Hukum
Islam adalah hukum yang universal, karena ia merupakan bagian dari agama Islam
yang universal sifatnya. Sebagaimana halnya dengan agama Islam yang universal
sifatnya itu, hukum Islam berlaku bagi orang Islam di mana pun ia berada, apa
pun nasionalitasnya. Hukum nasional
adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu Negara nasional
tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum nasional mungkin juga berarti hukum yang
dibangun oleh bangsa Indonesia setalah Indonesia merdeka dan berlaku bagi
penduduk Indonesia, terutama warga Negara Indonesia sebagai pengganti hukum
kolonial dahulu.
Untuk
mewujudkan satu hukum Nasional sangatlah tidak mudah karena Indonesia adalah
Negara yang mempunyai berbagai Agama di dalamnya. Dan mempunyai adat istiadat
yang bermacam-macam pula. Maka sejarah hukum di Indonesia terutama hukum Islam
sedikit banyaknya dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Untuk itu, di dalam makalah
ini akan sedikit dijelaskan tentang sejarah Hukum Islam di Indonesia pada masa
kemerdekaan, orde lama dan orde baru serta reformasi.
Masyarakat
manusia mempunyai kondisi, sejarah masa lalu dan pandangan masa depan yang tidak sama antara
satu lingkungan dengan lingkungan yang lain. Amerika Serikat misalnya,
menekankan hukum pada hak individu dalam hubungannya dengan hak individu yang
lain.pusat perhatian hukum di sini
adalah menjaga agar hak-hak seseorang sebagai warga Negara jangan sampai
terlangkahi. Hal itu antara lain, sesuai dengan tabiat Amerika sebagai sebuah
Negara serikat. Para emigran asal eropa yang mendominasi penduduk AS sekaranag
ini dulunya hidup di berbagai koloni terpisah dengan cirri persaingan keras
yang menyangkut hak setiap koloni dan hak setiap individu dalam koloni
tersebut. Karena itu, mereka melihat hokum sebagi perlindungan terhadap hak-hak
individu.
Permasalahan
di Indonesia agak berbeda. Indonesia sebagai Negara nasional modern baru
berdiri lebih dari setengah abad lalu. Sebelum kedatangan penjajah belanda, di
Indonesia belum terdapat sebuah sisitem hokum nasional. Sebelum ini, terdapat
berbagai kerajaan besar dan kecil yang diwarnai oleh berbagai pandangan budaya
dan agama yang mempunyai ciri sendiri-sendiri. Karena itu, Moh.Hatta dalam
tulisan beliau di tahun tiga puluhan kebertan kembalai ke masa lalu untuk mencari
acuan bagi Negara modern yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Bagi hatta,
dalam negar Indonesia merdeka yang dicita-citakan, simbul yang digunakan
bukanlah “daulat tuanku”, tetapi “daulat rakyat”. Kedaulatan menurut beliau
mestilah berada di tangan rakyat yang melihat hukum seperti yang mereka pahami,
dan bukan di tangan raja atau sultan seperti yang berlaku di masa silam.
Sebelum
kedatangan belanda, hukum Islam sebenarnya telah mempunyai kedudukan tersendiri
di Indonesia. Hal itu terbukti dari beberapa fakta. Misalnya, Sultan Malikul
Zahir dari Samudera Pasai adalah seorang ahali agama dan hukum Islam terkenal
pada pertengahan abad ke XIV Masehi. Melalui kerajaan ini, hukum Islam Mazhab
Syafi’I disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara.[1] Dengan
tersebarnya Islam ke Nusantara, terjadi proses islamisasi secara damai dan
kerajaan-kerajaan Islam mulai menggantikan tempat kerajaan-kerajaan sebelumnya.
Perpindahan agam dalam islam biasanya dimulai dengan perpindahan keyakinan dari
agama lama kepada agama baru, kemudian diikuti oleh perpindahan sikap.
Hukum
dalah suatu yang esensial dalam islam yang mengendalikan siakp hidup umatnya.
Bila seorang masuk Islam dan ia diminta untuk melaksanakannya dalam kehidupan
pribadi dan masyarakatnya. Dalam bidang hukum kemasyarakatan, bagaimanapun
sederhananya masyarakt Islam, individu-individu dalam masyarakat tersebut
paling tidak pasti berusaha melaksanakan hukum perkawinan dan kewarisan Islam.
