Ibnu Miskawaih & Ibnu Rusyd
Aristoteles merupakan filosof pertama yang meletakkan sains-sains
kealaman, matematika, etika, sosial ataupun logika dan harus dilihat sebagai
suatu sains yang terpisah. Aristoteles juga merupakan filosof pertama yang
menemukan faktor yang menghubungkan persoalan-persoalan setiap sains, dan
standar yang dengannya persoalan-persoalan itu dibedakan dari
persoalan-persoalan sains lain- dengan kata lain, apa yang disebut sebagai
subjek dari suatu sains.
Fakta ini tampak secara jelas saat melihat perbandingan antara
metafisika Aristoteles dengan Ibn Sina, untuk tidak menyebut metafisika Mulla
Shadra. Tapi Aristoteles adalah filosof pertama yang memperluas sains ini
sebagai suatu lapangan yang independen, memberikannya tempat yang khusus di
antara sains-sains yang lain.
Karya-karya Aristoteles yang dikumpulkan ke dalam sebuah
ensiklopedia setelah meninggal. Salah satunya menyisakan persoalan mengenai
filsafat alam, yang kemudian dikenal dengan metafisika yang berarti setelah
(yang) fisik. Istilah itu diterjemahkan ke dalam bahasa arab dengan istilah ma
ba’d al-thabi’ah. Nama ini diberikan pada sains tersebut karena muncul setelah bab filsafat alam dalam karya
Aristoteles. Diperkirakan karena melihat beberapa pertanyaan yang dilontarkan
dalam sains ini, seperti tentang Tuhan dan inteligensi-inteligensi, berada di
luar alam (fisik). Oleh karena itu, sejumlah filosof muslim seperti Ibn Sina,
berpendapat bahwa sains ini tidak seharusnya dinamai metafisika, melainkan
profisika; karena meliputi subjek-subjek tentang Tuhan yang ada sebelum alam bukan
setelahnya.
Kesalahan verbal dalam penerjemahan ini kemudian membawa pada
kesalahan dalam pemahaman di kalangan sejumlah pelajar modern yang mempelajari
filsafat. Banyak orang Eropa menganggap metafisika sama dengan hiperfisika, dan
bahwa subjek sains ini adalah fenomena eksternal alam. Kenyataannya, sains ini
meliputi yang alami dan adi-alami, secara singkat semua yang wujud. Kelompok
ini, secara salah mendefinisikan sains ini sebagai: “Metafisika adalah sains
yang berkaitan semata-mata dengan Tuhan dan fenomena yang terpisah dari alam.”[1]
Dalam hal ini banyak jug dari filosof-filosof muslim yang mengangkat dalam pembahasan filsafatnya,
antara lain Nashiruddin Al-Tusi dan Ibn Maskawaih.
Ibnu Maskawaih
Metafisika Maskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan
Pencipta, jiwa dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap metafisika
Maskawaih dituangkan dalam kitabnya Al-Fauz Al-Ashghar.
Bukti-bukti
Adanya Tuhan Pencipta, Untuk membuktikan adanya Tuhan Pencipta, dari satu segi dapat dikatakan
mudah, tetapi dari segi lain dapat dikatakan sukar. Membuktikan adanya Tuhan
Pencipta adalah mudah, karena kebenaran adaNya telah terbukti pada dirinya
sendiri dengan amat jelas. Adapun segi kesukarannya karena keterbatasan akal
manusia. Tetapi orang yang berusaha keras untuk memperoleh bukti ada-Nya, sabar
menghadapi berbagai macam kesukaran, pasti akhirnya akan sampai juga, akan
diperoleh bukti-bukti yang menyakinkan tentang kebenaran adaNya.
