A. Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
1. Pengertian Pondok Pesantren
Istilah pondok
pesantren terbentuk atas dua kata yang menunjukan satu pengertian, yaitu kata
“pondok” dan “pesantren”. Di Minangkabau dinamakan surau, di Aceh rangkah meunasah
dan pondok di Pasundan. Maka pondok pesantren adalah tempat di mana
anak-anak muda dan dewasa belajar secara lebih mendalam dan lebih lanjut Ilmu
agama Islam yang diajarkan secara sistimatis, langsung dari bahasa Arab serta
berdasarkan pembacaan kitab-kitab klasik karangan ulama besar.[1]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia “pondok” artinya wadah atau asrama tempat mengaji,
belajar agama Islam dan lain sebagainya. Namun secara umum pondok pesantren
adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang melembaga di Indonesia.[2]
Menurut Karel
A. Steenbrink Pondok pesantren dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal
dari India. Sebelum Islam masuk ke Indonesia sistem tersebut telah digunakan
secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Kawa. Kemudian
diambil oleh Islam. Dengan kata lain istilah pesantren bukan berasal dari Bahasa
Arab melainkan dari India.[3]
Pondok
pesantren tradisional adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang
masih memakai sistem lama yaitu yang pelaksanaan pendidikannya belum
menggunakan sistem modern, masih menggunakan sistem sorogan dan bandongan.
Sorogan adalah belajar secara individu dimana seorang santri berhadapan dengan
seorang guru/kyai, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya.
Bandongan adalah belajar secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri.
Sedangkan
pondok pesantren modern (khalaf) adalah lembaga pesantren yamg memasukan
pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang
menyelengarakan tipe sekolah-sekolah umum dan bahkan perguruan tinggi dalam
lingkungannya. Selain itu juga ciri dari pesantren modern adalah dimana figur
kyai tidak lagi menjadi sentral setiap keputusan, setiap perkara yang
menyangkut dengan pesantren harus di putuskan berdasarkan rapat antara para
asatidz (staff pengajar) dengan yayasan. Peserta didik atau santri juga harus
membayar uang pendidikan, sistem belajar yang demokratis dan setiap santri yang
sudah menyelesaikan studinya akan mendapatkan ijazah sebagai tanda kelulusan,
ijazah ini bisa di gunakan sebagai salah satu syarat seandainya santri berniat
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Kyai adalah
pemilik dan penguasa tunggal. Beliaulah yang menentukan segala kebijakan yang
berlaku di dalamnya (pesantren salaf). Adapun mengenai hubungan kyai dengan
kelembagaan pada pesantren modern berbeda dengan pesantren tradisional, yakni
segala kekayaan dan bangunan pesantren umumnya tidak dianggap sebagai milik
kyai, melainkan milik ummat. Sebab pada pesantren modern, pembiayaan
pembangunan pada pesantren tidak hanya dari sang kyai, tetapi juga dari
masyarakat. Banyak kompleks pesantren yang berstatus wakaf baik dari kyai
terdahulu maupun orang-orang kaya disekitar.
2. Hakikat Pendidikan Islam
Gagasan utama
pendidikan, termasuk didalamnya pendidikan Islam, terletak pada pandangan bahwa
setiap manusia mempunyai nilai positif tentang kecerdasan, daya kreatif, dan
keluruhan budi. Peran pendidikan ialah bagaimana nilai positif ini tumbuh dan
menguat. Jika tidak tepat bisa tumbuh sifat negatif; perilaku kekerasan, tidak
perduli terhadap sesama atau kejahatan lain.[4]
Para pakar
pendidikan Islam perlu menelusuri kembali hakikat pendidikan dalam persfektif
Islam. Sabda Nabi Muhammad saw. Disebutkan:
“Jadilah kalian menjadi para
pendidik yang penyantun dan mempunyai pengetahuan. Orang yang disebut
“Rabbaniy” (pendidik) adalah orang yang telah mendidik manusia dengan ilmu
pengetahuan, mulai dari yang paling kecil sampai menuju yang paling tinggi”.
3. Sistem Pendidikan Pesantren
Paling tidak terdapat delapan poin yang
menunjukan karakteristik sistem
pendidikan model pesantren.
1.
