Isyraq dapat berarti cahaya awal pada saat pagi hari, seperti cahaya matahari dari arah timur. Cahaya dari “timur” bukan tempat secara geografis tetapi awal cahaya. Filsafat isyraqiyah dapat berarti filsafat ketimuran, ada mengatakan sebagai filsafat iluminatif. Filsafat isyaraqiyah adalah pengetahuan dan pertolongan, ketika manusia tertolong dan tercerahkan, maka ia dapat menyesuaikan diri dalam alam semesta dan akhrinya bermuara kepada kehidupan atau tempat kediaman azali. Menurut Sayyed Hossein Nasr jagad bayangan kegelapan keberadaan kehidupan manusia berada di barat yaitu dunia yang wujud tidak memperhitungan dimana manusia menetap secara georafis.
Nasr mengatakan pengetahuan iluminatif dimungkinkan berhubungan dengan tatanan–tatanan malaikat, mentrasformasi kebaradaan manusia dan menolongnya. Malaikat adalah instrumen iluminasi karena malaikat dianggap penyelamat. Manusia telah mengalami semacam kelengseran dari dunia cahaya sinyal dan dikembalikan kepada dunia dan menyatu kembali dengan sifat kemalaikatan. Malaikat dianggap sebagai karib terpercaya, dimana posisi manusia menjadi bagian tidak terpisahkan, dipercaya dan dianggap suci dari campuran dan tergolong murni sempurna.
Filsafat Isyraqiyyah atau iluminasionisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi. Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu.
Filsafat isyraqiyah menggambarkan sebuah bahasa simbol secara imanen, suatu dunia sangat luas, berdasarkan simbol cahaya dan “timur” meruntuhkan batas-batas kosmologi Aristotelian dan termasuk batas-batas akal rasional yang di definisikan Aristotelian. Suhrawardi mempunyai kemampuan membuat sesuatu metafisika cahaya/nur secara esensial dalam bentuk kosmologi, yang sulit di deteksi padanan kemuliaannnya dan keindahannya. Suhrawardi menghadapkan pencari yang gigih dan tanggguh, melalui media ruang kosmik dan mengantarkan seseorang kepada realitas nur sejati, nur sejati itu adalah keberadaan “timur”.
Perjalanan bersifat filosofis dan spiritual
manusia dibimbing oleh suatu pengetahuan, yang merupakan cahaya itu sendiri,
hal ini didasarkan bahwa ilmu adalah cahaya, Nabi Saw mengatakan bahwa ilmu
adalah cahaya, orang bersih akan mendapatkan cahaya ilmu. Suhrawardi mengatakan
bahwa ilmu adalah cahaya dan tidak semua orang akan mendapatkannya. Dalam karya
terakhirnya Suhrawardi menyatakan bahwa tidak semua manusia dapat menerima
cahaya ilmu tersebut, hal ini dijelaskan dalam bukunya Hikmah al-Isyraq,
Manusia dapat mengetahui setelah jiwa manusia bersih, suci, batinnya suci,
berlatih dengan keras, latihan-latihan bersifat filosofis secara terus-menerus
dengan tingkat latihan keras dan sungguh-sunguh, latihan tersebut untuk menundukkan
hawa nafsu dan nafsu batin ruhani.
Untuk orang-orang terpilih ajaran isyraqiyah menampakkan suatu pengalaman dan
pengetahuan batin, kebijaksanaan, kekal/shopiaperennis, memancar dan
tertransformasikan, menghilangkan dan membangkitkan manusia mencapai tingkat
pleroma dan dunia cahaya kosmik. Pada abad VII/XVI di tandai dengan penyesuaian
besar berbagai aktivitas filsafat Islam, pada waktu Persia menjadi ajang
pengembangan filasafat Islam, periode ini filsafat Ibnu Sina dikembangkan,
dibangkitkan kembali oleh Nasir al Din al-Tusi, beliau adalah tokoh paripatetik
Islam terkenal. Komentarnya tentang isyarat wa i-tanbihat dan reponnya terhadap
kritik-kritik Fakhr al- Din al -Razi terhadapa Ibnu Sina, memberi pengaruh
besar terhadap filsafat Islam.
Filsafat Isyraqiyyah pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik
filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang paling sengit pada
Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filosof
Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung
oleh Ibnu Shina tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang
mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik
utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang
dinisbatkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis
didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, melanjutkannya dengan
menolak penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar
sepasang argumen berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum
Suhrawardi menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras
menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan
kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang
terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya
dikhususkan sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).
