SEJARAH
RADIKALISME
DALAM KOMUNITAS
MUSLIM DI INDONESIA
Dalam masa
reformasi, diskursus-diskursus mengenai kebebasan dan kemanusiaan muncul keluar
dengan segala kebebasannya. Seakan keluar dari penjara otoriter pemerintah yang
membungkam kreatifitas dan kebebasan masyarakatnya. Salah satu diskursus yang
tidak kalah penting pada lima tahun terakhir ini adalah kebangkitan Islam.
Banyak gerakan-gerakan yang muncul akibat refleksi situasi yang semakin
menggerogoti dan mengancam kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Gerakan-gerakan
yang muncul ini disebut gerakan radikal. Disebut seperti itu, karena para
anggotanya bertindak anarkis dalam menyikapi situasi masyarakat yang tidak
sejalan dengan syari’at. Mereka melihat dalam kehidupan masyarakat terjadi
penyimpangan-penyimpangan agama maupun moral yang jauh dari ajaran Islam. Untuk
menyikapi hal tersebut, gerakan-gerakan ini berusaha merealisasikan apa yang
diidealkan agamanya (Islam). Tapi, akibat tidak adanya respon balik dari
pemerintah dan malah cenderung menghalangi gerakan ini, timbul lah
tindakan-tindakan anarkis.
Radikalisme
Islam yang muncul di Indonesia, akibat dari faktor lambannya pemerintah dan
organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah dalam menangani
kasus-kasus di atas yang disertai dengan perjuangan merealisir konsep dalam al
Qur’an dan sunnah, yakni implementasi syari’at Islam. Dalam konteks
internasional radikalisme Islam tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga
terjadi di negara-negara mayoritas muslim. Atau bahkan terjadi di negara,
dimana Islam dijadikan sebagai agama negara, seperti Mesir, Iran, Palestina
dsb.
Perkembangan
gerakan ini semakin menguat setelah terjadi peristiwa 11 september yang menimpa
gedung WTC milik AS. terjadinya tragedi ini, AS dan sekutunya menuduh kalangan
Islam sebagai pelakunya. Lebih-lebih
menyamakan gerakan-gerakan Islam militan dengan gerakan teroris. Usai tragedi
11 September 2001 diskursus gerakan-gerakan radikal Islam marak dibahas
bersanding dengan wacana terorisme. Sebab, Amerika yang dirundung duka itu
mengasumsikan bahwa Osama Bin Laden dan kroninya —yang notabene muslim
fundamentalis— adalah dalang di balik serangan itu.
Realitas politik nasional maupun internasional yang demikian itu,
dirasa telah meyudutkan Islam, dimana hal ini telah mendorong kalangan
fundamentalis Islam untuk bereaksi keras. Dalam hal ini. Dengan menampilkan
diri sebagai gerakan radikal, fundamentalisme mengecam keras
kebijakan-kebijakan politik AS, diantaranya dengan menunjukkan simbol-simbol
anti-AS.
Istilah radikalisme dan fundamentalisme Islam
Istilah radikalisme dan fundamentalisme Islam sebenarnya sangat
berkaitan erat. Kedua istilah ini sebenarnya berangkat dari kebangkitan Islam
politik akibat diskriminasi terhadap Islam. Dalam beberapa literatur, istilah
Islam politik, radikalisme atau neofundamentalisme atau revivalisme Islam
memiliki tafsiran yang cenderung sama. Para tokoh Islam Barat maupun Timur
punya pandangan sendiri tentang istilah-istilah tersebut. John L. Esposito
(1997) misalnya, menyamakan istilah Islam politik dengan (fundamentalisme
Islam) atau gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara Oliver Roy (1994)
cenderung menafsirakan Islam politik sebagai kelompok-kelompok yang meyakini
Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai idiologi politik. Sedikit berbeda
dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang ia sebut sebagai gerakan
neo fundamentalism yang antara lain menghendaki pemberlakuan syari’at
Islam.[1]
Istilah radikalisme umumnya dipakai oleh para akademisi dan
kalangan media massa, yang merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang
ekstrim, militan, dan non toleran serta anti Barat/Amerika. Lebih-lebih setelah
ultimatum Presiden AS George W. Bush, tentang perang melawan terorisme pasca
tragedi 11 september 2001, kedua istilah tersebut dicampur adukan dengan
terorisme.dan tak jarang pula cap fundamentalisme diberikan oleh semua orang
Islam yang menerima Qur’an dan Hadits sebagai satu-satunya jalan hidup. Dengan
demikian, jargon “kembali kepada agama” dalam politik dan masyarakat tercakup
dalam istilah Fundamentalisme Islam (Esposito, 1994).
