Peradaban dunia dewasa ini tengah
dihadapkan pada kehidupan dunia modern, di mana penekanan individual dan
rasionalisme-empiris serta sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan menjadi
salah satu ciri masyarakat yang paling menonjol. Harus diakui bahwa modernisme
telah memacu perkembangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Namun
pada saat yang sama, modernisme menggiring manusia memasuki masa-masa krisis
bagi kualitas kemanusiaannya.
Hal ini, ditandai dengan fenomena
perilaku dan pola pikir manusia yang semakin menjauh dari eksistensi kemanusiaannya.
Nilai-nilai kemanusiaan telah banyak diabdikan dan dikorbankan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Supremasi rasionalisme, empirisme, positivisme
dan pragmatisme tampil dengan gagahnya, seraya dianggap telah berhasil
menggeser dogma agama. (Nurcholis Madjid, 2000. 97)
Menurut Mulyadhi Kartanegara, Peradaban
modern dibangun atas dasar humanisme yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama.
Memberikan peran besar kepada manusia. Kedua. Memutus hubungan manusia dengan
yang Ilahi (Tuhan, malaikat, dan dunia ruhani), Ketiga. Memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan nasib
sendiri dalam berbagai aspek kehidupannya mulai dari aspek sosial sampai
politik, meskipun pilihan bebas itu bertentangan dengan norma umum. (Mulyadhi Kertanegara, 2004.
3-4)
Namun peran humanisme yang
berciri demikian, sejatinya banyak mereduksi nilai-nilai kemanusiaan, khususnya
nilai-nilai spiritual yang berasal dari tradisi-tradisi besar kemanusiaan. Di
sisi lain, humanisme modern juga telah melakukan dehumanisasi, karena melihat
realitas hanya pada tataran fisik. Dengan demikian, manusia
modern tidak mengenal hakikat dirinya karena apa yang dikerjakan hanya semata-mata
untuk badannya,
dengan kata lain manusia modern melupakan satu aspek lain yang ada pada
dirinya, yaitu jiwanya.
Di samping melupakan dirinya,
manusia modern juga melupakan Tuhannya. Akibatnya, tanpa disadari manusia
modern sesungguhnya telah melakukan dehumanisasi terhadap dirinya. Selanjutnya,
agar dapat mengungkap hakikat dan memanusiakan dirinya, manusia modern perlu
kembali merajut hubungan selaras antara ia dan Tuhannya.( Murthada Muthahari,
1992. 27-29) Sebab jika hubungan manusia dengan Tuhan tidak selaras, maka akan
timbul kegelisahan-kegelisahan yang dialami oleh manusia itu sendiri dalam
kehidupannya di dunia. Sementara Abu al-Wafa at-Taftazany menjelaskan bahwa ada
empat sebab yang menjadikan manusia selalu gelisah;
Pertama;
gelisah karena takut kehilangan apa yang dimilikinya, kedua; gelisah
karena takut akan masa depan yang tidak disukainya, ketiga; gelisah
karena kecewa terhadap prestasi kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan
tidak mampu memuaskan jiwanya, keempat; gelisah karena banyak
melakukan pelanggaran-pelanggaran dan perbuatan-perbutan dosa.
Untuk mengatasi segala bentuk
kegelisahan tersebut maka manusia perlu merajut hubungan selaras dengan Tuhannya.
Ajaran tentang bagaimana membangun hubungan selaras antara manusia dengan Tuhan
dapat ditemukan dalam agama, karena itu manusia harus kembali melihat ajaran
agama sebagai pedoman hidup.
Dalam konteks agama Islam, ada
tiga ajaran utama yang harus dijadikan pedoman dan diamalkan oleh pemeluknya,
yaitu akidah, syari’ah, dan akhlak. Ketiga ajaran ini merupakan satu kesatuan
utuh, saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Aspek
akidah, mengajarkan kepercayaan tentang adanya satu Zat yang Maha Mutlak yang
menguasai seluruh ciptaan-Nya mengharuskan penganutnya untuk menjalankan
syari’ah dan akhlak sekaligus. Namun pada kenyataanya banyak orang yang sudah
percaya akan adanya Tuhan, menjalankan syari’ah dan akhlak tapi hidupnya tetap
saja dilanda kegelisahan.