Biografi Suhrawardi
Syihâbu Al-Dîn Yahyâ ibn Habasy ibn Amîrak Abû Al-Futûh Suhrawardî
adalah pribadi yang sangat dikenal dalam sejarah filsafat Islam, khususnya
ketika ia berhasil mendirikan faham filsafat baru dengan epistemologi yang
dikembangkan dari tradisi dan kepercayaan Persia kuno. Filsafat yang dikenal
dengan nama Iluminasi (Isyrâq) secara metodologis dan epistemologis sangat
berkebalikan dengan pendekatan kaum Peripatetik yang mendahulukan rasio dan
memarjinalkan intuisi dan imajinasi yang tersimpan dalam jiwa manusia.
Suhrawardî lahir di kota kecil Suhraward di Persia barat laut,
tepatnya pada tahun 549 H/1154 M, saat umat Islam Timur mengalami puncak
peperanganan dengan bangsa Mongol di kawasan Azerbaijan. (Henri Corbin, 1983. 304) Imbas keadaan
itu terjadinya penjamuran gerakan spiritualis yang mencoba menenangkan kejiwaan
warga, dan sekaligus menumbuhkan semangat nasionalisme melawan bangsa-bangsa
Kolonial.
Walaupun demikian adanya, informasi yang diberikan sejarah mengenai
perjalanan filosof satu ini (Suhrawardî) relatif komplit dan luas.
Meskipun situasi dan kondisi di sekitar kematiannya tetap menjadi objek spekulasi bagi para
sejarahwan yang mengkajinya. Filosof yang dikenal sebagai guru besar Iluminasi,
menjalani kehidupannya yang sangat singkat, mungkin sekitar tiga puluh delapan
tahun Qomariah, atau kurang lebih; tiga puluh enam tahun Syamsiah. Dan di akhir
hayatnya ia menemui kematian yang tragis melalui eksekusi mati di Aleppo
(Halab, Suriah) pada tahun 587 H/1191 M, dan karena itulah terkadang ia disebut
sebagai Guru Besar yang terbunuh (Al-Syekh Al-Maqtûl). (Moh Ali Abû Rayân, 1959. 11).
Lembaran agenda intelektual Suhrawardî diawali dengan belajar
filsafat dan teologi pada Majd Al-Dîn Al-Jillî di Maraghah,
yang kemudian dilanjutkan ke Isfahân (Mardîn) untuk belajar kepada Fakhr
Al-Dîn Al-Mardanî, yang konon pada pandangan pertamanya telah
meramalkan kematian tragis Suhrawardî. Setelah beberapa tahun belajar
bersama Al-Mardanî, Suhrawardî merasakan kemapanan di jenjang awal ilmu
filsafat dan teologinya, yang kemudian meminta izin melanjutkan
pengembaraannya
bersama Zahir Al-Farsî ke seorang tokoh logikawan besar, ‘Umar ibn Sahlan
Al-Shawî (w. 594 H/1198 M. Dan darinya Suhrawardî mempelajari logika super pada
mahakaryanya Al-Bashâir.
Sebuah karya penting yang berhasil membentuk logika visi Iluminasi, yang secara
global telah menyimpang dari pembagian logika Aristoteles—logika sembilan—dalam
bukunya Organon.
Dalam buku tersebut Aristoteles hanya mengakui dua bentuk logika saja; logika
formal dan logika material. Sedangkan formasi baru yang ditawarkan Suhrawardî
menggunakan sistem yang lebih sederhana, dan membagi
logika pada tiga bagiannya; semantik, logika formal dan logika material. (Mahmûd
Muhammad Ali, 1999. 62)
Kesempurnaan intelektual berhasil diraihnya dalam waktu singkat,
sehingga pada umur tiga puluh tahun ia telah menuntaskan karya filsafatnya yang
lain Al-Masyâri
wa Al-Muthârahât yang diselesaikan pada 579 H/11883 M. Adapun karya-karyanya yang lain disusun dalam
bentuk risalah
(surat) selama sepuluh tahun, waktu yang tidak cukup panjang dalam
mengembangkan dua gaya filsafat khasnya; gaya Iluminasionis yang kemudian
disusul dengan demonstrasi Peripatetik. Satu lagi kekhasan yang sering
diperlihatkan Suhrawardî dalam surat-surat filosofisnya, adalah memberikan
rujukan silang atau penjelasan terkait antara satu karya dengan karya yang
lain, sehingga tampak berkelindan dan saling melengkapi. Dan gaya seperti ini
menjadi bukti para sarjana yang menyatakan bahwa tulisan-tulisan itu disusun
lebih-kurang dalam waktu yang bersamaan.