Maskawaih mengatakan bahwa sebenarnya tentang adanya Tuhan Pencipta
itu telah menjadi kesepaAktan para filosof sejak dulu. Maskawaih berusaha
membuktikan bahwa Tuhan Pencipta itu esa, azali (tanpa awal) dan bukan materi
(jism). Tuhan dapat diketahui dengan cara menindakan (negatif), bukan dengan
cara positif. Pembuktian secara positif berarti pembuktian secara langsung,
sedang pembuktian secara negatif adalah secara tidak langsung dengan menolak
suatu proposisi tentang Tuhan untuk menerima yang sebaliknya. Misalnya kita
menolak proposisi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu badan, Tuhan adalah
bergerak, Tuhan adalah tidak esa, Tuhan adalah diciptakan, dan sebagainya,
yaitu Tuhan bukan suatu badan, Tuhan tidak bergerak, Tuhan adalah esa dan Tuhan
tidak diciptakan dan sebagainya.[2]
Berbicara tentang Tuhan Pencipta, Al-Jisri mengemukakan bahwa jika
kamu yakin benda itu baru kamu akan meyakini wujud Tuhan Pencipta. Dan setelah
memperhatikan yang beraneka itu, kamu mengatakan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan benda serta segala macamnya. Kamu tidak susah menyatakan segala
macam itu timbul dari benda yang bergerak secara otomatis tanpa ada maksud,
pengetahuan dan pemikiran.[3]
Miskawaih menggunakan berbagai macam argumen untuk menetapkan
adanya Tuhan. Yang penting ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang
terjadi pada alam. Memperhatikan bahwa segala macam benda mempunyai sifat gerak
atau berubah sesuai dengan watak pembawaan masing-masing (sifat gerak itu
berbeda-beda yang berbeda), maka adanya gerak yang berbeda-beda itu membuktikan
adanya yang menjadi sumber gerak, penggerak Pertama yang tidak bergerak yaitu
Tuhan. Argumen gerak ini diambil dari argumen Aristoteles.[4]
Jiwa (An-Nafs),Maskawaih
menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan
berpikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku yang selalu mengarah
kepada kebaikan. Menurut Maskawaih, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan
yang bertingkat-tingkat, Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya
sebagai berikut:[5]
a.
An-Nafs al-bahimiyah (nafsu
kebinatangan) yang buruk.
b.
An-Nafs al-sabu’iah (nafsu binatang
buas) yang sedang.
c.
An-Nafs an-nathiqah (jiwa yang
cerdas) yang baik.
Sehubungan
dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan yang tiga macam tersebut, Maskawaih
mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (an-nafs al-bahimiyah, nafsu
kebinatangan) mempunyai sifat-sifat, ujub (pongah), sombong, pengolok-olok,
penipu, dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas (an-nafs an-nathiqah)
mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta.[6]
Kenabian
(An-Nubuwwah), dalam membicarakan hal kenabian, Maskawaih menyajikan banyak hal
yang sepintas lalu tidak lazim digolongkan sebagai topik kenabian. Maskawaih
membicarakan masalah tingkatan-tingkatan wujud dalam alam dan hubungannya satu
sama lain. Dibicarakannya pula manusia yang merupakan mikrokosmos di bandingkan
dengan alam semesta yang merupakan mikrokosmos. Dibicarakannya macam-macam
kapasitas daya manusia yang mengalami perkembangan panca indera meningkat
menjadi kekuatan bersama seperti perkembangan dari tingkat yang rendah kepada
tingkat yang lebih tinggi, seperti perkembangan panca indera meningkat menjadi
kekuatan bersama (common sensibility), dan dari sini berkembang lagi
kepada yang lebih tinggi atas rahmat Allah.
Kemudian dibicarakan pula perihal wahyu dan cara di perolehnya;
juga tentang akal yang dibicarakan sebagai raja yang di taati sesuai pembawaannya;
juga tentang perbedaan antara nabi yang diutus dan nabi yang tidak diutus;
akhirnya tentang perbedaan antara nabi yang sungguh-sungguh dan orang yang
mengaku sebagai nabi (mutanabbi).
Miskawaih mengemukakan betapa tinggi
kedudukan para Nabi dibanding dengan manusia lainnya, dengan jalan terlebih
dulu mengungkapkan proses evolusi. Jadi bukan evolusi sebagai suatu teori
sebagaimana yang berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan modern, melainkan
sebagai jembatan untuk dapat memahami kemungkinan adanya berbagai macam tingkat
wujud di alam ini, dengan menyebut manusia sebagai yang paling tinggi
martabatnya di banding dengan martabat wujud-wujud lain. Sebagai yang
bermartabat paling tinggi, manusia supaya berusaha meningkatkan martabat
hidupnya dengan jalan berpikir manusia hendaknya berusaha untuk sampai pada
tingkat setinggi mungkin. Yang memang berbakat, hendaknya berusaha untuk sampai
pada tingkat bijaksana (hikmah), hingga berhak disebut hakim.