Jika demikian, muncul pertanyaan:
mengapa orang yang sudah menjalankan agamanya masih saja mengalami kegelisahan hidup?.,
Jawabanya adalah karena cara beragama yang ditempuhnya belum tepat. Ia meyakini
adanya Tuhan, tapi tidak mampu merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Ia
menjalankan ibadah, tapi tidak mampu merasakan dari ibadahnya. Pendeknya,
meskipun telah melakukan ibadah-ibadah, ia tetap mengalami kehampaan hidup,
selalu saja tidak puas terhadap apa yang telah dimilikinya dan tidak mampu
menghadapi derita bila ditimpa ketidakberuntungan. Kondisi demikianlah yang
mendorong lahirnya corak beragama yang di kenal dengan istilah tasawuf.
(Sangidu, 2003. 3-4)
Dalam perjalanan sejarah Islam,
tasawuf telah menghadapi banyak tantangan baik dari kalangan Muslim sendiri,
maupun dari kalangan non Muslim. Salah satu penyebabnya adalah masih adanya
kesalahpahaman terhadap tasawuf itu sendiri, sehingga muncul fitnah politik dan
intelektual yang dialamatkan kepada tasawuf. Taswuf dituduh telah menjauhi
realitas kehidupan dunia, menjadi penyebab kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.
Tasawuf masih dianggap sebagai penghambat kemajuan Islam, dipandang sebagai aliran
dan gerakan yang dinisbatkankan kepada Islam, yang tidak pernah diajarkan atau
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw., bahkan ada yang menganggap tasawuf
telah keluar dari koridor syariat.
Di pihak lain, masih ada anggapan
bahwa tasawuf hanyalah konsumsi orang-orang tertentu. Anggapan dan tuduhan di
atas–bahwa tasawuf mengabaiakan kehidupan dunia dan menjadi sebab kemunduran
umat Islam; atau tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syariat-tentu saja tidak
diterima, karena sebagai salah satu aspek ajaran Islam, ia perlu diketahui dan
dijadikan tuntunan bagi orang-orang yang beriman.
Secara bahasa tasawuf berasal
dari kata suffah atau suffah al-masjid artinya
serambi masjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di masjid Nabawi
yang didiami oleh sekelompok sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai
tempat tinggal, mereka dikenal sebagai ahl al-suffah, orang yang
menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta meninggalkan usahanya
yang bersifat duniawi. Akan tetapi kalau istilah sufi berasal dari kata suffah,
maka bentuknya yang benar menjadi suffi bukan sufi. (Abŭ Qasim ‘Abd al-Kârim
al-Qasyairî, 1989.7-8) Karenanya sebagian pendapat lebih cenderung pada istilah
shûfi yang berasal dari kata shûf (wol), kata Shûfi ini
tepat dari sudut pandang etimologis, karena menurut kamus bahasa Arab, kata tasawwafa
berarti “dia memakai baju wol.”
Pada awal perkembangan asketisme,
pakaian bulu domba adalah simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis. Para
ulama banyak yang berpendapat seperti ini, seperti al-Sarraj al-Ţusî dalam
karyanya al-Luma’ dan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah. Akan tetapi
al-Hujwirî kurang sependapat dengan istilah ini, menurut pengarang kitab
Kasyf al-Mahjûb. “Kesucian” (shâfa) adalah karunia Allah Swt. dan
wol (shûf) adalah lebih tepat untuk ternak. (Al-Hujwiri, 1993. 45-48)
Sufi pada dasarnya adalah
spiritualitas Islam yang berjalan sesuai dengan syari'at tanpa mereduksi
hukum-hukum formal (syari'at). Sufisme justru memperjelas, mencerahkan
jalan menuju al-insan, yang merupakan puncak dari prestasi amaliah
dan komunikasi antara seorang hamba dan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil
bentuk rasa dekat (qurb) kepada Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami
sebagai pengalaman spiritual dzauqiyyah manusia dengan Tuhan, yang
melahirkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya dan segala
sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada artinya di hadapan Yang Absolut dan Tak
Terbatas.