Menurut Esposito lagi, persepsi istilah fundamentalisme Islam,
dipengaruhi oleh sebuah gerakan Protestanisme abad ke-20. Tapi menurut tokoh
Timur, M. ‘Âbid al-Jâbirî, awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan
Salafiyyah Jamaluddin Al-Afghânî. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa
tak punya istilah padanan yang tepat untuk menterjemahkan istilah Salafiyyah.
Hingga Anwar Abdul Malik pun memilih istilah itu sebagai representasi dari
istilah Salafiyyah Al-Afghânî, dalam bukunya Mukhtarât min Al-Adab Al-Arabi
Al-Mu‘âshir (1965: berbahasa Prancis), dengan tujuan memudahkan pemahaman dunia
tentangnya dengan istilah yang sudah cukup akrab: fundamentalisme.[2]
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi. Professor
filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa “fundamentalisme Islam” adalah
istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan
gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu
sering digunakan oleh banyak pemikir.[3]
Kalau al-Jâbirî dan Hanafi cenderung adem ayem dengan pematokan istilah tadi,
M. Said al-Asymawi cenderung mirip dengan pendapat Esposito dan berusaha
mencari akar peristilahannya. Sebelum al-Asymawi menggunakan istilah itu, ia
berusaha mengungkap makna awal dari istilah ‘fundamentalis’.
Dalam buku Al-Islâm Al-Siyasî (1987), al-Asymawi berkata bahwa
istilah fundamentalis awalnya berarti umat kristen yang berusaha kembali ke
asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan
pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran
formal agama, serta ekstrem dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga
komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut fundamentalis,
dan istilah fundamentalisme Islam pun muncul.[4]
Semua pendapat dan argumen-argumen para tokoh di atas, dapat
ditemukan makna sama yang akhirnya berujung dari tindakan radikal anarkis. Dari
ungkapan istilah itu pula, ditemukan semacam pengertian bahwa fundamentalisme
merupakan semacam ideologi agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun
individu. Dan fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan
ketika kebebasan untuk kembali pada ajaran agama dihalangi oleh situasi sosial
politik yang mengelilingi masyarakat. Sebenarnya jika radikalisme yang dimaksud
hanya sebatas pandang ideologis, artinya hanya bersarang pada pemikiran, hal
itu tidak menjadi masalah. Tetapi, jika harapan merealisir fundamentalisme
dihalangi oleh kekuatan politik, maka radikalisme akan meluas menjadi suatu
kekerasan. Konflik terbuka pun tidak dapat di hindari.
Faktor Awal Munculnya Radikalisme Islam di Indonesia
Sebenarnya kebangkitan Islam di Indonesia baru muncul sekitar tahun
1980-an. Yaitu gejala-gejala agama yang muncul secara dominan yang ditandai
oleh menguatnya kecenderungan masyarakat untuk kembali pada agama dengan
mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian,
perlu dicatat bahwa sebelumnya, yakni tahun 1970-an, sudah muncul kesadaran
masyarakat Islam secara lebih nyata. Hal itu terlihat pada simbol-simbol Islam
yang muncul serentak pada kampus sekuler (non-agama) ditandai dengan banyaknya
perempuan-perempuan pemakai jilbab. Gerakan keagamaan lama sebelum itu sudah
eksis diantaranya NU dan Muhammadiyah.
