Dunia Sufisme

Konsep Cinta Sang Sufi Legendaris

RABIATUL ADAWIYAH



Biografi Spiritual Rabi'ah Adawiyah
Nama lengkap Rabi'ah adalah Rabi'a bin Ismail al Adawiyah al Bashriyah al Qaisiyah. Rabi'ah diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717M di perkampungan kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu tahun 185 H/ 801 M. Rabi'ah dilahirkan sebagai puteri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Itulah yang menjadi alasan ia dinamakan rabi'ah.
Membaca perjalanan hidupnya, Sejak kecil Rabi'a adawiya dikenal sangat senang belajar menghafal al Qur'an, bila telah berhasil menghafalnya, Rabi'a duduk dan menghafalnya kembali dengan perasaan yang penuh khusu, iman yang mendalam dan pemahaman yang sempurna, yang menyebabkan ayahnya tak kuasa menahan air mata.
Bahkan tidak jarang pula ayah rabi'a melihat dirinya mengasingkan diri, bermuka muram dan sedih, selalu dalam keadaan terjaga untuk beribadat kepada Allah swt, tak ubahnya sebagai tokoh-tokoh sufi yang telah mengemuka. Diceritakan pada suatu malam, ayahnya meninggalkan dirinya yang sedang membaca al Qur'an, menghadap kiblat sambil berdoa menengadahkan tangannya lalu menyapu mukannya dengan kedua tangannya setelah  berdoa. Dalam keadaan seperti itu, Rabi'a hidup dalam suatu keimanan, peribadatan dan zuhud, Rabi'ah seolah-olah telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi tantangan zaman. Dalam usianya yang terbilang muda, ia ditinggalkan ayahnya pulang ke rahmatullah yang tak lama setelah itu disusul oleh ibunya. Dengan demikian sejak kecil ia kehilangan kasih sayang dari orang tua, dan merasakan hidup sebagai anak yatim dalam kemiskinan (M. Athiyah Kamis. 09).
Dalam keadaan yang cukup memprihatinkan tersebut, Rabi'ah terus mencoba survive dengan meneruskan pekerjaan ayahnya menyebrangkan orang dari sungai dajlah ketepi sungai yang lain. Hal ini dilakukannya untuk mempertahankan hidupnya dan ketiga saudaranya. Perjalan spiritual Rabi'a mulai dirasakannya ketika pada suatu hari rabi'ah pulang ke gubugNya ia tertidur dengan nyenyaknya dan bermimpi sesuatu yang mengejutkan, dan mimpi itu terus berulang-ulang setiap malam. Dalam mimpinya ia melihat cahaya yang sangat cemerlang yang menerangi benda-benda disekitarnya. Menerobos hingga hati dan jiwanya seolah-olah bermandikan cahaya, mimpi itu terus menerus terulang pada setiap malamnya.
Bahkan pada suatu ketika rabi'ah berada dalam perahunya, ia mendengar suara-suara yang amat merdu, adapun suara-suara yang didengar rabi'a itu ialah:
Lebih indah dari senandung serunai yang merdu dikegelapan malam terdengar bacaan al-Qur'an.
Alangkah bahagianya karena Tuhan mendengarnya suara yang merdu membangkitkan keharuan dan air mata bercucuran.
Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu, sedangkan hatinya penuh cinta Illahi.
Ia berkata, Tuhan, Tuhanku, Ibadah padamu meringankan deritaku.
Bukan main terperanjatnya Rabi'a mendengar suara yang tidak terduga-duga itu. Rabi'a beruaha mencari-cari sumber suara itu, lebih-lebih tatkala ia mendengar bait-bait:
Ia Berkata, Tuhanku….Tuhanku….Ibadahku padaMu meringankan deritaku
Dalam sausana hati yang kebingungan, Rabi'a pulang kegubuknya, saat kondisinya yang mengantuk Rabi'a terperanjat karena melihat malaikat berupa cahaya mengelilingi tempat tidurnya, sambil bersenandung lagu yang pernah didengarnya. Dari pengalaman-pengalaman yang dialaminya Rabi'a memusatkan segala perhatiannya dalam pengabdian kepada Allah Swt.
Allah telah menerangi hati Rabi'a dengan nur Illahi, sehingga ia tenggelam dalam keasyikan cintanya terhadap Allah Swt. Lidah yang tak pernah putus-putusnya menyebut asmaNya. Sedemikian asyiknya dalam pengembaraan jiwanya mencari Tuhan, Rabi'a tidak lagi merasakan orang-orang disekitarnya. Bahkan orang-orang yang menaiki perahuNya mengira bahwa gadis ini sedang dilanda cinta mengenang kekasihnya.
Pada perjalanan hidupnya Rabi'a pernah tertangkap oleh penyamun dan dijual sebagai sebagai hamba sahaya dengan harga 6 dirham. Rabi'ah diperlakukan secara kasar dalam kesengsaraan, namun ia tidak pernah berkeluh kesah terhadap apa yang menimpanya. Ditengah kondisi yang menimpanya Rabi'a selalu memanjatkan do'a, dan salah satu do'a yang dipanjatkannya ialah mencari jawaban atas pertanyaan yang mengusik hatinya, apakah Tuhan ridha terhadap segala usaha dan amal perbuatannya.