Kecerdasan intelktual membawanya ke Aleppo, di sana Suhrawardî
memulai karir dan pengabdiannya pada pangeran Al-Malik Al-Zahîr Ghazî, seorang
gubernur Aleppo yang juga dikenal sebagai Malik Zahîr Syah, putra Sultan Shalah
Al-Dîn Al-Ayubî yang dijuluki “raja Saladin”. Kebrilianan dalam berpikir
mengangkatnya pada posisi penting yang setara dengan penasehat raja, dan
sederajat dengan para menteri dan hakim-hakim agung kerajaan. Kesibukannya di
istana tidak membuatnya lalai pada proyek yang dimilikinya, malah saat-saat
itulah ia berhasil menyempurnakan konsep Iluminasinya dengan kehadiran buku
monumentalnya yang dikenal dengan Hikmah Al-Isyrâq.
Adanya buku tersebut membawanya unggul di atas para fuqaha,
astronom dan teolog Istana. Bahkan terpercik keinginan sang pangeran untuk
mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan filsafatnya pada khalayak publik.
Dan tak pelak lagi, istimewanya posisi Suhrawardî dihadapan
pangeran bersinggungan dengan intrik-intrik politik yang melahirkan kecemburuan
para hakim, menteri, fuqaha, serta para pembesar-pembesar Aleppo lainya.
Tuduhan-tuduhan tak senonoh pun tersebar, isu “zindik”, pengrusak agama, bahkan
ke-Syiahan Suhrawardî yang dulu dianggap biasa, kini menjadi momok dan
sasaran empuk untuk menyisihkannya dari taman istana. Puncak tuduhan itu
terjadi ketika sampainya surat Qadhi Al-Fahdîl yang berisi pemberitahuan
isu-isu yang tersebar di istana pada raja Saladin di Mesir, dan dengan
kepercayaan yang begitu tinggi (pada Qadhi tersebut) raja Saladin memerintahkan
Malik Zahîr Syah untuk mengeksekusi Suhrawardî di Aleppo. (Moh
Ali Abû Rayân, t.t . 484).
Walaupun demikian, validitas cerita ini masih kontroversi dan “debatable”,
tapi telaah yang berhasil dibuktikan adalah eksekusi mati Suhrawardî bersifat
politis, akibat adanya kecurigaan pemuka-pemuka istana pada “doktrin politik
Iluminasi”—yang didasari pikiran Syiah Imamiyah—yang telurkan oleh Suhrawardî,
dan mirip dengan teori Al-Farabi dalam “Madînah Al-Fadhîlah”. Kehawatiran ini
pun didorong dengan memuncaknya konflik politik dan militer yang berlangsung
antara pasukan Muslim dengan prajurit raja Inggris perbatasan. Ditambah
pertempuran-pertempuran besar umat Muslimin dengan pemeluk Nasrani saat
memperebutkan tanah suci Palestina, sehingga sekecil apapun gerakan
mencurigakan langsung ditindak tegas tanpa pertimbangan yang lebih lanjut.
Walaupun akhir perjalanan hidup Suhrawardî masih menjadi dilema
sejarah, tapi satu hal yang pasti; ia mempunyai pengaruh besar pada
perkembangan pemikiran filosofis di masa selanjutnya, begitupun keberhasilannya
mendirikan Madrasah Isyrâqiyyah yang kelak menjelma menjadi mazhab Isfahân,
tempat bernaung para “Urafâ” mempelajari kansep-konsep ketuhanan dan Iluminasi,
adalah fakta-fakta yang disepakati oleh semua penulis biografi Suhrawardî.