Bangkitnya Islam di Indonesia, telah terdorong oleh faktor-faktor
tertentu yang berasal dari dalam maupun luar Islam. Beberapa upaya yang
menandai gerakan-gerakan Islam Indonesia antara lain: 1) menemukan bentuk
pemahaman ajaran-ajaran Islam yang perlu untuk dirumuskan dan disodorkan
sebagai alternatif terhadap system yang berlaku. 2) menerapkan ajaran Islam
secara praktis-tidak hanya sebagai konsep-konsep yang abstrak. 3) meningkatkan
keberagaman masyarakat. kelemahan Islam dalam politik dan peminggirannya pada
masa orde baru, membuat Islam jadi frustasi. Karena tahun 1980-an, Islam sampai
pada jalan yang buntu, beberapa intelektual Islam mengajukan alternative dengan
media kampus. 4) melakukan purifikasi keagamaan, dalam hal ini ada dugaan Islam
telah terdistorsi karena Islam dipahami dan ditafsirkan secara parsial.[5]
Kehadiran gerakan-gerakan Islam yang di tandai faktor-faktor di
atas, sangat kontekstual. Karena rezim Soeharto pada waktu itu membatasi dan
mengawasi gerakan-gerakan Islam yang muncul. Dengan demikian, situasi
sosial-politik dan kultur yang mengelilingi masyarakat Islam di Indonesia telah
mendorong lahirnya berbagai gerakan keagamaan ini. Tapi gerakan-gerakan Islam
ini baru bisa muncul pasca revolusi
1998, yaitu setelah Presiden Soeharto lengser. Pada masa orde baru
gerakan-gerakan radikalisme Islam nyaris tidak tampak sedikitpun. Disebabkan
karena otoritarianisme orde baru yang menerapkan sistem pemerintahan tunggal.
Sistem yang bertumpu pada UUD dan Pancasila. Sehingga kelompok-kelompok yang
menginginkan adanya penerapan syari’at Islam dalam sistem pemerintahan segera
dibungkam dan disingkirkan. Tindakan-tindakan yang menggoyang stabilitas
nasional dihempas.
Dengan berakhirnya pemerintahan orde baru, pintu demokrasi terbuka
lebar. Gerakan-gerakan yang berbasis Islam sebagai ideologi, pada masa orde
baru mulai bermunculan, dengan mendirikan partai politik, LSM, majlis ta’lim,
dll, dan menjual ide ke wilayah publik bahkan berani mensosialisasikan konsep
khilafah sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Seperti yang terjadi pada
organisasi Islam, HTI. Gerakan-gerakan radikal di Indonesia ini semakin
bertambah banyak dan meluas karena juga pengikut-pengikutnya kian bertambah.
Tapi gerakan-gerakan ini berbeda-beda dalam sistematisasi organisasi ataupun
tujuannya. Gerakan-gerakan di Indonesia yang sudah dicap radikal dengan segala
sepak terjang militansinya antara lain FPI (Front Pemebela Islam), HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia), Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Front
Pemuda Islam Surakarta (FPIS).
Demikian halnya dengan keadaan sosial politik yang dialami muslim
fundamentalis Mesir sebelum Jamaat Jihad didirikan. Pada bulan September 1981
pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah
atthaifiyyah’. Lalu aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Dan
dalam penjara mereka mendirikan Jamaah Jihad. Kemudian pada tanggal 6 Oktober
1981, kelompok yang berpegangan pada buku radikal “Al-Faridzah Al-Ghaibah”
karya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat terlihat bahwa
gerakan radikalisme secara sosiologis, timbul karena tertindas atau
tertekan.
