Pengalaman
Serta Dampak Beragama
Manusia
adalah makhluk religius. Sebab manusia itu bukanlah hal statis dan tidak
berubah-ubah, melainkan suatu dinamika yang konkrit, manusia berkembang secara
komplek adanya. Memang ia merupakan kesatuan, tetapi di dalam kesatuan itu
terdapat berbagai unsur, sehingga kesatuan manusia itu di fahami sebagai
kesatuan yang majemuk. Unsur-unsur tersebut yaitu pengalaman, perasaan, hasrat,
pikiran, keputusan, “lingkungan luar” yang menerobos masuk ke dalam hidup
manusia, dan last but not least kehadiran orang lain. Unsur-unsur inilah
yang bersama-sama membentuk pribadi manusia.
Hal
ini berlaku untuk perkembangan atau pertumbuhan manusia di lihat dari berbagai
sisinya, baik moral, sosial, politik sampai religiusitasnya. Oleh karena itu
masalahnya adalah: bagaimana unsur-unsur itu disusun dan diperkembangkan dalam
diri manusia sampai akhirnya terbentuk suatu “religious attitude” suatu sikap
lahir bathin yang benar-benar beragama serta dampak yang ditimbulkannya.
Agama.
Agama
berasal dari bahasa sansekerta (A; tidak dan Gama; kacau), secara
sederhana agama dapat di maknai tidak kacau, yaitu mereka yang beragama
diharapkan mampu untuk mengontrol diri dan kehidupannya. Agama juga dapat
diartikan sebagai sebuah keyakinan. Ada juga yang memberikan definisi agama
sebagai “relasi dengan Tuhan sebagaimana dihayati oleh manusia”. Tetapi
definisi yang demikian hanya cocok untuk agama-agama yang bersifat teis,
entah mono, atau polyteis. Sebuah agama yang bersifat teis itu
berkisar pada Allah atau pada dewa-dewi, artinya berkisar pada zat transenden
yang dapat di sapa sebagai “engkau” yang berkepribadian dan denganNya manusia
dapat mengadakan hubungan pribadi pula.
Disamping
agama-agama yang teis itu terdapat juga agama yang menganggap “nan Ilahi”itu
tidak berkepribadian, misalnya dalam aliran Advaita dari agama hindu.
Lagi pula terdapat agama-agama yang memang menerima adanya superhuman beings
tetapi menganggap mereka itu fana dan bukan Ilahi, sehingga tidak menyembah
atau memuja mereka dan tidak menjadikan mereka objek kepercayaan religius,
misalnya dalam agama budha.
Maka
jika kita menginginkan suatu definisi tentang “agama” yang dapat diterapkan pada
semua gejala yang lazimnya di sebut gejala keagamaan, maka definisi yang di berikan
oleh Robert Thouless dapat di pakai yaitu yang di sebut agama adalah suatu
sikap terhadap dunia ,sikap yang menunjuk kepada suatu lingkungan yang lebih
luas dari pada lingkungan dunia ini yang bersifat ruang dan waktu; lingkungan
yang lebih luas itu adalah “dunia rohani”.
Pengalaman
Beragama
Pengalaman
ialah suatu pengetahuan yang timbul bukan pertama dari pikiran melainkan dari
pergaulan praktis dengan dunia. Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif
dan afektif dan istilah dunia mencakup baik orang maupun barang. salah satu
cirri khas pengetahuan seperti ini ialah tekanan pada unsur pasif. Dalam
mengalami sesuatu, orang pertama-tama merasa “kena” atau “di sentuh” oleh
sesuatu hal, lebih dari pada secara aktif mengerjakan atau mengolah hal itu
(sebagaimana terjadi dalam pemikiran). Oleh karena itu, keindrawan, afeksi dan
emosi memainkan peranan besar dalam pengalaman.
Gejala
agama yang terdapat pada bangsa manusia adalah gejala yang bersifat evolusi.
Keagamaan manusia tidaklah terlepas dari zaman dan kebudayaan, religiusitas itu
cukup di pengaruhi pola kebudayaan. Pada kebudayaan kuno, keberagaman dianggap
sebagai sesuatu yang biasa, spontan dan vital. Kehidupan sendirilah yang
membuka pintu kearah religiusitas. Lain halnya kebudayaan modern zaman kini,
terutama di barat, keberagamaan tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang ada
dengan sendirinya.
Pengalaman
beragama ada sangkut pautnya dengan apa yang bersifat irasional dalam diri
manusia, Akan tetapi dengan timbulnya filsafat lebih-lebih sejak Socrates yang
bermaksud menyinari yang irasional dengan terang rasio, mulailah proses
rasionalisasi, proses ini ialah segala sesuatu yang irasional, termasuk
perasaan yang religius, pandangan yang mistis dan mantra yang magis.