Sistem pendidikan berasrama, di mana tri pusat pendidikan menjadi satu kesatuan
yang terpadu. Yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat berada dalam satu
lingkungan, sehingga lebih memungkinkan penciptaan suasana yang kondusif bagi
pencapain tujuan pendidikan.
2. Dalam tradisi pesantren, para santri merupakan subjek
dari proses pendidikan, mereka mengatur kehidupan mereka sendiri (self
governance) melalui berbagai aktifitas, dan interaksi sosial yang sangat
penting artinya bagi pendidikan mereka.
3. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang berasal dari, dikelola oleh,
dan berkiprah untuk masyarakat.
4. Terkait dengan orientasi kemasyarakatan pesantren, lingkungan pesantren
diciptakan untuk mendidik santri agar mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang
mandiri dan bermanfaat, tidak canggung untuk terjun dan berjuang ke masyarakat.
Dalam bidang pekerjaan misalnya, boleh dibilang tidak ada istilah nganggur
(menunggu pekerjaan) bagi para alumni pesantren.
5. Antara
pengajaaran (formal) dan pendidikan (informal)
lebih terintegrasi, sehingga proses pembentukan mental karakter yang didasarkan
pada jiwa, falsafah hidup, dan nilai-nilai pesantren serta transfer knowledge
lebih membumi.
6. Hubungan antara anggota masyarakat pesantren berlangsung dalam suasana
ukhuwwah Islamiyya yang bersumber dari tauhid yang lurus dan prinsip-prinsip
akhlak mulia. Suasana ini tertanam dalam jiwa santri dan menjadi bekal berharga
untuk kehidupan di luar masyarakat pesantren.
7. Pendidikan
pesantren didasarkan pada prinsip-prinsip keikhlasan, kejuangan, pengorbanan,
kesederhanaan, kemandirian, dan persaudaraan. Dengan menjiwai nilai-nilai ini,
pesantren tidak memiliki masalah apapun dengan paradigma School Based
Management (SBM) yang kini menjadi model pendidikan modern pasca reformasi
di Indonesia.
8. Dalam masyarakat
pesantren, Kyai atau pimpinan sekolah, selain berfungsi sebagai central
figure, juga menjadi moral force bagi para santri dan seluruh
penghuni pesantren. Hal ini adalah suatu kondisi yang mesti bagi dunia
pendidikan, tetapi kenyataannya jarang didapati dalam sistem pendidikan selain
pesantren.[5]
B. Sistematika dan Metodologi Pendidikan Pondok Pesantren
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani berarti “hubungan fungsional yang
teratur antara unit-unit atau komponen-komponen”. Tatang M. Arifin
mengemukakan tentang pengertian sistem sebagai berikut:
1. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian bagian.
2.Hubungan
yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur. Sistem
adalah jumlah keseluruhan dari bagian-bagian yang bekerja secara
sendiri-sendiri dan bersama untuk mencapai hasil yang diperlukan berdasarkan
keperluan. Jadi dengan kata lain istilah “systema” itu mengandung arti
“komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan
yang bekerja secara sendiri-sendiri maupun bersama untuk mencapai satu tujuan”.[6]
Sedangkan yang
di maksud dengan metodologi pendidikan yaitu membicarakan cara-cara yang
ditempuh pendidik untuk memudahkan murid memperoleh ilmu pengetahuan,
menumbuhkan pengetahuan ke dalam penuntut ilmu, dan menerapkannya dalam
kehidupan. Untuk memahami cara-cara itu, maka tidak dapat mengabaikan
pengertian ilmu pengetahuan dan cara memperolehnya.[7]
Pola
pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi
pondok pesantren yang sebagaimana di tuangkan dalam ciri-ciri (karakteristik)
pondok pesantren. Berangkat dari pemikiran dan kondisi pesantren yang ada, maka
ada beberapa sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren.