Dalam bidang kemasyarakatan ini, Islam memperkenalkan trdisi hukum baru di
Indonesia. Ia menwarkan dasar-dasar tingkah laku social baru yang lebih sama
rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Di samping itu, Islam juga
menyumbangkan konsepsi baru hukum untuk Indonesia. Ia telah merubah ikatan yang
berisfat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal.
Agama
adalah suatu yang menentukan dalam sejarah Indonesia, dan karena itu Ketuhanan
Yang Maha Esa dicantumkan oleh para pendiri RI sebagai sila pertama falsafah
Negara, dan ini adalah di samping adat-itiadat, yang memainkan peranan dalam
membentuk pengertian dan citra hukum bangsa Indonesia sepanjang sejarah. Karena
itu hukum di Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama adalah hukum
yang bersal dari adat-istiadat dan norma-norma masyarakat yang diterima secara
turun temurun dan berlangsung sejak lama sekali.[2]
Kedua
adalah hukum yang berasal dari ajaran agama dan yang ketiga adalah hukum sebagai
keseluruhan aturan kehidupan bersama, yang berasal dari legislator resmi yang
disertai dengan sangsi tertentu dalam hal terjadinya pelanggaran dan
dilaksanakan oleh Negara. Ketiga aturan hukum di atas terdapat dalam budaya
hukum Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945.
Membicarakan
budaya hukum Indonesia, seseorang tidak
dapat melepaskan diri dari ketiga bentuk aturan hukum yang dibicarakan di atas,
dan dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus ’45 tersebut,
konstruksi hukum Indonesia secara konstitusional berada di atas norma dasar UUD
45, termasuk pada tingkat transisional sperti ditentukan dalam aturan peralihan
UUD 45. Memperhatiakn ini, hukum Indonesia yang lahir setelah 18 agustus 45
mempunyai empat bentuk dasar. Pertama adalah produk legislasi kolonial, kedua
hukum adat, ketiga Hukum Islam dan keempat produk legislasi nasional.
Seperti
disinggung di atas sebelum hukum colonial, hukum yang telah berlaku di wilayah
Nusantara adalah hukum adat dan hukum Islam. Lalu dengan berkembangnya agama
Islam, hukum Islam sebagai hukum yang berhubungan dengan keyakinan agama
mendapat tempat tersendiri dalam kerajaan-kerajaan Islam Nusantara.setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 45, syarat dan dasar
berlakunya Hukum Islam dan Hukum agama-agama yang lain adalah pasal 29 ayat (1)
dan (2) UUD 45 yang berbunyi:
(1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamnya dan kepercayannya itu.
Pasal
29 ayat (1) UUD 45 menurut seorang praktisi hukum pada dasrnya mengandung tiga
muatan makna:
1. Negara
tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan
kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
2. Negara
berkewajiban membuat peraturan-peraturan perundang-undangan atau melakukan
kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang esa.
3. Negara
berkewajiban membuat peraturan-peraturan perundang-undangan yang melarang siapa
pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.
Penelitian
mengenai hukum di Indonesia belum banyak menyingkapkan bentuk-bentuk penerapan
hukum islam dalam kerajaan-kerajaan islam yang pernah berdiri di Nusantara
sebelum kedatangan penjajah Belanda, tetapi dari gelar-gelar yang diberikan
kepada bebrapa raja Islam, seperti adipati ingalogo sayyidin panotogomo, dapat
dipastikan bahwa peranan hukuim islam cukup besar dalam kerajaan-kerajaan ini.
Sebuah
penelitian tentang mistik Islam menyebutkan bahwa beberapa raja dan sultan di
Nusantara berusaha memasyarakatkan ajaran Islam. Hukum dalam masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah
hukum di Indonesia. Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan
kerajaan-kerajaan Hindu/Budha berarrti untuk pertama kalinya Hukum Islam telah
ada di Indonesia sebagai hukum positif.
Mengenai
kedudukan hukum Islam, secara khusus telah pula disebutkan oleh Menteri Kehakiman.
