memiliki pemimpin yang tegas sehingga menimbulkan kesan tidak memiliki arah yang jelas, yang menurut Gus Solah (KH Sholahuddin Wahid) adanya pemerintah atau tidak itu sama saja, bahkan  Syafii Ma’arif lebih pedas mengeluarkan kritiknya bahwa kita tidak mempunyai presiden lagi.

Mengenai struktur Kemendiknas harus direorientasi meski hal ini sensitif, saya melihatnya terlalu banyak dimasuki oleh politik. bahkan ada NGO yang mempersoalkan akan performance beberapa kementerian seperti; (Keuangan, BUMN, Kemendiknas, dan Kemenag) mengenai kegagalan pengelolaan departemen tersebut. Kalau saya melihat birokrasi itu terlalu banyak dicekcoki oleh partai-partai jadi meskipun tidak mempunyai kemampuan dalam bidangnya, dia dapat menempati posisi strategis. Misalnya saja latar belakang mantan menteri dan menteri pendidikan sekarang, saya tahu betul bagaimana backround pendidikannya, tapi karena support dari partai dia dapat menduduki posisi jabatan tersebut. Ini juga terkait dengan masalah profesionalisme yang harus ditegakkan dalam struktur Kementerian Pendidikan Nasional, kalau kita lihat kenapa bukannya Prof. Azra yang menjadi menteri padahal beliau selain sebagai dosen tamu di Australia juga sudah diakui kapasitasnya secara Internasional. Secara kasat mata, dari hal ini bisa kita lihat bahwa profesionalisme sangatlah kurang ditegakkan. Terkait masalah kebohongan terjadinya banyak korupsi, itu karena profesionalisme yang masih sempit. Salah satu contoh lainnya mengenai PP 19 dalam UU SISDIKNAS mengenai Badan Standar Nasional Pendidikan, salah satu anggotanya ada yang diambil dari pendeta. Lalu, pertanyaannya apakah pendeta tersebut mampunyai konsep untuk pengembangan pendidikan. Inilah salah satu bentuk terlalu besarnya peranan politik sehingga mengesampingkan profesionalisme dengan tidak menempatkan seseorang pada tempatnya.  


*Hasil Wawancara Penulis, Jakarta “Lembaga Manajeman UNJ” 24-Maret-2011


Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...