1. Sistem Pendidikan dan
Pengajaran yang Bersifat Tradisional
Dalam hal penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di pondok
pesantren sekarang ini, diharapkan paling tidak dapat di golongkan kepada tiga
bentuk, yaitu:
a. Pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang ada pada
umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara klasikal
(sitem bendungan dan sorogan), dimana seorang kyai mengajar santri-santri
berdasarkan kitab-kitab yang di tulis dalam bahasa Arab oleh para ulama-ulama
besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok
atau asrama dalam pesantren tersebut.
b. Pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada
dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas tetapi para santrinya
tidak disediakan pondokan di komplek pesantren namun tinggal tersebar di
penjuru desa sekeliling pondok pesantren tersebut (santri kalong) di mana cara
dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam di berikan dengan sistem
weton, yaitu para santri datang dengan berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.
c.
Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan
antara sistem pondok dan pesantren yang
memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandungan,
sorogan, ataupun wetonan. Dengan para santri disediakan pondokan atau merupakan
santri kalong yang dalam istilah pendidikan pondok pesantren modern memenuhi
kriteria pendidikan nonformal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal
berbentuk Madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan
aneka kejuruan menurut kebutuhan masayarakat masing-masing.
Berdasarkan
pernyataan tersebut, tampaknya sebagian pondok pesantren tetap mempertahankan
bentuk pendidikannya yang asli sebagian lagi mengalami perubahan. Hal ini lebih
di sebabkan oleh tuntunan zaman dan perkembangan pendidikan di tanah air. Adapun
ciri-ciri khas pondok pesantren yang sekaligus menunjukan unsur-unsur pokoknya,
serta membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya adalah sebagai berikut:[8]
a. Santri
mukim: ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di dalam pondok pesantren, biasanya telah
disediakan pondokan atau asrama di lembaga-lembaga pondok pesantren tersebut.
b. Santri
kalong: ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan
biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren atau di dalam asrama yang
disediakan, mereka pulang kerumah mereka masing-masing setelah mengikuti
pelajaran di pondok pesantren.
Ciri khas
sistem pendidikan dan pengajaran yang di terapkan dalam pondok pesantren adalah
sebagai berikut:
1. memakai
sistem tradisional, dimana pondok pesantren mempunyai kebebasan penuh
menentukan pilihan atas materi yang akan di sorogkan atau di wetonkan kepada
kyai atau ustadz, sehingga terjadi hubungan dua arah antara kyai dan santri.
2. Kehidupan
di pesantren nampaknya semangat demokrasi (berjuang bersama dalam pahit maupun
senang dalam hal lokal atau interlokal) karena mereka praktis bekerjasama
mengatasi problem non-kurikuler mereka.
3.Sistem
pendidikan pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme,
persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
4.Alumni
pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan sehingga mereka hampir
tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.[9]
5.Para santri
tidak mengidap penyakit “simbolis” yaitu perolehan gelar dan ijazah,
karena sebagian besar pondok pesantren tidak mengenal istilah ijazah atau
diploma sebagai bentuk kelulusan pada peserta didik.
Sedangkan
metode pendidikan dan pengajaran yang di terapkan di pondok pesantren adalah:
a. Sorogan
Kata sorog
berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan. Sebab santri
secara bergilir menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau badal (pembantunya).
Sistem sorogan
ini menggambarkan bahwa seorang kyai di dalam memberikan pelajarannya
senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar santri yang
bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.
b. Bandungan
Sistem
bandungan ini sering di sebut dengan “halaqoh”, di mana dalam pengajian kitab
yang di baca oleh kyai hanya satu sedangkan para santrinya membawa kitab yang
sama lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kyai seorang guru yang sedang
membaca, menerjemahkan, dan sering sekali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa
Arab. Sistem bandungan ini disebut halaqah yang berarti “lingkaran santri
atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru”.[10]
c. Weton
Istilah weton
berasal dari bahasa Jawa yang diartikan ‘berkala” atau “berwaktu”.
Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan
pada saat-saat tertentu misalnya pada selesai shalat jumat dan sebagainya.
d. Kelas Musyawaroh dan Hafalan
Sistem kelas
musyawaroh dan hafalan merupakan sistem pengajaran dan pendidikan pondok
pesantren dimana para santri menyelenggarakan diskusi antar mereka sendiri atas
beberapa permasalahan yang telah diberikan oleh ustadznya berdasarkan referensi
yang ada dan dengan argumentasi yang baik dan benar.[11]
Ciri-ciri
khusus dalam sistem pendidikan pesantren dan pengajaran pondok pesantren
tradisional terletak pada isi kurikulum yang terfokus pada ilmu-ilmu agama,
misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi Arab, hukum Islam, sistem yurispundensi
Islam, Hadits, Tafsir Al-quran, teologi Islam, tasawwuf, tarikh, dan retorika.
