Abdul
Rauf Singkel
Islam sebagai
gagasan dan menjadi agama mayoritas di Nusantara menggunakan Aceh sebagai pintu
gerbangnya. Banyak perdebatan mengenai kedatangan awal Islam di nusantara, akan
tetapi itu semua mengkristal bahwa Aceh adalah daerah pertama di Nusantara yang
menerima Islam. banyak pengamat mengatakan bahwa Islam sudah disebarkan di Aceh
pada abad pertama Hijriah. Dan menjadi “resmi’ pada abad 12-13 Masehi.
Ini ditandai
dengan adanya makam Sultan Kerajaan Pasai. Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar
Muda, kerajaan Aceh Darussalam sedang berada dalam puncak keemasannya. Demikian
pula dengan kegiatan keagamaaannya dipimpin oleh tokoh tasawwuf wujudiyah
Syamsuddin Pasai, seorang pengikut Hamzah Fansuri. Dengan kondisi pemerintahan
dan keagamaan seperti ini, Aceh menjadi tumpuan para ulama dari Timur Tengah di
Asia Tenggara. Termasuk Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurrauf Singkel.
Biografi Abdurrauf
Nama lengkapnya adalah
Syekh Abdurrauf Ali Al Fansury Al Singkily Al Jawi. Beliau adalah penyair,
budayawan, ulama besar, pengarang tafsir, ahli hukum, cendikiawan muslim dan
seorang Sufi yang sangat terkenal di Nusantara yang lahir pada tahun 1615 atau
1620 di Singkel, sebuah kabupaten di Aceh Selatan. Dia berasal dari kalangan
keluarga muslim yang taat beribadah. Ayahnya berasal dari Arab bernama Syeikh
Ali dan ibunya seorang wanita berasal dari desa Fansur Barus, sebuah pelabuhan
(bandar) yang sangat terkenal waktu itu.
Dimasa mudanya mula-mula
Abdurrauf belajar pada Dayah Simpang Kanan di pedalaman Singkel yang dipimpin
Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke
Barus di Dayah Teungku Chik yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansury. Ia sempat
pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi yang dipimpin oleh Syeikh Samsuddin
as-Sumatrani. Setelah Syeikh Samsuddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat oleh
Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi
Malikul Adil, Abdurrauf pun pergi mengembara. Beliau tidak suka
menetap di kota kelahirannya. Beliau lebih suka memilih mengembara meninggalkan
kota kelahirannya untuk menuntut ilmu di berbagai pelosok nusantara dan Timur
Tengah. Abdurrauf selalu merasa haus terhadap ilmu pengetahuan. Beliau pernah
belajar hampir dua puluh tahun di Mekkah, Madinah, Yaman dan Turki. Sehingga
tidak mengherankan kalau Beliau menguasai banyak bahasa, terutama bahasa
Melayu, Aceh. Arab dan Persia.
Pada tahun 1661 M Syeikh
Abdurrauf kembali ke Aceh dengan memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil,
sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh
Nuruddin ar-Raniry. Mengenai pendapatnya tentang faham Syeikh Hamzah Fansuri
(Tarekat Wujudiah) nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin ar-Raniry. Beliau
tidak begitu keras, Walaupun Syeikh Abdurrauf termasuk penganut faham tua
mengenai ajarannya dalam ilmu tasawuf. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia
berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut
tarekat ini sebagai kafir. Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya.
Jika benar ia kafir, maka perkataannya itu akan berbalik kepada dirinya
sendiri. (lkara.wordpress.com)
Beliau wafat 1693 dan
dimakamkan disamping makam Teungku Anjong yang dianggap paling keramat di Aceh,
dekat kuala sungai Aceh. Oleh karena itulah beliau dikenal dengan sebutan
Teungku di Kuala, hingga kini makamnya menjadi tempat ziarah berbagai lapisan
masyarakat, baik dari Aceh sendiri maupun dari luar Aceh. Berkat
kemasyhurannya, nama al-Singkily diabadikan menjadi nama sebuah perguruan
tinggi di Aceh yaitu Universitas Syiah Kula. (darisrajih.worspress.com).
Karya-karyanya
Karya tulisnya
yang diketahui lebih kurang dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu sastra,
hukum, filsafat, dan tafsir, antara lain;
‘Umdat al-Muhtajin ila suluki Maslak
al-Mufridin; dengan terjemahannya sendiri; Perpegangan Segala Mereka itu yang
Berkehendak Menjalani Jalan Segala Orang yang Menggunakan Dirinya. Dalam
karya ini diterangkannya tentang tasawuf yang dikembangkannya itu. Dzikir
dengan mengucap La Illah pada
masa-masa tertentu merupakan pokok pangkal tarikat ini. Kitab tersebut terdiri
atas tujuh faedah dan
bab. Sesudah faedah yang ketujuh diberinya khatimah yang berisi silsilah. Di
samping memberi penjelasan tentang ajaran Abdur-Rauf, silsilah ini juga
memberikan gambaran di mana dengan cara apa ulama-ulama dan pengarang-pengarang
besar Melayu lainnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab ini pula ia
menyebut telah berada selama sembilan belas tahun di negeri Arab.