Kemunculan
Filsafat Iluminasi
Dari sudut tekstual, kemunculan filsafat Iluminasi (Isyrâq)
dimulai dalam buku Al-Talwihat. Buku tersebut memaparkan latar belakang,
visi-misi, aturan, kaidah, serta argumen-argumen dasar yang menjadi landasan
filsafat Iluminasi. Semuanya dipaparkan begitu jelas, dan dengan argumen
demonstratif Suhrawardî menceritakan sebuah kisah fiktif yang memuat mimpinya
bersama Aristoteles, yang dengan raut sedih mengutarakan rasa kekecewaannya
pada kelompok Peripatetik Muslim yang dipelopori Ibnu Sina, karena di anggap
gagal mencapai visi-misi filosofis ketimuran, dan meraih tingkat kebijaksanaan
diri, pengejawantahan sendi-sendi kebenarannya dalam tatanan praktis seperti
yang lakukan pembesar-pembesar sufi, Abu Yazid Al-Bustami dan Halaj.
Kegagalan kelompok Peripatetik diakibatkan permasalahan yang
fundamental (Asasi),
yang berakhir pada konklusi berbeda. Kaum Peripatetik selalu membatasi
kebenaran pada limit dan nilai-nilai demonstratif, yang akhirnya membelenggu
mereka pada lingkaran teoretis saja. Sedangkan kelompok sufi melandasi
pengetahuannya pada pemahaman “akan-diri-sendiri” (bi ma`rifati nafsihi) yang
diperoleh melaui sensitifitas jiwa dengan mengikis sifat-sifat kotor yang
menyelimuti cahaya hati dan proses penambahan intensitas[cahaya]nya dengan
merasakan kehadiran zat suprarasional yang membimbing hati pada jalan yang
terang.
Jenis pengetahuan seperti dikenal dengan “pengetahuan melalui
Iluminasi dan kehadiran”. Modus asketik kaum sufistik berhasil mengangkat
meraka terbang mencapai kesatuan bersama Intelek Aktif (Al-Aql
Al-Faâl) dan melampaui capaian-capaian filsafat diskursif, dan
lagi-lagi fantasi itu hanya ditempuh dengan menyandarkan diri pada
pengalaman-pengalaman spiritual mistik. Walhasil, kebenaran-kebenaran yang
diraih dapat dengan mudah diejawantahkan dalam tatanan praktis, menebarkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan seperti halnya para filosof, nabi dan para imam.
(Moh Ali Abû Rayân, opcit, 264).
Mengenai pengetahuan mistik Iluminatif, ia tidak memarginalkan
demonstrasi akal—seperti yang diceritakan sarjana-sarjana Timur modern—, hanya
saja modus kontemplasi pada kekuatan imajinasi dan intuisi, pelepasan
jiwa dari kerendahan jasad, lebih menjadi prioritas menempuh pengetahuan
metafisik, tapi setelah itu ditemukan argumen-argumen filosofis diskursif
memainkan perannya dan melakukan penalaran layaknya kaum Peripatetik Muslim.
Selain fakta kegagalan kaum Peripatetik Mulsim, kemunculan filsafat
Iluminasi juga bermuara dari ke-inkonsistensi-an filsafat Timur (Al-Falsafah
Al-Masyriqiyyah) pada ranah logis, epistemologis, bahkan area
[sensitif] metafisis. Filsafat Timur yang dipahami Ibnu Sina sebagai usaha
mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi atas realitas teoretis dan
praktis sesuai kemampuan manusia, yang tidak didasari pada rasionalisasi
semata, melainkan juga pada supra-imajinasi (Moh Ali Abû Rayân, opcit,
268). gagal direalisasikan pada tatanan praktis. Bahkan terjadi monopoli
Peripatetik di atas dasar imajinasi, yang seharusnya [kedua landasan ini]
berperan sama dan saling bersandingan. Begitupun peletakan Kararsi Fi
Al-Hikmah dan Mantiq Al-Masyriqiyyin yang dinisbatkan Ibnu Sina
sebagai metode dasar “orang Timur” dalam berfilsafat, juga tidak sesuai dengan
alam Timur yang menginginkan kaidah-kaidah yang berbeda dengan kelompok
Peripatetik. (Henri Corbin, t.t. hal. 30)
Diantara kritikan Suhrawardî pada gurunya Syaikhu Râis,
adalah penolakan Mantik
Masyriqiyyin dan Kararsis Fi Al-Hikmah sebagai landasan dasar filsafat
Iluminasi (filsafat alam Timur) dan penentangan tersebut didasarkan pada
kecurigaan susunan kaidah logika kedua manhaj yang semata adalah reinkarnasi
dari teks-teks logika standar kaum Peripatetik. Lebih jauh lagi Suhrawardî
menekankan, bahwa modifikasi-modifikasi sederhana yang dilakukan Ibnu Sina
tidak menjadikan ia sebagai filosof Timur.