Dengan basis ideologi Islam, gerakan-gerakan radikal Islam ini
tidak melulu ingin menerapkan syari’at Islam dalam sistem pemerintahan, tetapi
juga ada yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, disamping ingin
menegakkan berdirinya kekhilafahan Islam, sebagaimana yang diteriakkan oleh
HTI. Dalam sejarah, Gerakan “Darul Islam” yang diperkenalkan oleh Kartosuwiryo
adalah contoh klasik yang memasukkan Islam untuk mendorong berdirinya negara
Islam. Walaupun mempunyai sistem perjuangan yang berbeda-beda, umumnya
gerakan-gerakan ini memiliki persamaan dalam satu hal, yaitu menghendaki
penerapan syari’at (hukum) Islam di bumi Nusantara.[6]
Disamping itu, gerakan-gerakan ini juga memiliki latar belakang berbeda sebagai
sebab kemunculannya.
Dari konteks sosial, MMI misalanya,lahir sebagai respon dari
kondisi ekonomi dan politik yang makin tak berdaya menghadapi tekanan kekuatan
asing (khususnya AS). FPI muncul sebagai reaksi atas maraknya kemaksiatan dan
premanisme yang makin tak terjangkau oleh hukum. Akibat ketidakmampuan
pemerintah mengatasi konflik di tingkat lokal, Laskar Jihad (LJ) muncul
berusaha menghentikan persoalan-persoalan dari konflik tersebut. Kedua terakhir
ini, dapat dikategorikan radikal bukan hanya mereka mempertahankan negeri dari
gangguan imperalis asing, tetapi juga karena mereka mempunyai agenda politik
untuk menegakkan norma-norma Islam.
Sedangkan munculnya HTI, lebih merupakan reaksi dari ketidakadilan
tata hubungan antar bangsa yang makin didominasi Barat. Gerakan ini
terinspirasi gerakan international dengan nama serupa. Meskipun demikian, HTI
lebih cerdik dan praktis dalam mensosialisasikan ide-ide mereka melalui media
elektronik. Seperti internet atau media publikasi lainnya. Mereka juga sering
mencurahkan ide-idenya dalam sebuah diskusi ataupun pengajian.
Ekstrimitas yang diperlihatkan oleh gerakan-gerakan radikal Islam
tersebut, membawa kecenderungan umum dari masyarkat untuk mengait-ngaitkan
mereka dengan jaringan radikalisme Islam di luar negeri. MMI misalnya, majelis
yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir ini diduga memiliki hubungan dengan
Jama’ah Islamiah yang juga dianggap sebagai gerakan teroris Asia tenggara.
Selain itu, asumsi-asumsi akibat gerakan-gerakan itu bergeser pada lembaga
pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren. Pesantren diduga melahirkan
pemikir-pemikir ekstrim dan radikal yang berpegang teguh pada agamanya.
Pemikiran dan Tindakan Radikalisme Islam
Untuk memahami radikalisme di kalangan Islam ini, perlu dilihat dan
ditelah peran agama dan keterikatan pemeluk agama tersebut. Dalam tataran
teoritis, sebuah agama tentunya ada konsep yang menjadi nilai penting bagi
setiap pemeluknya yaitu fanatisme dan toleransi. Kedua konsep tersebut harus
terpraktekkan secara proporsional oleh para pemeluknya. Kalau tidak maka
kemungkinan besar akan menjadikan ketidaksetabilan dalam tatanan masyarakat
antar para pemeluk agama. Ketika salah satu konsep ditekankan, artinya salah
satu lebih besar dalam realisasinya, misalnya sikap fanatismenya terlalu kuat
dan toleransinya lemah. Hal itu akan memunculkan sikap permusuhan terahadap
agama lain. karena memandang bahwa agamanya lah yang paling benar.
Tetapi jika sebaliknya, yakni toleransi lebih kuat dari pada
fanatisme, maka rasa bangga terhadap agama tidak ada. dengan demikian, agam
tidak lebih hanya sebuah ritual belaka yang tidak punya makna apa-apa. Karena
agama bersangkutan sama derajatnya dengan agama-agama lainnya. Oleh Karena itu
keseimbangan dalam mempraktekkan dua konsep tersebut sangat diperlukan. Dilihat
dari berbagai sisi, faktor-faktor penyebab radikalisme Islam di Indonesia cukup
beragam. Dari sisi idiologisnya, yakni faktor ajaran dan normanya, gerakan ini
percaya bahwa alqur’an dan sunnah adalah kebenaran yang absolut. Pikiran intinya
adalah Hakimiyyat Allâh. Yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan
syariat-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya.[7]
Kebenaran absolut yang diajarkan agama ini dapat mendorong para pemeluknya
untuk cenderung menafikkan agama lain.