2. Sistem Pendidikan dan
Pengajaran yang Bersifat Modern
Dalam arti
sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan
atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia
menjadi dewasa.[12]
Di dalam
perkembangannya pondok pesantren tidaklah semata-mata tumbuh atas pola lama
yang bersifat tradisional dengan berbagai macam pola pengajaran di atas,
melainkan melakukan inovasi dalam pengembangan suatu sistem, disamping pola
tradisional yang termasuk ciri pondok-pondok salafiyah (jenis pesantren yang tetap
mempertahankan sistem sorogan dan wetonan dan pengajaran kitab-kitab klasik)
maka gerakan khalafiyah (menerima hal-hal baru yang dinilai baik disamping
tetap mempertahankan tradisi lama yang baik) telah memasuki derap perkembangan
pondok pesantren.
Ada tiga macam sistem yang diterapkan dalam
pendidikan pondok pesantren modern yaitu:
a.
Sistem Klasikal
Pola penerapam
sistem klasikal ini adalah dengan pendirian sekolah -sekolah atau lembaga, baik kelompok yang
mengelola pengajaran agama maupun ilmu yang dimasukkan dalam katagori umum
dalam arti termsuk di dalam ilmu-ilmu kauni (“ijtihad”- hasil
perolehan manusia) yang berbeda dengan agama yang sifatnya “taufiqi”
(dalam arti kata langsung ditetapkan bentuk dan wujud ajarannya). Kedua
disiplin ilmu itu di dalam sistem persekolahan diajarkan berdasarkan sistem
kurikulum yang telah baku dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan
Nasional.
Pola pendidikan yang diterapkan
dalam pendidikan Departemen Agama, materi yang digunakan 60% lebih di dominasi
oleh materi agama sedangkan 40% materi yang bersifat umum, sedangkan pola
sistem pendidikan yang diterapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional lebih
didominasi oleh kurikulum yang bersifat umum, adapun materi yang digunakan
mencapai 70% sampai 90% sedangkan materi agama berkisar antara 20% sampai 30%.
Dengan kedua
pola sistem klasik di atas jelas bahwa kurikulum yang dipakai disamping oleh
kyai juga kurikulum dan syllabi yang berasal dari kedua Departemen tersebut
dengan harapan semua santri dapat pula mengikuti ujian yang dilaksanakan oleh
sekolah negeri sebagai status persamaan.
b.
Sistem Kursus-Kursus
Pola
pengajaran yang ditempuh melaui kursus ini ditekankan pada pengembangan
keterampilan berbahasa baik dalam bahasa inggris dan bahasa Arab, dimana dalam
kesehariannya santri diharuskan untuk berkomunikasi dengan bahasa tersebut dan
hanya dalam satu hari dapat berbahasa Indonesia. Di samping itu juga diadakan
keterampilan tangan yang menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik
seperti kursus menjahit, mengetik, komputer dan sablon.
Pengajaran
sistem kursus ini mengarah kepada terbentuknya santri yang memiliki kemampuan
praktis guna terbentuknya santri-santri yang mandiri menopang ilmu-ilmu agama
yang mereka tuntut dari kyai melalui pengajaran sorogan, wetonan. Sebab pada
umumnya santri diharapkan tidak tergantung kepada pekerjaan dimasa mendatang
melainkan harus mampu menciptakan pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka.
c. Sistem Pelatihan
Sistem ini
menekankan pada kemampuan psikomotorik, pola pelatihan yang dikembangkan adalah
termasuk menumbuhkan kemampuan praktis seperti; pelatihan pertukangan,
perkebunan, perikanan, manajemen koprasi dan kerajinan-kerajinan yang mendukung
terciptanya kemandirian integrative. Hal ini erat hubungannya dengan
kemampuan yang lain yang cenderung lahirnya santri intelek dan ulama yang
mumpuni.