Setelah menerima kemerdekaan dari Tuannya, Rabi'a hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah sufiah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah sebagai kekasihnya. Rabi'a memperbanyak tobat dengan menjauhi duniawi, hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Dalam do'anya Rabi'a tidak pernah meminta hal yang bersifat materi kepada tuhanNya.
Pernyataan ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi (Rosihin Anwar, 2000. 120) menurutnya Rabi'a sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rabi'a tidak mendapat jalan lain kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga terbenam dalam kehidupan dunia. Argumentasi yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya ialah intensitas Rabi'a itu sendiri, menurutnya keimanan dan kecintaan yang begitu ekstreemnya tidak mungkin dijalaninya tanpa ada sebab sebelumnya.
Hakikat Mahabbah Illahiyah
Rabi'a adalah seorang sufi yang meletakkan doktrin cinta tanpa pamrih terhadap Allah Swt. Suatu konsep yang terbilang baru dikalangan para sufi pada zaman itu. Menurut Rabi'a cinta berasal dari keazalian dan menuju kepada keabadian, serta tiada seorangpun dalam tujuh puluh ribu dunia ini yang mampu meminum setetespun dari cinta itu hingga akhirnya ia menyatu dalam allah. Dari situ maka berlakulah dalil ’’Dia mencintai mereka dan mereka mencintainya.(QS. 5: 59).
Secara singkat, definisi cinta menurut Rabi'a yang sering diajarkan adalah cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Rabi'a mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup yang lain selain kekasih yang dicinta. Ia harus memisahkan dirinya dari sesame makhluk ciptannya. Seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari dunia dan dari segala daya tariknya. Manusia harus bangkit dari semua keinginan nafsu duniawi dan tidak member ruang adanya kesenangan dan tidak juga kesengsaraan yang dapat mengganggu perenungan pada yang kudus. Dan Rabi'a mengajarkan cinta tanpa mengharap pamrih dari Tuhan yang maha kuasa. (Margaret Smith. 122-123).
Untuk memperjelas pengertian al Hubb yang diajukan Rabi'a yaitu hub al Hawa dan hub anta ahl lahu, penting melihat pandangan Abu Thalib al Makiy dalam Qut al Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi yang menafsirkan bahwa makna Hubb al Hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah Swt. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat materi, tidak spiritual, karena hubb disini bersifat hub inderawi. Adapun hub anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan inderawi, tanpa didorong dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa, keawjiban-kewajiban yang dijalankan Rabi'ah timbul karena perasaan cinta kepada dzat yang dicintainya (Rosihin Anwar. 120).
Mengenai konsep Ridha, diceritakan oleh Abu Thalib saat Rabi'a bersama Sufyan ats-Tsauri yang memanjatkan doa Ya Allah Illahi Rabbi, semoga engkau ridha dengan kita semua. Kemudian Robi'a mengomentarinya dengan Tak malukah engkau memohon ridha kepada Allah ta'ala sementara engkau sendiri masih belum ridha kepadanya. Mendengar ucapan Rabi'a demikian, akhirnya disambut kembali oleh sufyan Aku memohon ampun kepadaMu ya allah.
Tentang Syauq Rabi'a mengatakan rintihan dan kerinduan seorang pecinta pada kekasih yang tiada akan henti-hentinya hingga sang kekasih itu akan meridhoinya. Rabi'a lebih jauh juga mengatakan tentang Uns "bagi seorang yang taat, yaitu pecinta sejati akan mencari keintiman" (Margaret Smith. 112).
Ajaran tasawuf yang dibawa Rabi'a adawia dikenal dengan istilah Mahabbah. Paham ini merupakan kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Basri, yaitu takut dan pengharapan dinaikan oleh Rabi'a menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan. Rabi'a betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Allah Ta'ala (Abuddin Nata, 170).