Landasan berpikir pikiran tadi berupa kalimat tauhid lâ ilâha
illa Allâh. Yang berarti; tiada tuhan selain Allah, dan tiada otoritas dan
syari’at kecuali syariat dan otoritas Allah. Sehingga, ia berimplikasi
epistemologis pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah, dan
berimplikasi epistemologis pada pemberian label musyrik, kafir, fasik dan zalim
bagi siapa saja yang tak menegasi selain Allah dan syariat-Nya. Al Qur’an dan
sunnah sebagai landasannya, memunculkan berbagai interprestasi. Tergantung
bagaimana individu dengan basis pengetahuannya. Dari interpretasi itu muncul
suatu yang diidealkan berkaitan dengan kehidupan masyarakat Islam.
Dari gambaran ideal itu, muncul doktrin-doktrin seperti bagaimana
membentuk dan mengatur masyarakat berdasarkan hukum illahi. Dari sini para
pemeluk agama dituntut untuk menjalankan norma-norma dalam al-Qur’an secara
maksimal. Dalam situasi tertentu, tuntutan ajaran seperti ini memunculkan
sikap-sikap radikal yang bahkan dengan kekerasan karena hal itu berkaitan baik dengan upaya
keras melaksanakan ajaran agama atau meluruskannya ketika agama dianggap telah
disimpangkan. Dengan kata lain, konsep-konsep al Qur’an telah membentuk suatu
yang menuntut semua muslim untuk
membangun tatanan sosial politik mereka sesuai dengan moralitas dan
etika al Qur’an. Dalam sejarah Indonesia, sikap ini diperlihatkan oleh penolakan
umat Islam terhadap kehadiran Belanda menciptakan suatu tatanan masyarakat jauh
dari ideal.
Dari kelanjutan penafsiran terhadap Islam, diasumsikan ada beberapa
sikap umum yang muncul. Karena memang bersifat umum maka pemahaman yang muncul
cukup berpariasi. Khususnya dalam memahami tiga isu yang menjadi pandangan
kalangan Islam fundamentalisme yaitu implementasi syari’at Islam, bentuk Negara
Islam Indonesia dan Khilafah Islamiyah. Kalau pemahaman sebagai hasil
interprestasi bervariasi maka sikap untuk menindaklanjuti berbeda-beda bahkan diantara
para fundamentalis sendiri. Perbedaan tindak lanjut dari pemahaman ketiga isu
tersebut ada yang hanya sebatas wacana (radikal dalam pemikiran) dan sikap yang
diikuti oleh tindakan dalam tataran aksi (radikal dalam tindakan).
Melihat pemikiran dan tindakan fundamentalisme ini, maka yang perlu
diberikan padanya adalah formalisasi syari’at Islam melalui keputusan politik
formal. Ini sangat penting, karena landasan hukum yang kuat sangat dibutuhkan.
Tapi pemerintah dapat mendukung masalah-masalah syari’at hanya pada persoalan
ibadah, muamalah dan munakahah. Aspek lainnya, yaitu jinayah belum terwujudkan.
Karena masalah jinayah (pidana) akan melibatkan negara, sehingga pemutusan
untuk merealisirnya harus melalui formal pemerintahan. Kembali pada fundamentalis,
dalam pandangan mereka penerapan syari’ah harus diwujudkan secara kaffah
(menyeluruh) agar sistem dapat berjalan secara sempurna.