Selain itu, Maskawaih menetapkan adanya
tipe manusia yang memang sanggup sampai ke tingkat kemanusiaan yang paling
tinggi, yang yang memperoleh kebenaran-kebenaran yang hakiki tidak dengan jalan
berpikir, tetapi dengan jalan wahyu, yaitu para Nabi. Nabi tingkatannya lebih
tinggi dari filosof. Kebenaran-kebenaran yang dibawa oleh para Nabi lebih meyakinkan
dari pada kebenaran-kebenaran yang diperoleh para filosof, karena para Nabi
memperoleh kebenaran langsung dari Tuhan sedangkan para filosof memperolehnya
lewat pemikiran. Hal senada telah diungkapkan oleh filosof Muslim perintis.[7]
Ibn Rusyd
Ibn Rusyd membicarakan filsafat ketuhanan diberbagai karangannya,
antara lain pada Tahafut al Tahafut dan Mana-hij al Adillah,
filsafat ini membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan hubungan-Nya
dengan alam. Dalam Fashl Al Maqal Ibnu Rusyd menyatakan, bahwa mengenal
pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya,
untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta. Allah memberikan dua dalil dalam
kitab-kitabNya yang diringkas oleh Ibnu Rusyd sebagai dalil ‘inayah dan dalil
cipta atau ikhtira’, ayat-ayat yang mewujudkan dalil ‘ikhtira’ adalah seperti: Sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakannya
(Q.S. Al-Hajj: 73). Dan ayat-ayat yang mewujudkan dalil inayah adalah seperti: Bukankah
kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai
pasak. (Q.S. An-Naba: 6-7).[8]
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang
pernah di kemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai
dengan apa yang telah digariskan oleh Syara, dalam berbagai ayatnya Ibn Rusyd
mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang di
pandangnya sesuai tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang–orang khusus
yang terpelajar.
Dalil ‘inayah (pemeliharan). Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusia.
Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia.
Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian
ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaja diciptakan
demikian oleh sang pencipta bijaksana.[9]
Dalil ‘inayah ini mempunyai kelebihan atas
dalil-dalil golongan Asy’ariyah karena dalil ‘inayah itu mengajak kita kepada
pengetahuan yang benar, bukan sekedar ada argumentasi, tapi mendorong kita
untuk memperbanyak penyelidikan dan menyingkap rahasia-rahasia alam, bukan
untuk menimbulkan kesulitan dan kejanggalan. Dalil ‘inayah juga mempunyai kelebihan
atas dalil golongan tasawuf yang membawa kita baik cepat maupun lambat, kepada
kemajuan kreatifitas dan tawakal yang bukan pada tempatnya.[10]
Dalil Ikhtira’ (penciptaan). Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti
ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan
sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan
padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai
bintang dan falak di angkasa tunduk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu
siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di
alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini.[11]
Dalil ini memberikan dorongan untuk mengikuti jalan
keilmuan sedalam-dalamnya. Hal ini berarti sama dengan dalil ‘inayah. Dalil
‘ikhtira’ lebih berguna daripada dalil atom atau dalil wajib mungkin, dan
lain-lain. Kelebihan dalil ini karena dipakai oleh syara’ sendiri dan
menguatkan adanya kebijaksanaan Tuhan. Sebagaimana contoh ayat di atas.[12]
Dalil Gerak. Dalil ini berasal
dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan
tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil
ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu
berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak
pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak
pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada
sifatnya.[13]
Dalil gerak atau Penggerak Pertama yang diambilnya
dari Aristoteles menurut Ibn Rusyd bahwa alam semesta ini bergerak dengan suatu
gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang
tidak bergerak dan tidak berbenda yaitu Tuhan. Namun Ibnu Rusyd tidak mengikuti
pemikira Aristoteles yang mengatakan bahwa gerakan benda-benda langit adalah
qadim, karena Ibn Rusyd mengatakan bahwa benda-benda langit gerakannya
dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman, karena zaman tidak
mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita anggap
sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama
atau sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud.[14]
Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada
perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn
Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih
(penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah
dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
Selain keempat teori di atas Ibnu Rusyd pula
mengemukakan pendapatnya tentang Kebangkitan Jasmani dan Kerasulan Nabi dalam
beberapa kitabnya.
