(Zuhud, Taubah, Wara', Faqr, Sabar, Tawakal &
Ridha)
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa Arab, yang berarti tempat
orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat
dengan Allah Swt. (Abuddin Nata, 2003. 193). Istilah maqamat (jamak: maqamat), di pahami secara berbeda dikalangan
para sufi sendiri. Meski demikian, semuanya sepakat memahami maqamat bermakna
kedudukan seorang pengembara spiritual di hadapan Allah Swt., yang diperoleh
melalui kerja keras dalam beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu
(mujahadah) serta latihan-latihan keruhanian budi pekerti yang menjadikannya
mampu untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya untuk
menjalankan kewajiban sebaik-baiknya.
Muhammad al Kalabazy dalam kitabnya Al Ta'arruf li Madzhab ahl at
Tasawuf, menuliskan 10 maqamat yang harus difahami oleh para pencari tuhan,
sepuluh maqamat itu adalah at taubah, al zuhud, as shabr, al faqr, al tawadhu,
al taqwa, al tawakal, ar ridha, al mahabbah, dan al ma'rifah.
Sementara Abu Nasr al Shirraj al Thusi dalam kitabnya al Luma',
hanya menjelaskan enam maqamat yang harus ditempuh para sufi, diantaranya; al
taubah, al zuhud, al faqr, al tawakal,
al ridla. Imam Ghazali dalam Ihya Ulummuddinnya, menyebutkan tujuh
maqamat yaitu, at atubah, as shabr, al zuhud, al tawakal, al mahabbah, al
ma'rifah, al ridha.
Melihat versi maqamat yang telah di kutip diatas, itu memperlihatkan perbedaan versi penyebutan maqam. Adapun
beberapa maqam yang sudah menjadi kesepakatan bersama dikalangan ulama sufi
ialah at taubah, al zuhud, al wara, al faqr, as shabr, at tawakal dan ridha
.
Al Zuhud. Berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian. Menurut Harun Nasution zuhud berarti meninggalkan keadaan dunia
dan hidup kematerian. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang paling urgen
dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh dunia. Para muzahid lebih
mengutamakan mengejar kehidupan akhirat dari pada dunia, hal ini dapat di
sandarkan pada firman Allah Swt;
"Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat
itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan di aniaya
sedikitpun. (QS. aN Nisa 4:77).
Kemudian dalam surah lain (QS. Al An'am 6: 32) juga dapat dilihat, "Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain
dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih
baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu memahaminya. Ayat
ini memberi petunjuk bahwa kehidupan dunia sementara, di bandingkan dengan
kehidupan akhirat yang abadi. (Abuddin Nata, 2003. 194-195).
Secara hakikat zuhud dapat di bagi ke dalam tiga derajat zuhud, Pertama.
Memaksakan zuhud terhadap dunia dan memerangi nafsunya dalam usaha
meninggalkannya walaupun disukanya. Kedua. Zuhud terhadap dunia secara
sukarela karena meremehkannya di samping apa yang di harapkannya. Semisal
memberi tidak untuk meminta balasan. Walau is berada dalam posisi kekurangan.
Ketiga. Puncak kapasitas zuhud tertinggi yaitu bersikap zuhud
dengan sukarela dan tidak merasakan zuhudnya, karena ia tidak menganggap bahwa
ia meninggalkan sesuatu,karena mengetahui bahwa dunia bukan apa-apa. Maka
janganlah mengandalkan makan, minum,
nikah, tempat tinggal, dan segala kebutuhanmu, kecuali sekedar yang engkau
perlakukan untuk menegakkan badan dan menghidupi dirimu, inilah zuhud yang
hakiki. (Imam al Ghazali, 1995. 277-278).
At Taubah. Secara etimologi kata ini berasal dari bahasa Arab
(toba, yatubu, taubat, yaubatan yang artinya kembali.) Tobat yang di
persepsikan para pengikut tasawuf adalah permohonan ampunan atas segala dosa,
kesalahan, disertai janji sungguh-sungguh tidak mengulangi perbuatan dosa itu
dan disertai dengan melakukan aksi kebaikan. (Abuddin nata, 2003. 197-198).
Al Qur'an sebagai dasar konstitusi kehidupan manusia juga menganjurkan
manusia agar bertaubat, hal ini dapat di lihat dalam firmannya:
" Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka. (Qs. Ali Imran, 3: 135).