Logika
mengenai ketidakberdayaan manusia, penderitaan dan kebodohannya adalah
mitos-mitos kuno yang masih menjajah pemikiran sebagian besar manusia yang masa
terakhir ini tepatnya pada abad pertama. Mitos-mitos ini telah menimbulkan
sikap-sikap pesimisme, skeptisisme terhadap kehidupan dan apatisme terhadap
etik-etik luhur kemanusiaan, agama pada masa ini tidak lebih dari suatu balsam
yang berguna sebagai pendingin luka atau pengurang rasa sakit atau impian
keselamatan yang hanya dapat dihubungi oleh jiwa-jiwa yang menengelamkan diri
dalam goa-goa pertapaan agar sampai kepada puncak ketenangan dan ketentraman,
sementar ketika kembali kedunia nyata, problematika kehidupan sehari-hari yang
terus berganti menjadikan diri mereka stress berat bahkan hanya dengan satu
persoalan yang amat sepele.
Motivasi
dalam beragama serta menjalankannya.
Setiap
kelakuan manusia termasuk kelakuan beragama, merupakan buah hasil dari hubungan
dinamika timbal balik antara 3 faktor, ketiga-tiganya memainkan peranan dalam
menentukan tindakan insani, walupun dalam tindakan yang satu, faktor yang satu
lebih besar peranannya dan dalam tindakan yang lain faktor yang lain lebih
berperan. Ketiga faktor yang dimaksud itu, ialah:
Pertama,
sebuah
gerakan atau dorongan yang secara spontan dan alamiyah terjadi pada manusia,
artinya dorongan-dorongan ini timbul dengan sendirinya dan tidak ditimbulkan
manusia dengan sengaja. Dorongan semacam itu bersifat alamiyah dan bekerja
otomatis tidak di kerjakan manusia sendiri dengan “tau dan mau” contohnya
dorongan sexual, nafsu makan , kebutuhan akan tidur, dll.
Kedua,
ke-aku-an
manusia sebagai inti-pusat kepriadiannya, suatu dorongan yang secara spontan
terjadi pada diri manusia, dapat ia jadikan miliknya sendiri yaitu kalau ia
menanggapi dorongan itu secara positif ia menyetujui dorongan itu. Kalau
demikian. Ke-aku-an, pusat kebebasan itu, dengan tau dan mau mengambil bagian
dalam “kejadian” itu. Akibatnya ialah proses yang tadinya terjadi pada ku ini
kujadikan sendiri sehingga sekarang merupakan perbuatan ku.
Ketiga,
situasi
manusia atau lingkungan hidupnya, tindakan dan perbuatan manusia tidak terlepas
dari dunia di sekitarnya. Tentu saja akulah yang melakukan perbuatan
tertentu untuk melaksanakan rencanaku
(faktor keakuan) tetapi rencana itu kuterima tidak hanya dari dorongan-dorongan
spontan yang ada pada diriku (faktor naluri), tetapi juga dari
perangsang-perangsang yang berasal dari duniaku (faktor lingkungan). Lagi pula
pelaksanaan tersebut berlangsung di dunia, sehingga seluruh perbuatanku itu
menjurus kedunia juga. Perlu dicatat bahwa yang disebut dunia atau lingkungan
ialah buah hasil dari pertukaran antara pengalaman batin manusia dan hal ikhwal
di luar diri manusia.
Dampak
beragama pada manusia.
Kenyataan
kongkret yang menunjukan bahwa situasi dan kondisi masyarakat berubah, namun
keadaan agama tetap sama dijumpai dalam sejarah manusia sepanjang zaman.
Berdasarkan kenyataan itu para ahli sosiolog mengatakan dengan istilah teknis,
bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mengalami kelambanan sosial.
Dampak
keberagamaan manusia menimbulkan beberapa konflik internal maupun eksternal,
konflik internal yang terjadi di dalam agama diantaranya; pemeluk agama, ajaran
agama, serta prilaku manusia itu sendiri. Berbeda dengan konflik eksternal
agama ini meliputi empat bagian yaitu; perbedaan doktrin dan sikap, perbedaan
suku dan ras ummat beragama, perbedaan tingkat kebudayaan, masalah mayoritas
dan minoritas pemeluk agama.
Secara
internal dampak keberagamaan terhadap pemeluknya menghadapkan pemeluk itu pada
keraguan pemeluk terhadap agama yang dianutnya hal ini di akibatkan akan ajaran
agama yang diyakini serta tidak dapat memuaskan dirinya, hal tersebut juga
merupakan beberapa pokok penting yang terdapat dalam agama, kemudian ajaran
agama yang bersifat monoton dalam artian agama hanya dapat di yakini dengan
kacamata agama itu sendiri bukan menggunakan atribut lain di luar agama ini,
menimbulkan kejenuhan yang dapat dikatakan mengikis kebenaran agama, serta
dampak pada prilaku yang di timbulkan para pemeluk agama cenderung menggunakan
agama itu sebagai pembelaan atas perbuatannya yang berada di luar koridor agama.