Kebangkitan Jasmani. Menurut Ibnu Rusyd, keimanan terhadap kebangkitan jasmani adalah suatu keharusan bagi terwujudnya keutamaan
akhlak, keutamaan teori dan amalan lahir, karena seseorang tidak akan
memperoleh kehidupan yang sebenarnya dalam dunia dan akhirat, tidak bisa
tercapai kecuali dengan keutamaan-keutamaan teori. Baik amalan-amalan lahir
maupun batin keutamaan-keutamaan teori tidak bisa terwujud dan tercapai,
kecuali dengan keutamaan-keutamaan akhlak, sedang keutamaan akhlak tidak bisa
tercapai kecuali dengan jalan mengetahui Tuhan dan memuji-Nya dengan ibadah
yang telah ditentukan untuk masing-masing agama, seperti: berkorban, shalat,
dan ucapan-ucapan lain yang diucapkan untuk memuji Allah dan malaikat-malaikat
serta nabi-nabi-Nya.
Kerasulan Nabi. Pembuktian kerasulan
para ulama kalam menyatakan apabila orang berbicara dan berkehendak dapat
mengutus hamba-hambanya, maka bagi Tuhan juga apabila berbicara dan beriradah
dapat mengutus rasulnya. Pembuktian ini adalah melalui jalan kias, namun jalan
tersebut hanya bisa membawa kesimpulan yang mungkin saja, sehingga tidak bisa disebut
kias burhani (kias yang meyakinkan). Bagi golongan Asy’ariyah
dalam memperkuat kias itu adalah “bahwa orang yang mengaku menjadi utusan
tuhan, maka harus menunjukan benar-benar bahwa ia diutus tuhan untuk
hamba-hamba-Nya, dan tanda ini dinamakan mukjizat.
Pembuktian sepert itu menurut Ibnu Rusyd hanya
bersifat memuaskan hati, tetapi tidak meyakinkan, namun ia menyadari bahwa
pembuktian itu sesuai dengan kebanyakan orang. Apabila diteliti dengan seksama
pembuktian mengandugn berbgai kelemahan. Diantaranya yaitu dari mana kita
mengetahui bahwa mukjizat yang nampak pada seseorang yang mengaku nabi itu adalah
tanda dari Tuhan yang menjukkan bahwa ia benar-benar rasul-Nya. Keadaan
demikian tidak bisa ditetapkan oleh syara. Karena syara belum dapat ditetapkan,
sebaba menunggu penetapan kerasulannya itu. Akal pikiran pun tidak bisa
menetapkan bahwa tanda tersebut adalah khusus untuk para rasul, kecuali apabila
memang tanda itu telah diketahui wujudnya berkali-kali dari orang yang mengaku
menjadi rasul dan tidak terjadi pada orang lain.[15]
DAFTAR BACAAN
Muhammad
Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, Jakarta, 2004,
Aboebakar, H. Sejarah Filsafat Islam, Solo-
Al-Jisri, Nadim. Wujud dan Ma’rifah, Jakarta, 1992.
Mustofa, H.A. Filsafat Islam, Bandung; 1997.
Muthahhari,
Murtadha. Tema-Tema Penting Filsafat Isalm, Bandung, 1993
[1]
Murtadha
Muthahhari, Tema-Tema Penting Filsafat Islam, (Bandung, 1993), Hlm 19-21.
[2] H.A. Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung, 1997, Hlm 170-17.
[3] Nadim
Al-Jisri, Wujud dan Ma’rifah, Jakarta, 1992, Hlm 7.
[4] H.A. Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung, 1997, Hlm 171.
[5] H. Aboebakar, Sejarah
Filsafat Islam, Solo-, Hlm…
[6] H.A.Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung, 1997, Hlm 174
[7] H.A.Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung, 1997, Hlm 175.
[8] H.A.Mustofa,
Filsafat Islam,… Hlm 289-292.
[9] Muhammad Iqbal,
Ibnu Rusyd dan Averroisme, Jakarta, 2004, h. 21-25.
[10] H.A.Mustofa,
Filsafat Islam,… Hlm 292.
[11] Muhammad Iqbal,
Ibnu Rusyd dan Averroisme,… Hlm 22.
[12] H.A.Mustofa,
Filsafat Islam,… Hlm 292,
[13] Muhammad Iqbal,
Ibnu Rusyd dan Averroisme,… Hlm 24
[14] H.A.Mustofa,
Filsafat Islam,… Hlm 294
[15] H.A.Mustofa,
Filsafat Islam,… Hlm 301-304
No comments:
Post a Comment