Tobat pada kapasitasnya dalam tingkatan terendah adalah menyangkut dosa
yang dilakukan jasad atau anggota badan. Naik ke level menengah, tobat
menyangkut juga pangkal dosa-dosa, (dengki, sombong dan riya). Selanjutnya
masuk ke level tertinggi tobat adalah menyangkut usaha menjauhkan bujukan
syetan dan menyadarkan jiwa dari rasa bersalah. Pada tingkatan ini, tobat
berarti penyesalan atas kelengahan dalam mengingat Allah Swt. Tobat pada
tingkat ini merupakan penolakan terhadap sesuatu selain yang dapat memalingkan
dari Allah Swt. (Rosihin Anwar, 2000. 71-72).
Al Wara'. Secara harfiah artinya saleh, menjauhkan diri dari
perbuatan dosa. Kata ini kemudian megandung pengertian menjauhi hal-hal yang
tidak baik. Dalam terminology kaum sufi, wara' adalah meninggalkan segala yang
di dalamnya terdapat keraguan antara halal dan haram.
Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadist nabi
yang berbunyi: "Baang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka
sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.(HR. Bukhori).
Bagi kaum sufi pentingnya bersifat wara' menjaga diri dari yang syubhat
merupakan sebuah sikap yang harus dilakukan untuk menjaga hati agar tidak
ternoda dengan sesuatu yang belum jelas, karena dalam pandangan mereka sesuatu
yang subhat itu lebih dekat kepada yang haram.
Al Faqr (Kefakiran). Faqir
biasanya di artikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Kaum
sufi memandang faqir adalah tidak meminta-minta lebih dari apa yang telah ada
pada kita. Tidak meminta sesuatu melainkan hanya untuk menjalankan keawjiban.
(Abuddin nata, 2003. 197-198).
As Shabr (Sabar). Sabar adalah menahan diri dari melampiaskan
syahwat dan berlarut-larut dalam melakukannya. Seseorang juga harus sabar bila
di ganggu orang lain dengan perkataan dan perbuatan. Seorang sahabat nabi
pernah berkata " Kami tidak menganggap iman seseorang sebagai iman bila
tidak sabar di kala menghadapi gangguan". Dalam al Qur'an Allah Swt juga berfirman: "Mengapa
Kami tidak akan bertawakkal kepada Allah Padahal Dia telah menunjukkan jalan
kepada Kami, dan Kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan
yang kamu lakukan kepada kami. dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang
bertawakkal itu, berserah diri".(Qs, Ibrahim 14: 12).
Sementara menurut Ibn Abbas kesabaran dalam al Qur'an terbagi ke dalam
tiga bagian, yaitu: kesabaran untuk menunaikan kewajiban-kewajiban karena Allah
Swt dan ia mempunyai tiga ratus derajat, kesabaran untuk tidak melanggar
larangan-larangan Allah Swt dan ia mempunyai enam ratus derajat, dan kesabaran
dalam menanggapi musibah pada pukulan pertama ia mendapatkan Sembilan ratus
derajat.
Tawakal. Merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan
dirinya hanya kepada Allah Swt. Dalam hal ini al Ghazali mengaitkan tawakal
dengan tauhid, dengan penekanan tauhid sebagai landasan tawakal. Menurut al Ghazali tingkatan tawakal dapat di persepsikan dengan; 1.
Keyakinannya kepada Allah Swt. 2. Keadaannya kepada Allah seperti keadaan anak
kecil terhadap ibunya. 3. Seperti pucatnya orang sakit yang bisa terus
berlangsung dan terkadang lenyap. Lebih lanjut al Ghazali mengatakan kedudukan
ketiga menolak perencanaan secara langsung selama ia tetap dalam keadaan itu.
Kedudukan kedua menolak perencanaan, kecuali dari segi pegandalan kepada Allah
Ta'ala dengan berdoa dan merengek seperti anak kecil memanggil ibunya. (Imam al
Ghazali, 1995. 256-257).
Ridha (Kerelaan). Berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa
yang di anugrahkan oleh Allah Swt. Ridha
juga rela melihat hikmah dan kebaikan dai balik cobaan yang diberikan Allah dan
tidak berburuk sangka kepadanya. Menurut Abdul Halim Mahmud Ridha mendorong
manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yan dicintai Allah Swt dan
Rasul Saw. Namun sebelum mencapainya harus menerima dan merelakan akibatnya
dengan cara apapun yang di sukai Allah Swt. (Rosihin Anwar, 2000. 73).
DAFTAR BACAAN
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003).
Imam al Ghazali, Mukhtasyar Ihya Ulumuddin, (Jakarta: Pustaka
AMANI, 1995).
Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka setia,2000).
No comments:
Post a Comment