Suhrawardî tidak mengingkari Ibnu Sina sebagai sebagai peletak
pertama pandangan filsafat Timur, bahkan beberapa istilah, teks-teks, metode,
bahkan sebagian landasan yang digunakannya dalam Hikmah Al-Isyrâq banyak digunakan.
Tapi fakta-fakta ini tidak membenarkan konklusi bahwa munculnya filsafat
Iluminasi sebagai alegoris dari filsafat Timur Ibnu Sina, karena sumer-sumber
yang digunakan tidak hanya bermuara pada Ibnu Sina saja, melainkan banyak
guru-guru lain yang dielaborasinya. Dan dengan demikian penulis tetap meyakini
bahwa filsafat Iluminasi milik Suhrawardî semata.
Epistemologi
Isyraqiyyah
Pada pembahasan ini, kiranya perlu ditekankan bahwa prinsip dasar
pengetahuan Iluminasionis adalah pengalaman visioner, yang dirasakan subjek
pada tingkatan ketiga setelah Cahaya Ilahi merasuk ke dalam jiwanya, pada saat
itulah ia telah mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran yang tak terbatas.
Dan itu diungkapkan dalam perkataan, “mengetahui sesuatu, berarti memperoleh
pengalaman tentangnya”.
Dari jenis keilmuan,
filsafat iluminsionisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian dari pengetahuan
khudluri (knowledge by preson). Ilmu khudluri adalah ilmu yang
didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman kehidupannya.
Dalam pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta obyek sama
sekali tidak dapat dipilah-pilah. Kemanunggalan subyek dan obyek pengetahuan
ini adalah istanta (instance/mishdaq)(ultimate reality). paling sempurna dari kehadiran
obyek pengetahuan pada subyek pengetahuan. Karena prinsip dasar illuminasionis
adalah mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya, serupa
dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Yang ingin
dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah pengalaman pribadinya
sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik tertentu bisa
mencapai realitas puncak tertinggi.
Dengan demikian,
metodologi untuk mendapatkan pengetahuan ini bukanlah melalui terapan indera,
tetapi melalui pelatihan spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam
ini, sarana yang dibutuhkan adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang
yang mencapai kebersihan hati, maka secara langsung akan mendapatkan pengalaman
tentang realitas hakiki (ultimate reality). Dalam perolehannya jiwa atau hati (qolb)(mukasyafah) sehingga akan terlimpahi oleh
pancaran cahaya dari sumber cahaya itu sendiri. Sebagaimana dikatakan
Suhrawardi sendiri bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran
lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memperivikasinya secara
logis rasional,
mengalami keterbukaan.Jadi seperti yang
dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu
tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka
dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga
dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud
tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud
tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi
tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud
tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan
iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya
melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha
cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya
pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga
dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya
yang dekat dengan alam materi.
Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah) serta mendapatkan apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, didasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.
Dalam kerangka epistemologis filsafat Iluminasi, itu bermuara pada
tiga teori; pemahaman hakikat Cahaya dan sifat-sifatnya, teori Cahaya dari
segala cahaya
(Nûr Al-Anwâr), dan yang terakhir proses penciptaan semesta
berdasarka kaidah Isyrâq.
1. Hakikat
Cahaya Murni (Wujud Cahaya Agung) dan sifat-sifatNya
Dalam buku Hikmah Al-Isyrâq, tepatnya dalam pembahasan macam-macam
cahaya, guru besar Iluminasi (Suhrawardî) beranggapan bahwa Cahaya Murni—dengan
C besar—merupakan suatu hakikat, yang nyata dan aksiomatik, tidak memerlukan
penjelasan dan definisi. Cahaya adalah sesutau yang terang, gamblang, yang
eksistensinya dibutuhkan oleh benda-benda yang menyusun eksistensi alam
semesta; cahaya tidak murni, substansi gelap dan aksiden-aksiden gelap, (Henri
Corbin, opcit,
hal. 106) sehingga tidak ada cahaya yang lebih terang kecuali
Cahaya itu sendiri. Dan yang di maksud dengan Cahaya—dengan C besar—yang tidak
memerlukan definisi, adalah Cahaya Murni, yang menjadi sebab wujud setiap
eksistensi di alam semesta ini. Dan eksistensinya tidak bergantung pada wujud
yang lain.
Sebagaimana lazimnya cahaya selalu tampak jelas dan terang, baik dalam
hakikat ataupun zatnya secara esensial, selalu memberikan penerangan (pancaran)
bagi yang lainnya, kejelasan dan keterangan cahaya memanglah bersifat esensial,
dan ini juga membuktikan bahwa cahaya (esensi) itu lebih terang, dari pada
sesuatu yang becahaya tapi sifat terangnya bersifat non-esensial.
Begitupun kehadiran cahaya-cahaya yang tidak murni, mereka bukanlah
sederetan sifat tambahan pada zatnya. Cahaya-cahaya ini secara esensial tidak
tersembunyi dan juga tidak tampak, bahkan terkadang terang dan kehadirannya
bersifat non-esensial. Hakikat Cahaya Murni murni adalah tidak dapat diindra,
tidak bisa di tunjuk, tidak memiliki arah, dan sebaliknya setiap cahaya yang
sensibel adalah cayaha tak murni.
Cahaya murni memancar untuk dirinya sendiri (linafsihi), tidak
bergantung kepada yang lain dan beradi dengan substansinya sendiri. Cahaya tak
murni adalah cahaya yang bukan bercahaya dari dirinya sendiri, karena
eksistensi dan keberadaanya tidaklah mandiri, selalu membutuh pada wujud dan
realitas yang lain. Dan ketiadaan wujud yang lainpun meniscayakan ketiadaan
cahayanya.
Cahaya Murni memiliki pengetahuan dan mengetahui zatnya sendiri.
Dan pengetahuan Cahaya Murni pada wujud dan zatnya bersifat hudhuri
(hadir secara langsung), bukan dengan husuli (melalui penggambaran pikiran) karena
pengetahuan cahaya pada zatnya sendiri yang dihasilkan melaui gambaran,
senantiasa berada diluar [zat] subjek. Karena dalam kenyataannya, objek yang
dipahami hanyalah gambaran dari zat bukanlah esensi asli yang mewujud dalam
zat.
Sifat Cahaya Murni yang mengetahui zatnya sendiri, menandakan ia
hidup, berpengetahuan dan memiliki aktivitas. Adapun benda gelap, substansi,
dan aksiden-aksiden gelap lainnya, mereka diam dan tidak memiliki pengetahuan pada
zatnya sendiri, karena mereka memiliki kebergantungan pada wujud yang lain, dan
kediamannya meniscayakan tidak adanya pengetahuan dan aktivitas (diam).
Cahaya Murni memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, dijabarkan
oleh Suhrawardi dalam satu perumpamaan sederhana yang mengangkat eksistensi A
sebagai penyebab keberadaan, dan pengetahuan bagi eksistensi B. Dengan
demikian, mejadi sebuah keharusan, bahwa A mengtahui dirinya sendiri dan
mengetahui segala eksistensi dan wujud-wujud B. Sedangkan B tidak bisa
menghasilkan penetahuan akan dari dirinya sendiri karena esensinya bergantung
pada eksistensi A, yang menjadi sebab keberadaannya.
Berdasarkan substansinya tidak ada satu faktor pun yang dapat
mengubah suatu hakikat yang memiliki pengetahian atas zatnya sendiri, menjadi
hakikat yang tidak mengaetahui dirinya sendiri. dan begitupun tidak ada satupun
faktor yang dapat merubah posisinya menjadi realitas yang tak berilmu menjadi
hakikat yang mengetahui dirinya sendiri. Tapi apakah sesuatu yang tidak memiliki
pengetahuan pada dirinya sendiri menjadi esensial yang berpengetahuan? Hal itu
mungkin dan jika pengetahuan yang dimiliki Cahaya Murnii dihadirkan dalam
esensinya.
(Ibid,
hal. 110).
2.
Nur
al-Anwar (Cahaya segala cahaya)
Perbedaan cahaya-cahaya murni adalah sifat gradasional, yaitu
tingkatan masing-maing cahaya. Semua cahaya-cahaya murni dipandang dari zat dan
hakikatnya adalah satu. Perbedaannya hanya terdiri dari aspek kesempurnaan,
kekurangan, aksiden-aksiden, yang ada di luar zat. Karena jika perbedaan itu
terletak pada zat, maka setiap dari cahaya-cahaya itu akan tersusun dari dua
deferensia yang saling bertentangan, dan ini akan merujuk pada dualisme wujud
cahaya, yaitu; gelap dan terang. Sedangkan dualisme dalam satu zat yang sama
adalah hal yang mustahil. (Ibid, hal. 121).