Rabi'ah Adawiyah dalam perkembangan mistisisme Islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah Swt. Dikarenakan generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Sikap dan pandangan Rabi'a tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al Qusairy meriwayatkan bahwa ketika bermunajat Rabi'a menyatakan do'anya: "Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencarimu oleh api neraka", tiba-tiba terdengar suara "Kami tidak akan melakukan itu, janganlah engkau berburuk sangka kepada kami".
Pemikiran dan Syair-Syair Mahabbah Illahiyah Rabi'ah Adawiyah
Diantara do'a-do'anya yang indah diantaranya "Aththar" yang menunjukkan bagaimana arti do'a yang sebenarnya baginya. Yaitu bagaikan percakapan cinta dengan TuhanNya. Bukan permohonan atas nama dirinya atau yang lainnya. Tetapi lebih merupakan suatu percakapn sederhana dengan sahabat suciNya dan suatu keridhoan sempurna dengan kehadiranNya. Kecintaan Rabi'a kepada Tuhannya, diekspresikannya dalam untaian-untaian syair sebagai berikut:
"Ya Tuhan Bintang dilangit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintainya dan inilah aku berada dihadiratMu".
"Buah hatiku, hanya engkaulah yang kukasihi, Beri ampulah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain dari engkau".
Beberapa bait syair diatas menggambarkan rasa cinta Rabi'ah kepada Allah Swt, ia selalu memupuk kecintaannya kepada Allah Swt. Pernah ia berkata:
Ketika kudengar suara adzan, yang kudengar hanyalah panggilan kiamat, ketika kulihat salju, yang kulihat hanyalah bulu beterbangan, ketika kulihat belalang, yang teringat hanyalah hari perhitungan.
Akal dan pikiran Rabi'ah telah terpaut pada akhirat saja untuk menghadap Allah Swt. Rabi'ah merasa bahwa cinta kepada Allah Swt, haruslah merasuk dalam hati dan mengesampingkan semua selain kepadaNya. Sebagaimana dikisahkan Abu Said bin al Khayr bahwa ia mendengar hal itu dari Abu Ali sang ahli hukum. Rabi'ah ditanya dengan cara bagaimanakah ia mencapai keunggulan semacam itu dan ia menjawab, "dengan selalu mengucapkan, Aku berlindung kepadamu dari segala sesuatu yang menarikku dari diriMu, dan dari setiap rintangan yang dapat menghalangiku dariMu (Margareth Smith, 115).
Kompetebelitas Ajaran Rabi'ah dalam Konteks Kekinian
Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangsihNya dalam dunia sufi terbilang memiliki andil besar. Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan sufi, Rabi'ah banyak dijadikan rujukan oleh para pengikut madzhab sufistis, dan secara praktis penulis-penulis besar banyak yang menuliskan ajaran-ajaranNya sebagai kapasitas maqom tertinggi.
Untuk memahami ajaran-ajaran Rabi'ah penting sekali memahami gambaran secara singkat tentang doktrin sufi, dengan tujuan agar dapat memahami seberapa besar dan hakikat sumbangan Rabi'ah dalam perkembangan ajaran tasawuf modern. Diantara pandangan kaum sufi itu diantaranya:
Urusan manusia adalah menghapus sejauh mungkin elemen atau partikel-partikel yang bukan Allah untuk dapat menyatu dengan Allah Swt. Penggabungan dengan yang suci itu akan dapat dicapai pada saat kematian meskipun sebenarnya memungkinkan untuk dicapai pada saat hidup walau dalam tahap tertentu.
Maka pertanyaannya adalah bagaimana seseorang dapat menguasai elemen bukan Allah ?, prosesi itu dapat dilakukan dengan menaklukan diri dengan menanan cinta dan menyingkirkan bayangan gelap dari selain Allah Swt. Karena dengan konsep cinta seperti itu, akan tertanam pada jiwa manusia untuk menenangkan kembali sumber kesucian itu dan menemukan tujuan utama dari penyatuan kembali dengan kebenaran.
Adapun hal-hal yang kita dapat terapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks masa kini, adalah membangun kebiasaan sikap tobat, menanamkan sifat sabar, selalu bersyukur kepada allah Swt, mengharap (Raja), rasa takut yang suci, faqir, zuhud mensucikan diri dari keramaian dunia dan hal-hal yang bisa mempengaruhi dan memberikan dampak buruk bagi kita.

Daftar Bacaan
Abuddun Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
Rasihin Anwar, Ilmu Tasawuf  
Muhammad Athiyah Khamis, Penyair Wanita Sufi Rabi'ah Adawiyah
Margareth Smith, Rabi'ah Pergulatan Spiritual Perempuan



No comments:

Post a Comment

Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...