Hubungan kedekatan dan hubungan
penghambaan sufi pada Khaliq-nya akan melahirkan prespektif dan
pemahaman yang berbeda-beda antara sufi yang satu dan sufi yang lainnya.
Keakraban dan kedekatan ini mengalami elaborasi sehingga kemudian melahirkan
dua kelompok besar. Kelompok pertama mendasarkan pengalaman spiritualnya dengan
pemahaman yang sederhana dan dapat dengan mudah dipahami oleh orang awam, dan
pada sisi lain melahirkan pemahaman yang komplek dan mendalam, dengan menggunakan
bahasa-bahasa simbolis-filosofis.
Ibn 'Atha Allah dalam Kitab al-Hikamnya
mengutarakan; "Engkau meminta dari Allah berarti menuduh-Nya, engkau meminta
kepada-Nya berarti mengumpat-Nya, engkau meminta kepada selain-Nya berarti
engkau tak punya rasa malu kepada-Nya, dan engkau meminta dari selain-Nya
berarti engkau jauh dari-Nya."( Ibn Atha Allah, 2006. 41)
Merujuk pemahaman pertama
kemudian akan melahirkan tasawuf 'amali atau akhlakî, yang
tokoh-tokohnya antara lain, Junayd al-Baġdadi (w. 298 H / 911 M) al-Qusyayrî (
w. 465 H/ 1073) dan al-Ġazali (w. 505 H / 1111 M). Sedangkan pada pemahaman
kedua menjadi tasawuf falsafi atau tasawuf filosofis, dengan tokoh-tokohnya
antara lain Abû Yazid al-Bustami, dengan ajarannya, ittihad (w. 261 H/
875 M), al-Hallaj, ajarannya, hulul,
(w. 309 H / 922 M), Ibn 'Arabi, wahdat al-wujûd (638 H /
1240 M) dan Abd al-Karim al-Jilî, dengan ajaranya, insan kamil (w.
820 H / 1417 M).
Di ungkapkan Akhmad Sodiq (2008),
bahwa Tasawuf coba menghindari dunia, karena dunia adalah lorong waktu yang
memiliki dua ujung yang misterius, yakni: kelahiran dan kematian. Dua ujung ini,
tidak cukup menyediakan jawaban atas kegelisahan meraka yang mempertanyakan
kenapa ia harus melintasinya? Maka setiap manusia yang hadir di dunia ini
memiliki cara pandang yang beragam, sesuai yang ia dapat pahami dari realitas
itu. Yang pasti sama dirasa oleh setiap individu adalah bahwa ia ada dan hadir
di dunia ini. Ia melihat, memikirkan, memanfaatkan, menikmati dan bahkan
terjerumus dengan dunia tersebut. Yang menarik adalah karena dunia itu juga
merupakan misteri? Masalah ini tidak bisa dijawab oleh mereka yang sekedar
menduga dan meraba-raba dikegelapan kebenaran. Di sinilah, manusia membutuhkan
penjelasan Dia yang Maha Tahu.
Eksistensi dunia secara hakiki
adalah naïf jika diletakan dalam perspektif perennial. Perspektif asketik
terhadap eksistensi dan urgensi dunia semacam ini memang dapat berakibat
munculnya sikap apatis terhadap dunia. Kenyataan semacam ini bisa disalahpahami
oleh mereka yang simpatik dalam memahami ruh Islam. Adalah benar bahwa tidak
ada tawar-menawar dalam melihat dunia secara hakiki dihadapan akhirat. Ia
adalah sementara, singkat dan fana. Terlalu singkatnya dunia dibanding
kenikmatan sempurna akhirat, membuat Rasullullah Saw., harus mengatakan secara
obyektif, bahwa dunia itu tidak ada apa-apanya. Dilihat dari eksistensinya
menipu manusia yang tidak mengerti, untuk menumpuhkan hidup hanya berhenti pada
kesementaraan, dengan menafikan akhirat, menjadikan ia harus diposisikan secara
konfrontatif dan dibenci.