Nûr Al-Anwâr tidak terdapat perbedaan antara zat dan hakikatnya, keduanya
adalah satu dan bukan unsur yang berlainan, bahkan bertentangan (cahaya dan
kegelapan). (Ibid,
hal 117). Wujud Cahaya di atas cahaya, adalah sebuah keniscayaan
dan dapat dibuktikan dengan penalaran pada ungkapan logis, “jikalau Cahaya
Murni itu begantung pada realitas yang lain, maka kebutuhannya memuat ia
menjaid substansi gelap atau benda tak hidup (karena ia butuh pada wujud yang
lain), dan jikalau ia benda gelap maka ia membutuhkan pada Cahaya Murni, yang
lain. Sedangkan perputaran hukum penciptaan pada rantai yang tak terhingga
adalah mustahil terjadi. Dan karena ketakterhinggaan adalah mustahil maka sebab
keberadaan Cahaya Murni haruslah ada dan cahaya ini tidak lain adalah Cahaya
segala cahaya (Nur
Al-Anwar).
Kebutuhan setiap eksistensi pada faktor pencipta, menetapkan sifat
kemanunggalannya (Cahaya segala cahaya). Karena jikalau terdapat dua Cahaya
Murni yang tak saling membutuhkan adalah mustahil, karena kedua cahaya ini dari
sisi zat dan hakikatnya sama, dan kesamaan kepribadian keduanya mustahil
menjadi penyebab perbedaan cahaya-cahaya yang ada.
3.
Proses penciptaan [semesta] berdasarkan kaidah Isyrâq
Dalam pemaparan teori penciptaan, Suhrawardî sepakat dengan
pandangan kaum Peripatetik yang meyakini bahwa “Zat manunggal hanya memancarkan
pada satu bentuk yang tunggal”. Nur Al-Anwar yang ditegaskan sebelumnya sebagai sumber
penciptaan hanya memancarkan cahayaNya pada satu Cahaya murni yang juga
memiliki sifat yang sama dengan Nur Al-Anwar. Pemancaran cahaya ini diakibatkan oleh
aktivitas Nur
Al-Anwar yang senantiasa memancarkan cahaya dari substansinya. Dan
sebenarnya mata rantai dari aktivitas Nur Al-Anwar inilah, yang dalam pemikiran kelompok
Iluminasioner mendasari perannya (Nur Al-Anwar) sebagai pencipta alam semesta.
Sebagai hasil pemancaran cahaya substansinya terjadilah satu
pelimpahan atau emanasi pada Cahaya Murni-pertama dan dibarengi dengan satu
materi alam abadi (yang disebut dengan Huyuli) yang menjadi materi dasar pembentuk alam
semesta. Cahaya murni pertama ini, seperti Nur Al-Anwar dicirikan oleh aktivitasnya yang serupa,
yaitu meneruma pancaran cahaya Nur Al-Anwar dan memancarkan CahayaNya kembali dari
substansinya. Tapi walaupun demikiran keduanya tetap memiliki perbedaan
fundamental, baik dalam zat ataupun strata fungsionalnya.
Sang guru besar (Suhrawardî) menjelaskannya dalam satu contoh sederhana
yang mengambarkan proses pemancaran Nur Al-Anwar pada Cahaya Murni-pertama. Nur Al-Anwar
digambarkan sebagai Matahari sedangkan Cahaya murni-pertama adalah cermin,
pancaran sinar matahari yang tak beraturan tertampi dalam sebuah cermin yang
dengannya terpantul sebuah cahaya yang berbeda dari cahaya sebelumnya. Keduanya
sama-sama memancarkan cahaya, tetapi cahaya yang dipancarkan cermin tidaklah
sama dengan cahaya Matahari, karena cermin hanyalah perantara yang menerima
cahaya yang besar dan memantulkan cahaya sesuai kemampuannya.