Baik sistem
pengajaran klasik/tradisional maupun yang bersifat modern yang dilaksanakan
dalam pondok pesantren erat kaitannya dengan tujuan pendidikannya yang pada
dasarnya hanya semata-mata bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang tangguh
dalam mengatasi situasi dan kondisi lingkungannya, artinya sosok yang
diharapkan sebagai hasil sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren
adalah figur mandiri.[13]
Atas dasar pembentukan kemandirian itu
maka sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren adalah sistem terpadu.
Wujud sistem pendidikan terpadu pondok pesantren terletak dari tiga komponen:[14]
1.
Belajar, yakni mempelajari jenis-jenis ilmu baik yang
berkaitan dengan ilmu umum dan titik tekannya dengan ilmu yang berkaitan dengan
masalah-masalah ajaran agama yang pada akhirnya dipraktekan dalam kehidupan
sehari-hari dalam lingkungan masyarakat atau warga pesantren di dalam pondok
pesantren.
2.
Pembinaan, yang dilakukan di dalam masjid sebagai wadah
pengisian rohani.
3.
Praktek, maksudnya mempraktekan segala jenis ilmu
pengetahuan dan teknologi yang di peroleh selama belajar dan adanya
pembinaannya yang dilakukan dalam masjid memungkinkan mereka untuk
memanifestasikannya dalam pondok. Disamping itu secara tidak langsung kehidupan
yang ditempuh dalam pondok itu sebagai inti pendidikannya, sebab pendidikan berarti
menjadikan seseorang menjadi dewasa baik dari aspek kejiwaan (psikologik),
maupun dari aspek intelektual.
Ketiga
pendidikan di atas melahirkan pribadi yang memiliki dimensi pengetahuan baik
teoritik maupun praktek. Dengan adanya kedua dimensi kemampuan itu dimungkinkan
lahirnya pemimpin umat yang dapat dilihat dalam sekala regional maupun
nasional. Itulah salah satu sisi yang menjadi indikasi bahwa pesantren adalah
salah satu gambaran lembaga yang mempersiapkan pribadi yang berkualitas.
4.
Tujuan Pondok Pesantren
Masing-masing
pondok pesantren memiliki tujuan pendidikan yang berbeda, sering kali sesuai
dengan falsafah dan karakter pendirinya. Sekalipun begitu setiap pondok
pesantren mengemban misi yang sama yakni dalam rangka mengembangkan dakwah
Islam, selain itu di karenakan pondok pesantren berada dalam lingkungan
Indonesia, setiap pondok pesantren juga berkewajiban untuk mengembangkan
cita-cita dan tujuan kehidupan berbangsa sebagaimana tertuang dalam falsafah negara;
Pancasila dan UUD 1945.
Secara umum
tujuan pendidikan pondok pesantren adalah membimbing anak didik untuk menjadi
manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi
muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
Sedangkan
secara khusus tujuan pondok pesantren adalah mempersiapkan para santri untuk
menjadi orang yang ‘alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang
bersangkutan serta mengamalkan dalam masyarakat sebagaimana yang telah
dikembangkan dalam pondok pesantren modern.
Tujuan
pendidikan pondok pesantren di atas senada dengan tujuan pondok pesantren yang
dipaparkan oleh M. Arifin dalam bukunya “Kapita Selekta Pendidikan”
(Islam dan Umum).[15]
bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berusaha menciptakan
kader-kader Muballigh yang diharapkan dapat meneruskan misinya dalam hal dakwah
Islam disamping itu juga di harapkan bahwa mereka yang berstudi di pesantren
menguasai betul ilmu-ilmu ke-Islaman yang diajarkan oleh para kyai.
Adapun tujuan pendidikan pondok pesantren,
tidak boleh lepas dari tujuan pendidikan nasional menurut undang-undang No.2
tahun 1989 adalah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
C. Pondok Pesantren
dan Modernisasi
1.
Problematika Pondok Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sampai sekarang eksistensinya
masih diakui, bahkan semakin memainkan perannya ditengah –tengah masyarakat
dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan berkualitas.
Kendatipun demikian bukan berarti pondok pesantren luput dari beragam
permasalahan dan kendala yang di hadapinya.
Memang sistem
yang dipakai dalam pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan
sistem pendidikan yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, seperti:
a.
Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh
kepada untuk memilih materi yang akan di ajarkan di pondok pesantren,
dibandingkan dengan sekolah modern, sehinga terjadi hubungan dua arah antara
kyai dan santri.
b.
Kehidupan di pesantren menampakan semangat demokrasi
(berjuang bersama dalam pahit maupun senang dalam hal lokal atau interlokal)
karena mereka praktis bekerjasama mengatasi problem non-kurikuler mereka.
c.
Sistem pendidikan pondok pesantren mengutamakan
kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan
keberanian hidup.
d.
Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan
pemerintahan sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.[16]
e.
Para santri tidak mengidap penyakit “simbolis”
yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pondok pesantren tidak
mengenal istilah ijazah atau diploma sebagai bentuk kelulusan pada peserta
didik.[17]
berbeda dengan pendidikan umum lainnya seperti Sekolah Tingkat Atas, disana
siswa belajar karena menekankan pada ijazah sebagai ending dari kelulusannya,
sedangkan santri di lembaga pondok pesantren dengan ketulusan hatinya masuk
pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama tanpa adanya harapan untuk memiliki
ijazah tersebut. Hal ini karena tujuan utama mereka adalah hanya ingin mencari
keridhaan Allah SWT semata-mata.
Dalam
perkembangannya sekarang pondok pesantren mulai menampakan keberadaanya sebagai
lembaga pendidikan Islam mumpuni, dimana di dalamnya juga didirikan sekolah
baik secara formal atau nonformal. Bahkan sekarang pesantren punya tren baru
dalam rangka merenovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan secara
garis besar, sistem yang digunakan dalam pondok-pondok pesantren modern pada
umumnya adalah:
a. Mulai akrab
dengan metodologi ilmiyah modern.
b. Semakin
berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan
di luar dirinya.
c.
Driferivikasi program dan kegiatan makin terbuka dan
ketergantungannya pun absolut dengan kyai, dan sekaligus dapat membekali para
santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama, maupun
keterampilan yang di perlukan dalam lapangan kerja.
d.
Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Dengan apa
yang menjadi kecenderungan seperti tersebut di atas bukan berarti pondok
pesantren telah menduduki posisi sebagai lembaga (dalam hal ini pendidikan
Islam) yang paling elit, di tengah-tengah arus perubahan sosial dan budaya
seperti yang terjadi akhir-akhir ini, justru trend tersebut menjadi persoalan
baru yang tampaknya memerlukan solusi dan pemecahan, di antaranya:
a.Masalah intergrasi
sistem pendidikan pondok pesantren (sistem pendidikan trasional) ke dalam
sistem pendidikan nasional.
b.Masalah
pengembangan wacana sosial, budaya, dan masalah ekonomi.
c.Masalah
pengalaman kekuatan dengan pihak-pihak lain untuk mencari tujuan membentuk
masyarakat ideal yang diinginkan.
d.Masalah
hubungan dengan keimanan dan keilmuan sepanjang yang dihayati (visi dan misi)
pondok pesantren.
Di samping
kecenderungan-kecenderungan yang justru menimbulkan permasalahan-permasalahan
baru bagi pesantren tersebut, di lain pihak kini pondok pesantren mengalami
suatu transformasi kultur, sistem dan nilainya. Adapun perubahan-perubahan yang
drastis dalam kultur pesantren, seperti:
a.
perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau
sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan sebutan madrasah.
b.
Diberikannya pengetahuan umum disamping masih
mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
c.
Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren,
misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
d.
Diberikan ijazah bagi santri yang telah menyelesaikan
studinya di pondok pesantren.
Pondok
pesantren sebagai agen pengembangan masyarakat sangat diharapkan mempersiapkan
sejumlah konsep pengembangansumber daya manusia (SDM) akan tetapi pelaksanaan
pengembangan tersebut tentunya akan menjumpai beberapa faktor yang juga akan
menghambat pengembangannya, seperti:
a. Faktor Internal
1. Visi, misi
dan tujuan pondok pesantren. Untuk memenuhi visi, misi dan tujuan pondok
pesantren diperlukan perencanaan yang baik serta implementasi pelaksanaan yang
tepat.
2.