Sementara sebagian besar manusia,
kekuatan spiritualnya tidak teraktualisasi. Itulah yang menyebabkan manusia
saling bertengkar satu sama lainnya, merebutkan pepesan kosong. Mempertahankan
sudut pandang masing-masing dan sulit mengerti pandangan orang lain. Menjadi
terkotak-kotak, dan tidak memandang realitas secara utuh. Karena ia terjebak
pada satu pola atau arus tertentu yang jarang disadari, sering tidak cukup
berprasangka baik kepada orang lain.
Al-Ġhazâlî kemudian menuturkan
bahwa dosa-dosa yang dilakukan manusia adalah seperti titik hitam yang menodai
hatinya. Semakin banyak dosa, maka semakin tinggi tingkat distorsi akan
kebenaran. Manusia menjadi buta terhadap realitas sebagaimana apa adanya.
Bahkan, dengan banyaknya dosa yang diulang-ulang, hatinya tidak hanya menjadi
hitam, tetapi bisa terbalik. Dalam al-Qur’an diceritakan, ketika dikatakan.
“Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, “mereka justru berkata,
“Kamilah
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.
al-Baqarah [2]: 11).
Mereka
tidak sadar bahwa dirinya telah membuat kerusakan. Sering timbul paradoks kesadaran.
Semakin lemah tingkat kesadarannya, semakin gampang melihat kebaikan dirinya.
Ia terfokus pada kebaikan yang dilakukannya, sampai lupa dan tidak melihat
kejelekan dan keburukan yang diperbuat olehnya. Bahkan pada taraf yang rendah,
semakin tidak sadar seseorang, semakin dia melihat keburukannya sebagai
kebaikan.
Pada
umumnya, siapa yang beristiġhfar, berdoa, dan dzikir, di dalam al-Qur’an mereka
adalah para nabi dan orang saleh, terkenal sedikit dosanya atau bahkan
terpelihara dari dosa (ma΄şûm). Mereka yang paling banyak membaca istighfar,
memohon ampunan dari Allah Swt., tidak pernah mencontoh istghfar dan dzikir
dari mulut orang-orang kafir atau pendosa. Karena, semakin seseorang mendekati
kebenaran dan dekat dengan Tuhannya, dia semakin melihat kekurangan dirinya. Ia
segera menyadari keterbatasan-keterbatasan dirinya. Semakin orang tertipu oleh
dirinya, maka akan menganggap apapun yang di persepsinya sebagai kebenaran. Ia
bagaikan katak dalam tempurung, terbatas dan terkungkung dalam imajinasi yang
dibangunnya sendiri. (Qomaruddin SF, 122-123)
Kata
tâwbat merupakan bentuk maşdar dari kata kerja tâba. Selain
kata tâwbat, kata kerja tâba masih mempunyai bentuk maşdar yang
lain, yaitu tawban, matâban, tâbatan, dan tatwibatan.
secara etimologis, kata tersebut dapat berarti kembali (al-rujû’)
atau menyesal (al-nâdam). Secara termiologis, taubat berarti
kembali dari perbuatan maksiat atau dosa menuju taat kepada Allah Swt. dan
menyesali semua perbuatan dosa yang telah dilakukannya. Orang yang taubat
disebut al-tâ’ib. Seorang tâ’ib adalah orang yang kembali
dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat terpuji; orang yang kembali dari
sesuatu yang dilarang Allah menuju apa yang diperintahkan-Nya; orang yang
kembali dari sesuatu yang dibenci Allah menuju sesuatu yang di ridlai-Nya, atau orang yang kembali kepada Allah setelah
berpisah, menuju taat kepada-Nya, setelah melakukan pelanggaran atau
kedurhakaan (al-mukhâlafȃt).
(Jamal al-Din Muhammad ibn Mukarram al-Ansharî ibn Manzhûr. 226-227)
Menurut
al-Şiddiqî al-Syafi’Î (W. 1057 H), orang yang kembali kepada Allah dari al-mukhâlafȃt, karena takut terhadap siksa
Allah, disebut al-tâ’ib. Orang yang kembalinya kepada Allah
karena rasa malu kepada Allah, disebut al-munîb. Dan orang yang kembali
kepada Allah karena memuliakan keagungan Allah, disebut al-awwâb.
Bagi
Ibn ‘Atha’ Allah, taubat merupakan maqâm pertama yang harus dilalui
seseorang penempuh jalan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Karena maqâm-maqâm setelahnya tidak akan diterima, kecuali dengan adanya
taubat terlebih dahulu. Bagi Ibn ‘Atha’ Allah, taubat merupakan perintah
Allah swt. dan Rasulullah saw. Sebagaimana termaktub dalam Qs. an-Nûr [24]: 31.
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.” atau dalam Qs. al-Baqarah [2]: 222. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (al-Baqarah/2:
222) Rasul Saw. juga bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku meminta ampun
pada Allah dan bertaubat pada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.”
(HR. al-Bukhârî dan lainya).
Dalam
konsep Ibn ‘Atha ‘Allah, ada beberapa hal yang harus dilakukan seseorang untuk
menjalani taubat, antara lain: merenung dan berinstropeksi tentang panjang umur
yang telah dijalaninya; merenung apa yang telah diperbuat dalam satu hari, baik
yang berkaitan dengan ketaatan maupun kemaksiatan. Ketika seseorang mendapatkan
ketaatan, maka bersyukurlah kepada Allah. Namun sebaliknya, jika ia mendapatkan
kemaksiatan, maka hendaknya ia mencela dirinya sendiri, serta segera memohon
ampun dan ber-taubat kepada Allah Swt. dengan penuh penyesalan, sedih dan
merasa hina. (Ibn ‘Atha’ Allah al-Sakandari. 11)
Jika seseorang tidak mempunyai perasaan sedih atas
kesempatan beramal yang dilewatkan dan tidak menyesal atas kesalahan-kesalahan
yang telah dilakukannya, itu merupakan tandabahwa hatinya telah mati.(Ibn ‘Atha’
Allah al-Sakandari, 21)
Ada dan tidaknya kesungguhan taubat seseorang dapat dilihat dari kesungguhanya
menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Ibn ‘Atha’ Allâh menukil
ucapan Syaikh Abû al-Hasȃn
al-Syadżilî:
“Wali-wali
Allah adalah para pengantin. Dan orang yang berbuat dosa tidak akan melihat
pengantin. Ketika kamu merasa berat melakukan ketaatan dan ibadah, serta kamu
tidak merasakan kenikmatan dalam hatimu, dan kamu merasa ringan melakukan
maksiat serta kamu merasakan kenikmatanya, maka ketahuilah, bahwa kamu belum
sungguh-sungguh dalam taubat-mu”.
(Ibn ‘Atha’ Allah al-Sakandari, 47)
Bagi
Ibn ‘Atha’ Allah, orang yang memperbanyak melakukan dosa, namun juga memohon ampun
kepada Allah atau beristiġfar, sama artinya dengan orang yang memperbanyak
minum racun dan minum air penawar. Akhirnya air penawar kalah dan orang yang
bersangkutan mati.
Selain
bertaubat dari dosa, kata Ibn ‘Atha’ Allah, seseorang harus bertaubat dari
keterlibatannya dalam pengaturan bersama Allah Swt,. Pasalnya, mengatur dan
memilih termasuk dosa besar yang dilakukan oleh hati dan jiwa. Cara taubatnya
adalah kembali kepada Allah Swt. dari segala perbuatan yang tidak diridhai-Nya.
Keterlibatan dalam pengaturan Allah merupakan syirik atas rubûbiyah-Nya
atau kufur terhadap nikmat akal. Allah tidak meridhai hamba-Nya berbuat kufur.
Taubat seseorang belum dianggap benar, jika masih merisaukan pengaturan
dunianya dan mengabaikan baiknya pemeliharaan Tuhannya. (Ibn ‘Atha’ Allah
al-Sakandari. 13
Dalam
membangun konsep taubatnya, Ibn 'Atha' Allâh telah memiliki pandangan-pandangan
esoterik dan filosofis. Sungguhpun demikian, ia masih terikat oleh
prinsip-prinsip teologi yang dianutnya, teologi Asy'ariyah sebagaimana dianut
oleh al-Ġhazali. Dengan demikian, pada tataran ini ajaran taubat Ibn 'Atha'
Allâh dapat dikategorikan sebagai tasawuf falsafi. Di sisi lain, Ibn 'Atha'
Allâh adalah seorang pembimbing spiritual dalam otoritasnya sebagai Syaikh ketiga
dalam Tarekat Syadżiliyah. Dalam proses pendakian menuju Tuhan (taraqqi),
ia juga mengemukakan jenjang-jenjang spiritual yang harus ditempuh oleh para
salik, jenjang-jenjang tersebut antara lain: taubat, zuhud, sabar, syukur, khawf,
raja’, tawakkal, ridha, dan mahabbah.
Keterangan
di atas menunjukkan bahwa bertaubat merupakan salah satu tahap dari perjalanan
panjang yang harus ditempuh oleh calon sufi dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah. Dengan kata lain seorang sufi apabila tidak bertaubat dalam
perjalanan panjangnya mendekat kepada Allah, mengapai ridla-Nya, mustahil dapat tercapai.
Daftar Rujukan
Abŭ Qasim ‘Abd al-Kârim
al-Qasyairî, Risâlah al-Qusairîyah,
Kairo: al-Mayhbah al-Mu’asah Dar al-Sya’dli al-Syakhafah wa al-Thaba’a wa
al-Nasr, 1989
Abu al-Wafa at-Taftazani, The Role Sufism Makalah Seminar Internasionl
IAIN Sunan Kali Jaga, Jogjakarta: 1993
Akhmad Sodiq, Transformasi Ruhani dalam Perspektif
al-Ghazali, Jakarta: Disertasi UIN Syahid, 2008, dan
pengajian dua mingguan di Masjid Nur Ramadhan Bintaro, Makna Hidup. 12 Januari 2012.
Al-Hujwiri, Khasf al-Mahjûb, alih bahasa: Sudjarwo Muthari dan Abdul Hadi WM,
Bandung: Mizan, 1993
Ibn Atha Allah, al-Hikam al-Athiyyah, ditashih, Syekh
Fadhlalla Haeri, The Wisdom of Ibn 'Atha'
Allah, diterj. Lisma Dyawati Fuaida, Al-Hikam
Rampai Hikmah Ibn 'Atha' Allah, Jakarta:
Serambi Ilmu, 2006
_____________,
Tâj al-‘Arûs, h. 11.
_____________,
al-Tanwîr Fî Isqaţ al-Tadbîr, Bairût:
al-Maktabah al- Sya’baniyyah, t.th.,
Jamal al-Din Muhammad ibn
Mukarram al-Ansharî ibn Manzhûr, Lîsan
al-Arab, juz I, Mesir : al-Mu’assȃsah
al-Mishrîyah al-Ammah, t.th.,; Majd al-Din Muhammad ibn Ya’qûb al-Fayruzabadî, al-Qamûs al-Muhuh. juz I, Bîrût: Dar
al-Jîl t.th., h. 41; Muhammad ibn ‘Alan al-Shiddiqi al-Syafi'î al-Asy’arî
al-Makkî (w 1057 H), kitab Dalil
al-Fâlihîn li Thuruq Riyâdl al-Shâlihîn, juz I, Bairut : Dar al- Kitab
al-‘Arabi, 1985, Cet. ke- 10, h. 87.
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar dalam
Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia
Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu, Jakarta: Teraju-Mizan, 2004. Lihat
juga Sri Mulyati (Ed.,) Mengenal dan
Memaham Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2004, h. 3-4
Murthada Muthahhari, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Bandung:
Pustaka 1992
Nurcholis Madjid et. Al., Kehampaan spiritual Masyarakat Moderen:
Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Jakarta:
Mediacita, 2000
Sangidu, Wahdatul Wujûd: Polemik Pemikiran Hamzah Fanzuri dan Syamsuddin
as-Sumatrani dengan Nuruddin ar-Raniri, Yogyakarta: Gama Media, 2003
Qomaruddin SF, ed. Agus Abu Bakar,
Arsal Zikir Sufi Menghampiri Tuhan Lewat
Tasawuf, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Spinning titanium wok, the best titanium wok
ReplyDeleteThe revlon titanium max edition Stainless Steel Blade is a 3 piece stainless steel blade with titanium machining a gap for the blade gap to titanium crystal accommodate the blade titanium vs steel in the direction of the blade. The blade shape ecosport titanium is