Tetapi banyak kalangan Islam moderat yang diam-diam tidak setuju
dengan konsep syari’at mereka. Karena kebanyakan melihat bagaimana penerapan
jinayah yang di dalamnya terdapat hukum qishah. sudah jelas bahwa penerapan
hukum Islam tidak disetujui mayoritas Islam Indonesia. Walau bagaimanapun
sebagai umat Islam yang berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah, kalangan
fundamentalis Islam tetap meyuarakan apa yang diyakini mereka dengan tetap pada
koridor yang sah. Dan sebagai umat Islam yang tidak termasuk golongan
radikalisme Islam, sebaiknya tetap menghormati dan memberi apresiasi terhadap
apa yang diperjuangkan mereka. Karena walaupun begitu, mereka (fundamentalis
radikal) bermaksud menawarkan alternative yang terbaik terhadap kondisi
sosial-politik yang tak kunjung damai.
Dalam pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa Fenomena
munculnya radikalisme muslim di Indonesia dikarenakan banyak sebab, salah satunya di pemerintahan orde baru
banyak terjadi kemerosotan di bidang ekonomi, sosial, moral dan budaya ditandai
maraknya KKN dan banyaknya pelanggaran HAM,
dalam menjalankan roda pemerintahannya sehingga banyak kekecewaaan yang
dialami rakyat Indonesia yang berujung terjadi peristiwa reformasi di Negeri
ini.
Radikalisme Islam di Indonesia juga telah terdorong oleh
faktor-faktor tertentu yang berasal dari dalam maupun luar Islam. Beberapa
upaya yang menandai gerakan-gerakan Islam Indonesia antara lain: 1) menemukan
bentuk pemahaman ajaran-ajaran Islam yang perlu untuk dirumuskan dan disodorkan
sebagai alternatif terhadap system yang berlaku. 2) menerapkan ajaran Islam
secara praktis-tidak hanya sebagai konsep-konsep yang abstrak. 3) meningkatkan
keberagaman masyarakat. kelemahan Islam dalam politik dan peminggirannya pada
masa orde baru, membuat Islam jadi frustasi. Karena tahun 1980-an, Islam sampai
pada jalan yang buntu, beberapa intelektual Islam mengajukan alternative dengan
media kampus. 4) melakukan purifikasi keagamaan, dalam hal ini ada dugaan Islam
telah terdistorsi karena Islam dipahami dan ditafsirkan secara parsial.
DAFTAR BACAAN
Afadlal dkk. 2005 “Islam dan Radikalisme di Indonesia”.
LIPI, Jakarta
Sayyid Quthub, 1992. Ma‘âlim fî al-Tharîq, Dâr Syurûq, Cairo
M.Said al-‘Asymâwî, 1978. Al-Islâm al-Siyâsî, Sina li Nasyr , Cairo.
M.‘Âbid al-Jâbirî, 1990. Dlarûrah al-Bahts ‘an Niqath al-Iltiqâ
li Muwâjahah al-Mashîr al-Musytarak, dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid
Al-Jâbirî, Hiwar aL-Masyriq wa al-Maghrib Sina li Nasyr, Beirut.
[1] Afadlal dkk., Islam dan
Radikalisme di Indonesia, (Jakarta :
LIPI Press 2005) hal. V.
[2]
M.‘Âbid al-Jâbirî, "Dlarûrah al-Bahts ‘an Niqath al-Iltiqâ li Muwâjahah
al-Mashîr al-Musytarak", dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar
aL-Masyriq wa al-Maghrib, (Beirut: Muassasah Al-Arabiyyah, 1990), h. 32-34.
[3] Hassan Hanafi,
Al-Ushûliyyah wa al-‘Ashr, dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar
AL-Masyriq wa al-Maghrib, h. 23.
[4] M.Said
al-‘Asymâwî, Al-Islâm al-Siyâsî, (Cairo: Sina li Nasyr,1987) h.129.
[5] Afadlal dkk.
“Islam dan Radikalisme , …, hal. v
[6] Ibid. hal.
113.
[7]
Sayyid Quthub, Ma‘âlim fî al-Tharîq, (Cairo: Dâr Syurûq, 1992),
h.10-11dan 67.
No comments:
Post a Comment