Visi, misi dan tujuan pondok pesantren satu dengan yang lainnya mungkin
memiliki kesamaan strategi untuk mencapai visi, misi dan tujuan tersebut, namun
dengan beragam visi dan misi yang tidak sama akan menjadi penghambat untuk
mensiasati pelaksanaan visi, misi dan tujuan tersebut.
b. Faktor Eksternal
1.Kebijakan
pemerintah baik yang dikeluarkan melaui perundang-undangan, peraturan
pemerintah, surat keputusan menteri atau pejabat pemerintah dan sebagainya.
2.
Sosio-kultural masyarakat yang berbeda tidak boleh diabaikan oleh pondok
pesantren karena pondok pesantren itu sendiri didirikan pada hakekatnya adalah untuk
kepentingan masyarakat.
3. Perkembangan
IPTEKdi luar pondok pesantren yang sudah demikian pesat harus bisa diakui
pondok pesantren.[18]
Memang
bagaimanapun di tengah arus globalisasi dan informasi seperti sekarang ini,
pondok pesantren lebih di hadapkan pada sejumlah tantangan. Tantangan tersebut
nampaknya semakin hari semakin besar, komplek dan mendesak sebagai akibat
semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
2. Pondok Pesantren Modern
Ada lima
perubahan untuk melakukan perkembangan dan kemodernisasian pondok pesantren
sebagaimana yang di kemukakan oleh A. Halim dkk, dalam bukunya “Manajemen
Pesantren” antara lain:
a. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) pondok
pesantren
b. Pengembangan manajemen pondok pesantren
c. Pengembangan komunikasi pondok pesantren
d. Pengembangan ekonomi pondok pesantren
e. Pengembangan teknologi sanitasi pondok pesantren
Sedang Drs.
Yasmadi, MA. Dalam bukunya “Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid
Terhadap Pendidikan Islam Tradisional” menyatakan tentang pesantren menuju
masyarakat madani harus memiliki landasan-landasan dan kategorinya sebagai
berikut:
a. Landasan Historis Modernisasi pendidikan Islam
1. Metode berfikir filosofis
2. Etos keilmuan Islam
b. Landasan Filosofis Pendidikan
1. Kepemimpinan pendidikan Islam
2. Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesisa
c. Keterpaduan
dalam sistem pendidikan: ke-Islaman, ke-Indonesiaan, dan keilmuan.
Menurut
beberapa pendapat diatas, maka kemodernan pendidikan pondok pesantren dapat
dilihat pada beberapa faktor dibawah ini:
1. Sumber Daya Manusia (SDM)
Pondok pesantren sebagai agen pengembangan
masyarakat, sangat diharapkan mempersiapkan sejumlah konsep pengembangan Sumber
Daya Manusia (SDM) baik untuk meningkatkan kualitas pondok pesantren atau
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Dengan hal ini ada empat faktor
yang mempengaruhi pengembangan SDM yaitu:
a.
Visi misi dan tujuan pondok pesantren
b.
Kebijakan pemerintah
c.
Sosio-kurtular di masyarakat
d.
Perkembangan iptek
2. Sistem
Pendidikan
Sebuah lembaga pendidikan yang dapat
mengembangkan kualitas pondok pesantren itu sendiri tergantung bagaimana sistem
pondok pesantren tersebut dikelola, stimulasi yang sempurna dan sesuai dengan
tuntutan zaman.
3. Pengembangan Teknologi
Apabila dalam sebuah pondok pesantren tidak dapat
meningkatkan kwalitasnya dengan mengembangkan teknologi yang ada sekarang maka
dapat dipastikan sebuah lembaga pondok pesantren tidak akan menemukan jati diri
pondok pesantren tersebut, karena perkembangan ilmu dan pengetahuan teknologi
modern akan selalu ada dan diperlukan dalam masyarakat dan anak didik sesuai
dengan tuntutan zaman.
Modernisasi dalam pendidikan pesantren
setidak-tidaknya dapat menghapus image sebagian masyarakat yang menganggap
bahwa pondok pesantren hanyalah sebagai lembaga pendidikan tradisional, tempat
anak didik yang kurang akan pendidikan agama. Kini pesantren disamping
berkeinginan mencetak para ulama juga bercita-cita melahirkan para ilmuan
sejati yang mampu mengayomi umat dan memajukan bangsa dan negara.
No comments:
Post a Comment