Mir’at
al-Tullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah li’l-Malik al-Wahab. Dalam kitab ini
disebutnya ia mengarang atas titah Sultanah Tajul-Alam Safiatuddin Syah. Isinya
ialah ilmu fikah menurut mazhab Syafi’i. Ilmu mu’amalat yang tidak dibicarakan
dalam Sirat al-Mustaqim karangan
Nuruddin ar-Raniri, dimasukkan disini.
Kifayat
al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Talibin. Dalam karya ini disebutnya ia dititahkan
oleh Sultanah Tajul-Alam untuk mengarang. Isi kitab ini ialah tentang ilmu
tasawuf yang dikembangkan oleh Abdur-Rauf.
Mau’izat
al-Badi’ atau al-Mawa’ith al-Badi’ah. Karya
ini terdiri atas lima puluh pengajaran dan ditulis berdasarkan Qur’an, hadith,
ucapan-ucapan sahabat Nabi Muhammad saw serta ulama-ulama besar.
Tafsif
al-Jalalain. Abdur-Rauf
juga telah menterjemah sebagian teks dari Tafsir
al-Jalalain, surah 1 sampai dengan surah 10.
Tarjuman
al-Mustafiq. Merupakan
saduran dalam bahasa Melayu dari karya bahasa Arab ini. Dalam sebuah naskah
Jakarta disebut ada tambahan dari murid Abdur-Rauf, Abu Daud al-Jawi ibn Ismail
ibn Agha Ali Mustafa ibn Agha al-Rumi (Van Ronkel, Catalogus der Maleische Handschriften 1909 dalam ibid).
Syair
Ma’rifat. Syair ini
terdapat dalam naskah Oph 78, perpustakaan Leiden, yang disalin pada 28 Januari
1859 di Bukit Tinggi(lkara.wordpress.com).
Pemikirannya
Dalam seluruh tulisannya, seperti gurunya
al Kurani, menunjukkan bahwa perhatian utamanya adalah rekonsiliasi antara
syariat dan tasawuf, atau dalam istilah sendiri, antara ilmu zhahir dan ilmu
batin. Karena itu ajaran-ajaran yang diusahakannya untuk disebarkan di wilayah
melayu –Indonesia adalah ajaran-ajaran yang termasuk ke dalam Neo-Sufisme. Hal
ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang menekankan bahwa tasawuf harus
berjalan seiring dengan syariat. Menurutnya, hanya dalam kepatuhan mutlak pada
syariat para penganut jalan mistis dapat memperoleh pengalaman haqiqah
(realitas) sejati. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama..1999. 208)
Al Singkili merupakan
ulama pertama di wilayah Melayu-Indonesia yang menulis fiqh muamalat. Melalui
kitab Mir’at al Thullab yang menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu bahwa
doktrin-doktrin hukum islam tidak terbatas pada ibadah saja tetapi juga
mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka.
Al Singkili menulis bukan hanya untuk kaum
muslim awwam tetapi juga untuk kalangan elit (al khawwas) mengenai topik-topik
yang berkaitan dengan ilmu-ilmu batin seperti kalam dan tasawuf. Al Singkili
dalam karyanya Kifayat al-Muhtajin ila Masyrah al-Muwahhidin al-qa’ilin bi
Wahdah al-Wujud, mempertahankan transedensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Dia menolak
pendapat wujudiah yang menekankan emanasi Tuhan atas ciptaan-Nya. Al Singkili
berargumen sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia selalu memikirkan tentang
dirinya sendiri, yang mengakibatkan terciptanya nur Muhammad (cahaya Muhammad).
Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen yaitu potensi
alam raya yang menjadi sumber dari pola-pola dasar luar, ciptaan dalam bentuk
kongkritnya. Al Singkili menyimpulkan meski pola-pola dasar luar merupakan
emanasi dari wujud mutlak, mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri. Hubungan
keduanya seperti tangan dan bayangannya. Meski tangan hampir tidak bisa
dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama. (Azyumardi Azra,1999. 206).
Tetapi perlu diingat,
pendekatan al Singkili pada pembaruan berbeda dari pendekatan ar-Raniry: dia
adalah mujaddid bergaya revolusioner bukan radikal. Oleh karena itu, seperti
Ibrahim al Kurani, dia lebih suka mendamaikan pandangan-pandangan yang saling
bertentangan daripada menolak salah satu diantaranya.
Dari beberapa pemaparan diatas,
dapat disimpulkan bahwa kedua tokoh tersebut, Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf
Singkel termasuk dalam kategori Neo-Sufisme,
yaitu pembaharuan dalam ajaran tasawuf, karena beliau telah merubah cara
pandang ajaran kaum sufi yang telah lama berkembang di Aceh, yang sangat
mempercayai atau mengagung-agungkan faham “wujudiyah”. Meskipun keduanya sama-sama menolak paham
“wujudiyah”, tetapi mereka berbeda dalam
hal cara/metode yang digunakan. Abdurrauf tidak begitu keras, Walaupun beliau
termasuk penganut faham tua mengenai ajarannya dalam ilmu tasawuf. Terhadap
Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa
mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir. Membuat tuduhan seperti itu
sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, maka perkataannya itu akan berbalik
kepada dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment