Pasca
kepergian Rasulullah SAW, hukum Islam yang telah di bangun oleh oleh beliau
sebagai dasar-dasar yang mengatur kehidupan bermasyarakat, kemudian diteruskan
oleh para sahabat-sahabat nabi yang semasa hidupnya secara sukarela sudah ikut
terlibat dalam perjuangan nabi mensyi’arkan ajaran-ajaran Islam. Pada zaman
Rasulullah SAW, pemegang otoritas kekuasaan tasy’ri sepenuhnya di pegang oleh
nabi Muhammad SAW.
Sepeninggalnya
Rasulullah SAW, nabi telah mewariskan dua sumber hukum Islam yang dapat
dijadikan rujukan dalam pemecahan segala permasalahan yang ada, yaitu al Qur’an
dan Sunnah nabi. Kehidupan bermasyarakat yang semakin dinamis, memingkinkan
timbulnya permasalahan-permasalahan baru yang harus dipecahkan, untuk itu para
ulama baik dikalangan sahabat dan tokoh Islam lainnya, berkeawjiban menegakkan hukum
tas’ri pada zamannya masing-masing. Kewajiban tersebut, sebagaimana AW. Khalaf simpulkan berupa; penjelasan
kepada umat Islam tentang persoalan-persoalan yang membutuhkan penjelasan dan
interpretasi dari teks-teks al Qur’an dan as Sunnah.
Kemudian,
menyebarluaskan dikalangan umat Islam tentang hal-hal yang mereka hafal dari
ayat-ayat al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Lalu, memfatwakan kepada
masyarakat tentang peristiwa-peristiwa hukum dan urusan peradilan yang belum
terdapat ketetapan hukumnya (Abdul Wahab Khalaf. 5,
2002).
Adapun sumber
dan metode penetapan hukum pada masa sahabat dapat disarikan dari al Qur’an,
hadits Rasulullah SAW, dan Ijtihad Sahabat. Sedangkan dalam pandangan Khudari
Bik, sumber pengambilan hukum pada masa sahabat dapt di ambil dari; al Qur’an
sebagai landasan utama, kemudian as Sunnah, Qiyas atau Ra’yu (pendapat), lalu
Ijma yang bersandar pada al Qur’an, sunnah dan qiyas (Khudari Bik. 259).
Alur pemecahan
masalahnya adalah ketika terjadi suatu permasalahan baru atau persengketaan,
maka para sahabat dan ahli fatwa mencari ketetapan hukumnya melalui al Qur’an,
apabila mereka menemukan pemecahannya dalam al Qur’an, maka mereka menerapkan
hukum tersebut.Jika ternyata tidak ditemukan keterangan dalam al Qur’an, maka
para ulama membangun fatwa yang bersandar pada as Sunnah. Jika memang tidak
didapati keterangan yang spesifik tentang permasalahan yang muncul, maka para
ulama melakukan ijtihad untuk menyelesaikannya,baik dengan ijtihad ataupun
qiyas dengan pertimbangan utuk kemaslahatan umat manusia.
Argumentasi
kenapa setiap permasalah harus di ambil pemecahannya dalam al Qur’an dan hadits
nabi, itu berdasar pada keterangan dalam QS.An Nisa, 59. Sementara dasar
argumentasi yang mengharuskan ijtihad sahabat merupakan bagian dari hukum Islam
adalah bersandar pada apa yang pernah terjadi ketika Rasulullah SAW mengutus
Muadz bin Jabal menjadi Qadhi di negeri Yaman (lihat AW. Khalaf.49, 2002).
Sementara
karakteristik tasyri pada zaman sahabat yang bisa dilihat adalah, fiqih pada
zaman ini sejalan dan serasi dengan segala permasalahan yang muncul kala itu.
Tidak terbatas pada apa yang pernah terjadi pada masa Rasul. Sementara yang
memegang kendali fatwa dan qadha dalam berbagai permasalahan penting adalah
para khalifah.
Pada zaman
ini, al Qur’an telah di bukukan dan mushaf telah disentralisasikan, sehingga
kaum Muslim dapat terhindar dari pertikaian tentang sumber utama bagi
masyarakat Islam yang sebelumnya mereka terpecah kepada beberapa
kelompok.Kemudian sunnah pada zaman ini, masih terjaga kemurniannya, tidak
terkontaminasi dengan kebohongan dan penyimpangan karena zaman yang begitu
dekat dengan Rasulullah dan para penukilnya adalah para sahabat Rasul.
Selain itu
pada zaman ini, muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan silam yaitu
Ijma’ dan itu sering terjadi karena memang sudah dilakukan dan semua asbabnya
memadai. Kemudian para sahabat tidak mewariskan fiqih yang tertulis, namun
mereka hanya mewariskan fatwa dan hokum yang tersimpan dalam dada para sahabat dan
disampaikan dengan cara penghikayatan (Rasyad Hasan Khalil. 75, 2009).
Pada awal
kekhalifahan sahabat Abu Bakar as Shidiq, ia memgang kekuasaan tasyri mengenai
problem yang belum ada ketetapan hukumnya menurut nash dalam suatu lembaga
tasyri yang dibentuk dan di hadiri oleh para sahabat. Abu Bakar dikenal sebagai
orang yang jujur dan disegani, ia merupakan salah satu sahabat yang paling
dekat dengan Rasulullah SAW, karena kedeketannya dengan Rasul itulah, ia
mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa keislaman di banding dengan
sahabat yang lain.
Di ceritakan
dalam riwayat yang dikemukan al Baghawi dalam kitabnya “Masahih as-Sunnah”, ia
menuturkan “Abu Bakar, kalau dihadapkan suatu kasus perselisihan kepadanya,
maka beliau mencari ketetapan hukumnya dalam al Qur’an. Kalau beliau mendapat
ketetapan hukumnya dalam al Qur’an, maka beliau memutuskan perkara meraka
dengan ketetapan menurut al Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam al Qur’an beliau
menetapkan ketetapan hukumnya menurut ketetapan Rasulullah SAW dalam sunnah,
kemudian jika mendapat kesulitan beliau berkonsultasi dengan sesame sahabat,
kemudian berkata “telah dihadapkan kepadaku suatu permasalahan, apakah di
antara kalian ada yang mengetahui bahwa nabi telah menetapkan hukumnya perihal
masalah seperti ini?.Adakalanya sekelompok sahabat berkumpul dan menyebutkan
bahwa nabi SAW pernah menetapkan hukumnya. Kemudian Abu Bakar berkata: “segala
puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara kita orang yang menghafal
sunnah nabi kita”.
Selanjutnya
pada masa khalifah sahabat Umar bin Khatab, beliau juga banyak melahirkan
keputusan atau ketetapan-ketetapan hukum mengenai permasalahan yang muncul pada
zamannya. Pemerinyahan Umar bin Khattab berlangsung selama sepuluh tahun
(634-644 M). Umar merupakan sahabat yang mempunyai karakter pemberani dan tegas
dalam menentukan persoalan. Beberapa keputusan dan ketetapan hukum yang terjadi
pada zaman Umar bin Khattab di antaranya mengenai talak tiga yang di ucapkan
sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika, di anggap sebagai talak yang tidak
mungkin rujuk sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (istri), kawin
terlebih dahulu dengan orang lain.
Garis hukum
ini ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan para wanita karena di zamannya
banyak pria yang dengan mudajh menjatuhkan talak tiga sekaligus kepada
istrinya untuk dapat dicerai dan kawin dengan yang lainnya. Hal ini pada zaman
sahabat Abu Bakar sebagai khalifah di anggap sebagai talak satu.Umar menetapkan
garis hukum demikian, untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan
wewenang yang berada dalam tangannya.
Dalam masalah
zakat, al Qur’an menegaskan bahwa golongan yang berhak menerima zakat salah
satunya adalah para muallaf (orang yang baru masuk Islam).Maka pada masa Umar,
para muallaf tidak lagi di beri zakat, dengan alasan pemberian zakat pada
muallaf diberikan karena mereka memerlukan perhatian dan bantuan dari ummat
Islam yang kuat dalam memeluk Islam. Umar bin khattab menganggap bahwa pada
zamannya, Islam telah kuat kedudukannya dalam msyarakat, dan para muallaf pada
zamannya telah cukup kuat untuk mempertahankan keimanannya.
Dalam hal
hukum potong tangan yang dijelaskan al Qur’an surah al Maidah. 38, bagi orang
yang mencuri di ancam hukuman potongan tangan. Pada masa Umar, teerjadi
kelaparan dalam masyarakat semenanjung Arabia, maka dalam keadaan masyarakat
yan ditimpa kelaparan tersebut, ancaman terhadap pencuri yan disebutkan dalam
al Qur’an tidak diberlakukan pada zaman kepemimpinan khalifah Umar. Berdasarkan
pertimbangan keadaan (darurat) dan kemaslahatan masyarakat.
Kemudian dalam
al Qur’an surah al Maidah.5,terdapat ketentuan yang membolehkan pria Muslim
menikahi wanita ahli kitab (wanita Yahudi dan Nasrani).Akan tetapi khalifah
Umar melarang perkawinan yang demikian, untuk melindungi wanita Muslim dan
keamanan rahasia Negara (Mohammad Daud Ali. 175, 2009).
Selanjutnya
masuk ke dalam masa ke khalifahan Utsman bin Affan yang berlangsung dari tahun
644-656 M, produk hukum yang dibangunnya dapat juga dilihat dari jasa-jasa
besarnya yang paling penting yaitu tindakannya telah membuat al Qur’an standar
(kodifikasi al Qur’an). Standarisasi al Qur’an dilakukannya karena pada masa
pemerintahannya, wilayah Islam telah sangat luas dan di diami oleh berbagai
suku dengan bahasa dan dialek yang berbeda.
Karena itu,
dikalangan pemeluk agama Islam, terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang
ayat-ayat al Qur’an yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara
mengungkapkan itu, menimbulkan perbedaan arti, saat berita ini sampai kepada
Usman, ia lalu membentuk penitia yang di ketuai Zaid bin Tsabit untuk menyalin
al Qur’an yang telah dihimpun pada masa
khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah (janda nabi Muhammad SAW).Panitia
tersebut bekerja secara disiplin, menyalurkan naskan al Qur’an ke dalam Mushaf
untuk dijadikan standar dalam penulisan dan bacaan al Qur’an di wilayah
kekuasan Islam pada waktu itu.
Pada zaman ke
khalifahan sahabat Ali bin Abi Thalib (656-662 M), Ali tidak banyak
mengambangkan hukum Islam, dikarenakan Negara tidak stabil. Di sana timbul bibit-bibit
perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara
yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok. Di antaranya dua kelompok besar
yakni, kelompok Ahlussunah Wal Jama’ah dan Syi’ah.
Daftar Bacaan
Abdul Wahab Khalaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Grafindo
Persada, 2002.
Khudari Bik, Sejarah
Pembinaan Hukum Islam, Semarang: Darul Ihya, t.t
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh
Tasyri, Sejarah Legaslasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Mohammad Daud Ali, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,
2009.
No comments:
Post a Comment