Makna filsafat ilmu
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu,
telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya.
Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif
terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan
ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta
sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan
ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan.
Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat
ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan
pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari
pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980)
bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan
pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan
heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan
manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali
secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya
ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap
perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam
kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi
dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari
sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu
pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya
merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan
bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu
keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan
tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga
seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis,
agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan
dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil
dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi
yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang
mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo
(dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif
ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu,
simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi
penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat
ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya,
prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam
konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan
dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Filsafat Ilmu sebagai Landasan
Pengembangan Pengetahuan Alam
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil
sebuah rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu
pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik
ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan
filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara
berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam
memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis
dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu
pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan
bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke
prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam. Filsafat ilmu pengetahuan alam
bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya
ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.
Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa
ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi
pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan
bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur
tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan
kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait dengan kepentingan
dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses alam. Positivisme
menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan
ilmu pengetahuan alam.
Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang
menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut
aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang
penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang
ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan gejala-gejala
alamiah, sebagaimana spontan disajikan kepada kita. Yang diregistrasi dalam
eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental
kita. Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih
teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu terdapat
bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan tahu menahu
tentang elektron-elektron dan bagian-bagian elementer lainnya.
Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak
abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan
ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan
oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah ilmu
pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu
pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari
gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan
rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang
saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat. Dalam penggolongan
ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu
Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat.
Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata
jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap
ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana
dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang
Gie, 1999).
Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak
dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa
fisika, kimia dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam. Ilmu
kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang
menyertai perubahan materi. Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie,
1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia
an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.
Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono,
1996) memberi definisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the
law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the
molecular and specific mutual action of different subtances, natural or
artificial” ( arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan
dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara
alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia
tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan
juga dengan perbandingan (komparasi).
Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan
nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat
dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New
Princiles of Chemical Philosophy.
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan
bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya
yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi
para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan
dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya.
No comments:
Post a Comment