Proses menerima dan memancarkan cahaya, terus diulangi Suhrawardî
sebagai proses penciptaan alam semesta, dan keberadaan cahaya-cahaya murni yang
mengelilinginya. Dan proses pemancaran dari setiap Cahaya Murni, selalu
disertai oleh materi-materi yang menjadi susunan dalam tatanan cosmos. Seperti
pemancaran Cahaya Murni-kedua pada cahaya murni ketiga disertai dengan
bola-bola langit yang bersesuaian dengannya, yaitu langit pertama. Dan akhir
dari proses emanasional adalah dunia sublanatural yang terletak di bawah alam
bulan, tempat hidupnya manusia dan mahluk-mahluk lain yang juga menerima
pancaran dari Cahaya Murni-kesepuluh.
Proses emanasi dari Cahaya Nur Al-Anwar ke materi-materi yang ada di alam semesta,
adalah pengerucutan cahaya dari bentuknya yang supra-kemilau ke dalam bentuk
parsial sesuai kemamuan penerimannya. Dan inilah bukti kebenaran ungkapkan Ibnu
Sina saat mengatakan bahwa nabi Muhammad adalah bentuk sesempurnaan Cahaya
Al-Wujud, namun ia akan menjelma sebagaimana seseorang menangkap pancaran
cahayanya. Subjek yang berjiwa rendah, akan mengatakan Muhammad layaknya
manusia biasa. Adapun bagi subjek yang memiliki jiwa yang sedikit bercahaya,
akan mendapatkan kebijakan-kebijaannya dalam jumlah yang terbagas. Sedangkan
bagi subjek yang mempunyai jiwa yang tercerahkan akan merasakan pancaran yang
begitu sempurna dari diri Muhammad, karena ia adalah “sebentuk dari
kesempurnaan zat yang Maha Sempurna”.
"Dilihat secara keseluruhan tujuan filsafat Iluminasi
diarahkan pada sasaran yang bersifat teoretis di samping sisi praktis yang
dapat dicapai, arah tersebut dimulai dengan penyucian diri dari segalala
kotoran, baik secara ruhani ataupun jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai
tahapan awal penjalinan hubungan dengan Cahaya Murni-kesepuluh yang menjadi
medium antara dunia materi dan imateri. Cahaya Murni-kesepuluh adalah emanasi
dari “Wujud Cahaya Agung” yang nantinya akan menganugrahkan pengalaman visioner
setelah subjek berhasil menapaki syarat dan ritual-ritual yang telah
ditentukan sebelumnya. Merasuknya Cahaya-cahaya Murni ke dalam subjek mengantarkan
pada pengetahuan yang tidak diperoleh melalui proses berfikir, kejadian ini
berlangsung pada alam kusus yang disebut dengan mundus imaginalis (Al-Âlam Al-Mitsâli).
Adapun tahapan selanjutnya ditempuh dengan pendemostrasian dengan landasan
logis, epistemologis dan metafisika Aristotelian Timur (Al-Mayaiun
Al-Syarqiyun) sebgai cara intensif menjabarkan dari simbol-simbol
bahasa yang dimengerti tetapi sulit diungkapkan."
DAFTAR BACAAN
Henri Corbin, Histoire De La Philosophie Islamique, diarabkan oleh
Nasr Morwa & Hasan Kobeissi, dengan judul Târîkh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, Ouiedat,
Beirut, cet II, 1983.
Moh Ali Abû Rayân, Ushûl Al-Falsafah Al-Isyrâqiyyah, Maktabah Angglo,
Kairo, cet I, 1959.
Mahmûd Muhammad Alî Muhammad, Al-Mantiq Al-Isyrâqy `Inda Syihab Al-Dîn Al-Suhrawardî,
Misr El-Arabiyyah, Kairo, cet I, 1999.
Moh Ali Abû Rayân, Târîkh Al-Fikr Al-Falsafî fî Al-Islâm, Dar el-Ma`rifah,
Iskandariyah, t.t.
Henri Corbin, Haiah El-Ammah Li Qushur El-Tsaqafah, vol II, t.t.
Dr. Ghilam Husein El-Ibrâhêm El-Dinâni, Isyrâq Al-Fikr wa Al-Syuhûd Fi Falsafah
Al-Suhrawardî, Dar El-Hadi, Beirut, cet I, 2005.
Sayed Hosen Nasr & Oliver Lehman, History of Islamic Philosophy,
diindonesiakan oleh Mizan, dengan judul Ensiklopedi Tematis Filsafat Ilsam, Mizan, Bandung, cet
I, 2003.
Mahredad Mahren, Falsafah Al-Syarq,
Mantab. Matur suwun
ReplyDelete