Secara eksternal empat pokok dampak beragama pada manusia;
1. Perbedaan
doktrin dan sikap mental, bahwa perbedaan iman (dan doktrin) de facto
menimbulakan bentrokan tidak perlu kita persoalkan lagi tetapi kita mencoba
untuk menerimanya sebagai fakta serta mengambil himahnya. Semua pihak umt
beragama yang sedan terlibat dala bentrokan masing-masing menyadari bahwa
justru perbedaan doktri itulah yang menjadi penyebab utama dari benturan itu.
Entah sadar ataupun tidak setiap pihak mempunyaigambaran tentang agamanya
membandingkan dengan ajaran agama lawan, meberikan penilaian atas agamanya
sendirian agama lawannya dalam skala penilaian subjektif nilai tertingi
diberikan pada ajaran agamanya sendiri dan selalu dijadikan patokan, sedangkan
agama lawan dinilai menurut patokan itu. Seperti contoh konflik agama yang
menimpa katolik, kristen, dll.
2. Perbedaan
suku dan ras pemeluk agama terbukti bahwa factor ras itu sendiri sudah menimbulkan
perbedaan dan permusuhan seperti teori yang dikemukakan oelh Arthur de Gobineau
yang mengatakan bahwa suku ras kulit putihlah yang merupakan suku ras tertinggi
bangsa manusia, dan bahwa ras itulah yang dipanggil untuk membawa obor kemajuan
di dunia ini, . kaesombongan raial ini terjadi kembali ketika dalam pendirian
bangsa Jerman dengan motto “manusia super” yang mendapat mandate illahi untuk
menghancurkan jenis ras yang lebih rendah, hal ini ditandai pembantaian
terhadap kaum Yahudi oleh Nazi (Hitler).
3. Perbedaan
tingkat kebudayaan. Kenyataan kebudayaan tidaklah sama diantara bangsa satu dan
yang lain kebudayaan terbagi menjadi dua macam pertama kebudayaan tinggi dan
kebudayaan rendah, pembagian ini berdasarkan tingkat pengetahuan, tekhnologis
di satu Pihak dan hasil dari pembangunan fisikdan di lain pihak agama berfungsi
sebagai motor penggerak dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga kemajuan.
Dari asumsi tersebut jelaslah bahwa adanya ketegangan antara bangsa yang
berbudaya tinggi dan rendah, dalam kehidupan. Agama dinyatakan bertanggung
jawab atas perdebatan ini dan bertugas sebagai filter untuk menyatukan antara visi
dan misi agama itu sendiri.
4. Masalah
mayoritas dan minoritas pemeluk agama. Studi tentang mayoritas dan minoritas
pemeluk agama umumnya bersifat naratif dan deskriftif, masalah ini didekati
dengan sudut pandang politik, demografi agama, sosiologi dan lain-lain. Ada
bebrapa pokok penting yang digaris bawahi mengenai konflik antara mayoritas dan
minoritas diantaranya; agama dapat dijadikan sebagai suatu ideology, prasangka
mayoritas dan minoritas, mitos dari mayoritas.
Dengan
demikian lalu bagaimanakah pengalaman manusia dalam beragama hendaknya menjadi
dasar bagi kerukunan beragama? Pemahaman umat beragama dalam kehidupan
bermasyarakat memang pada umumnya hanya bertitik pada muara agama-agama yang di
yakininya, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya forum musyawarah diantara
keduanya (agama satu dan lain)seperti contoh diaog antar ummat beragama seperti
yang telah dicapai tahun 1966 di tingkat nasional maupun internasional (antara
Kristen dan Islam), pembentukan Dewan Gereja se Dunia, dll.
Menurut
hemat penulis mengingat manusia selalu mengungkapkan imannya dalam rupa-rupa
bentuk religius, maka agama mempunyai segi batiniah dan lahiriah. Manusia
beragama itu memperkembangkan hubungannya dengan Tuhan atau “Nan Illahi” dalam
bentuk pola-pola perasaan dan system-sistem pemikiran (keyakinan religius,
ajaran agama, mitos dan dogma), system kelakuan social dan yang lainnya.
Friedrich
Schleiermacher,Rudolf Otto dan William james terlalu condong mengutamakan segi
batin saja (agama itu system perasaan serta keyakinan iman), sedangkan E.
Durkheim meletakkan tekanan terlalu berat pada segi lahir (agama itu system
kelakuan social). Lebih tepatlah mengatakan bahwa agama itu urusan seluryh
manusia, baik tingkah laku maupun perasaan, penilaian dan keyakinan. Dan
akar-akarnya terdapat baik dalam orang perorangan maupun dalam masyarakat.
Dalam
kondisi dan situasi apa pun, suatu pola kehidupan yang benar –benar datang dari
Allah menjanjikan kesejahteraan adanya. Akan tetapi, justru tangan- tangan
manusialah yang sering kali merusak tatanan kebahagiaan itu. Pada dasarnya
berbagai bentuk kejahatan yang timbul dalam masyarakat manusia bersumbar dari
pemahaman yang keliru mengenai tujuan-tujuan hidup ini, dan ketidak adilan
pembagian kekayaan dan kesejahteraan yang menjadi kepemilikan bersama.
No comments:
Post a Comment