PLURALISME AGAMA


PENGERTIAN PLURALISME AGAMA  
Dalam kerangka Ilmu Sosial (Wikipedia Bahasa Indonesia), pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi antara satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

Pluralisme agama dapat dipahami dalam beberapa perspektif, diantaranya:
1.      Perspektif  sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya.
2.     Perspektif etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral yang berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll.
3.    Perspektif  teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda. Selanjutnya, dalam tulisan ini, setiap kali kita menyebut pluralisme agama, yang dimaksudkan adalah pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi ini.

Pluralisme dapat dikategorikan sebagai salah satu ciri khas dari masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Gagasan pluralisme agama memang terlihat begitu ”simpatik” karena ingin membangun teologi yang terdengar sangat toleran, ”semua agama dipandang sama-sama benar dan semua agama pada hakikatnya adalah menyelamatkan”. Istilah Pluralisme (agama) sebenarnya mengandung 2 (dua) hal sekaligus, Pertama, deskripsi realitas bahwa di sana ada keanekaragaman agama. Kedua, perspektif atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas keanekaragaman agama yang ada.
2.   PLURALISME AGAMA MENURUT ISLAM
 Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) dikutip dari Al-Islam sesungguhnya didasarkan pada sejumlah faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan. Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam. Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor pertama bisa diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan pluralisme agama.
 Pluralisme agama adalah sebuah kenyataan sejarah yang ditarik berdasarkan situasi nyata manusia di muka bumi ini. Agama sudah betul-betul menyadari bahwa ada beragam agama di muka bumi ini. Meskipun ada pergeseran atau perpindahan agama, tetapi skalanya sangat kecil terutama pada agama-agama besar. Terhadap kenyataan ini, agama harus mengambil sikap, dalam mengambil sikap itu muncul fakta yang menarik bahwa sebetulnya kebanyakan agama sudah mengakui pluralisme, barangkali tidak dalam praktik, tapi masih dalam ajaran normatif. 
 Dari sisi teologispun sebetulnya masih banyak terdapat kontroversi dan silang pendapat. Dalam Islam, misalnya, ada beberapa ayat Alquran yang secara tekstual menyatakan bahwa pluralisme merupakan sesuatu yang sah, seperti, “Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, Yahudi, Nashrani, dan Shabiun, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dan beramal baik, maka pahalanya ada pada sisi Allah. Tidak ada ketakutan dan tidak ada kesedihan pada diri mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 62). 

 Di sisi yang lain, ayat Alquranpun menyatakan secara tegas bahwa pluralisme tertolak dengan sendirinya. Kebenaran hanya ada pada agama Islam. Sementara itu, tidak ada kebenaran di luar Islam, “Sesungguhnya agama yang paling diridhai di sisi Allah hanyalah agama Islam.” (Qs. Alu Imran [3]: 19). Selain itu, ada juga ayat, “Siapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya, maka agama itu tidak akan diterima oleh Allah. Di akhirat, ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi.” (Qs. Alu Imran [3]: 85). 

 Kedua model ayat di atas menurut masing-masing pihak yang pro maupun kontra soal pluralisme, menjadi justifikasi teologis. Dengan kata lain, ada landasan konkret dalam kitab suci firman Tuhan sendiri. Konsekuensinya, kedudukan paham pluralisme adalah sama absahnya dengan kedudukan paham anti-pluralisme. Dengan demikian, paham pluralisme sendiri sebetulnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi dilarang. Pluralisme, salah satunya, adalah juga hasil dari pembacaan terhadap teks-teks  kitab suci. Kemudian, dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ 
 أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13).
   Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). 
   Terdapat kalangan yang pro dan kontra di dalam islam mengenai wacana pluralisme agama, Ulil Abshar Abdalla (JIL) mengatakan : Semua agama adalah sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.'' (GATRA, 21 Desember 2002). Kemudian Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antar agama, yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam artikelnya di Kompas (18/11/2002) yang berjudul ''Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam'', Ulil menyatakan: ''Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.''Sedangkan menurut M. Shiddiq al-Jawi (Al-Islam) mengatakan : bahwa ide pluralisme agama wajib ditolak. Sebab ide tersebut bertentangan secara normatif dengan Aqidah Islam, tidak orisinal alias palsu karena tumbuh dalam setting sosio historis Barat, diimplementasikan secara inkonsisten, dan membahayakan umat Islam secara politis, karena akan membius umat agar tidak sadar telah diinjak-injak oleh hegemoni AS.

3. PLURALISME MENURUT KRISTEN
 Toleransi yang dibangun atas dasar kepercayaan bahwa semua agama sama-sama benar, hal itu merupakan toleransi yang semu. Toleransi yang sejati justru muncul sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, ”meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.”
 Paham Pluralisme agama, menurut Frans Magnis, jelas-jelas ditolak oleh Gereja Katolik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan ''Dominus Jesus.'' Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Di kalangan Katolik sendiri, ''Dominus Jesus'' menimbulkan reaksi keras. Frans Magnis sendiri mendukung ''Dominus Jesus'' itu, dan menyatakan, bahwa ''Dominus Jesus'' itu sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya, Pluralisme Agama hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran daripada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini.
 Frans Magnis Suseno, dalam bukunya yang berjudul Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk uga menolak keras PA. Pluralisme agama, kata Magnis, sebagaimana diperjuangkan di kalangan Kristen oleh teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimundo Panikkar (Katolik), adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan.
 Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: ''Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, bari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama.


Daftar Pustaka


Suseno, Frans Magnis S.J. Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004.
Lumintang, Stevri L. Teologia Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang: Gandum Mas, 2004.
 













No comments:

Post a Comment

Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...