Dalam bagian terakhir tiga tulisan tersebut yang berjudul Eksistensi Hukum Islam Dan Sumbanganya Terhadap Hukum Nasional,
beliau menyatakan antara lain”…tidak dapat dipungkiri bahwa sebagaian besar rakyat
Indonesia terdiri dari pemeluk agama Islam.” Agama Islam, kata beliau lebih
lanjut, mempunyai hukum Islam dan secara substansi, terdiri dari dua bidang
yaitu (1) bidang ibadah dan (2) bidang muamalah. Pengaturan hukum yang
bertalain dengan bidang ibadah bersifat rinci, sedang pengaturan mengenai
muamalah atau mengenai ‘ segala aspek kehidupan masyarakat’. Yang ditentukan
dalam bidang terakhir ini hanya prinsipnya saja. Pengembangan dan aplikasi
prinsip-prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara Negara
dan pemerintahan yakni ulil amri.
Dan
oleh karena hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk serta membina
ketertiban social umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka
jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiyah adanya
transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang ia,
menurut Menteri Kehakiman, sesuai dengan Pancasila dan UUD ’45 dan relevan
dengan kebuthan hukum khusus Islam. Menuurut menteri Kehakiman, cukup banyak
asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat digunakan
dalam menyusun hukum nasional.
Ini
berarti bahwa sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu sumber bahan baku
dalam pembentukan hukum nasional, hukum Islam sesuai dengan kemauan dan
kemampuan yang ada padanya, dapat berperan aktif dalam berproses pembinaan
hukum nasional. Kemauan dan kemampuan hukum Islam itu harus ditunjukkan oleh
setiap orang Islam, baik pribadi maupaun kelompok, yang mempunyai terhadap
Islam dan ingin hukum Islam berlaku bagi umat islam dalam Negara Republik
Indonesia ini.[3]
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak
pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya,
seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang
yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia,
Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi
dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya
Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa
depan.
Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan
komite negara, seperti Dewan Penasehat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada
kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling
hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly
Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar
pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar
aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golongan dalam
masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di
BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam
Jakarta. Kalimat kompromi
paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai
negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang
mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam
bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya
gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada
banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah
kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia
Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir
angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945.
Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui
Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru
Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu
dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh
Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu
saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa
Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam
sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik
pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam di Era Orde
Lama dan Orde Baru
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional
tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya
tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang
menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang
Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR. Meskipun
gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil
yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini
kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui
Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah
Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah
berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14
Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan
usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang
tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988,
Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan
penyebarluasannya kepada Menteri Agama.[4]
Hukum Islam di Era
Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan
kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan
yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya
secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka
peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama
pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang
didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa
peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat
umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin
jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan
peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya
adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan
demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum
Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat
melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang
bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai
norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[5]
Hukum
Islam dengan pengertian Syariat Islam pada dasarnya adalah berbagai ketentuan
dari Allah menyangkut pengaturan hidup individu, keluarga, masyarakat dan
Negara, kemudain dikembangkan melalui suatu cara berfikir sistematis yang
disebut ijtihad. Memperhatikan kata hukum dan keadilan yang berasal dari bahasa
Quran, hukum menurut Islam mencakup, ketentuan, perintah, keputusan, vonis,
kebijakan dan pengendalian yang berasal dari Allah dan legislasi manusia untuk
menegakkan keadilan dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Legislasi
hukum Islam sepanjang sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai sekarang telah
melalui berbagai tahp, dan pada waktu ini sedang memasuki tahap
kompilasi/kodifikasi dalam Negara hukum modern dan menjadi bagian dari hukum
nasional. Sebelum kedatangan Belanda, hukum Islam merupakan hukum positif di kerajaan-kerajaan
Islam yang berdiri di persada Indonesia. Keberadaan hukum Islam tersebut pada
mulanya mendapat pengakuan dari penguasa belanda. Dalam alam Indonesia merdeka,
hukum Islam adalah bagian dari hukum Nasional Indonesia, sebagai pelaksanaan
sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 45. Melalui jalur ini
ketentuan hukum Islam yang memerlukan kekluasaan Negara pelaksanaanya mendapat
jaminan konstitusional.
DAFTAR
BACAAN
Ali, Muhammad
Daud, Hukum Islam, Jakarta: Rajawali
Press ,1990
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:1999
http://balianzahab.wordpress.com
No comments:
Post a Comment