PERAN STRATEGIS OMBUDSMAN RI DALAM PENGAWASAN PELAYANAN PUBLIK



    
Pendahuluan
Siklus perpolitikan masa transisi kehidupan bernegara di Indonesia (1998-1999), akhirnya telah menghantarkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada kursi RI 1 dan Megawati Soekarno Putri di kursi RI 2. Tampaknya duet kepemimpinan Gus Dur dan Megawati saat itu harus menanggung beban politik dan sejarah masa lalu yang cukup berat. Korupsi masih tetap merajalela dan bahkan cenderung tanpa kendali. Penegak hukum juga mengalami kesulitan mewujudkan cita-cita reformasi hukum yang menjadi salah satu agenda reformasi.

Partai politik berebut jatah kekuasaan dan akses ekonomi. Masyarakat dan mahasiswa kembali melontarkan kritik atas ketidakmampuan pemerintah memberantas korupsi dan berbagai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara. Pemerintah semakin kehilangan kewibawaan karena terus menerus terlibat polemik kontroversial sehingga tidak sempat mengurusi kebutuhan dasar masyarakatnya.

Dalam kondisi mendapat tekanan masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas KKN, maka pemerintahan saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat. Salah satunya dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap Penyelenggara Negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.

Lahirnya Komisi Ombudsman di Indonesia, Di inisiasi pada awal Nopember 1999, Presiden KH. Abdurrahman Wahid memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Antonius Sujata untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Pada tanggal 17 Nopember 1999 diadakan pertemuan antara Jaksa Agung Marzuki Darusman, Antonius Sujata dan Presiden RI guna membahas gagasan Presiden RI tentang konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara dalam rangka memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Secara lebih kongkrit konsep tersebut diwujudkan dengan membentuk Lembaga Ombudsman di Indonesia.

Setelah melewati dinamika dan proses maraton yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal 10 Maret 2000 Presiden resmi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, dengan mengangkat Antonius Sujata sebagai Ketua merangkap Anggota., Prof. Sunaryati Hartono sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota, Teten Masduki sebagai Anggota, KH. Masdar F Masudi sebagai Anggota, RM Surahman, APU sebagai Anggota, Prof. Bagir Manan sebagai Anggota, Pradjoto sebagai Anggota, dan Sri Urip sebagai Anggota. Setelah keluar Keppres Nomor 44 Tahun 2000, pada tanggal 20 Maret 2000, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Ombudsman Nasional dilantik Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara. Saat itu Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pengawasan pelayanan lembaga negara.

       Peran Strategis Ombudsman dalam Pengawasan Pelayanan Publik
Kini, usia Ombudsman RI sudah memasuki usia yang ke 14 semenjak berdirinya lembaga ini di Indonesia. Tentunya di usia yang semakin matang ini, keberadaan Ombudsman RI menjadi sangat penting dan strategis dalam melaksanakan kerja-kerja pengawasan terhadap pelayanan publik di negeri ini. Mengingat semangat perbaikan kualitas pelayanan publik yang sedang digalakkan pemerintah pusat maupun di daerah, harus di dorong dengan pengawasan-pengawasan yang dilakukan oleh lembaga atau insitusi yang memiliki power ketika terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur dan pejabat publik  di tingkatan pusat dan daerah, guna tercapainya pelayanan publik yang bersih tanpa kolusi dan berkeadilan bagi masyarakat di Indonesia.

Cita-cita mulia untuk menyelenggarakan pemerintahan negara yang bersih inilah, telah dinyatakan 14 (empat belas) tahun lalu yang menjadi ilham ketika mendirikan lembaga Ombudsman di Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam salah satu pertimbangan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional yang menyatakan:

“Pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme”

Yang menjadi Visi Ombudsman, sebagaimana termaktub dalam Keppres di atas, adalah terselenggaranya pemerintahan yang baik (Good Governance). Banyak teori tentang Pemerintahan yang baik. Tapi, initinya adalah pemerintahan dijalankan oleh orang-orang yang menyadari betul bahwa melayani kepentingan warga bukan sekedar kewajiban legal, tapi sekaligus kewajiban moral. Legal adalah kewajiban yang dipaksakan dari luar; sementara kewajiban moral adalah kewajiban yang dituntut dari dalam, dari diri sendiri. 

Sementara itu, pemerintahan yang baik, tidak mungkin terwujud kalau bukan sekaligus merupakan pemerintahan yang bersih (Clean Government) dari kepentingan pribadi para penguasa/pejabatnya. Bentuk paling kasar dari kepentingan pribadi adalah apa yang populer disebut korupsi. Karena itu, Good Governance lazim diucapkan senafas dengan Clean Government.

Dengan demikian, Menata pemerintahan yang baik (Good Governance) dan bersih (Clean Government) bukanlah sebuah slogan semata-mata yang di iklankan para pejabat publik di media massa, melainkan membutuhkan kerja-kerja kongkrit yang diawali dengan merevolusi akhlak (kesadaran) birokrasi selaku pelayan publik dengan tidak menggunakan istilah revolusi mental dalam melayani seluruh konstituennya di Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab. Sederhananya, pemerintahan yang baik dan bersih ditentukkan oleh pribadi-pribadi dari penyelenggara negara itu sendiri.

Kemudian, dalam peningkatan kualitas layanan aparat pemerintah selaku pelayan publik kepada warga masyarakat sebagai konstituennya, peran serta dari Ombudsman masih sangat dibutuhkan untuk melayani keluhan masyarakat berkenaan dengan layanan aparat negara/pemerintah yang dinilai tidak atau kurang semestinya. Baik dari sudut waktu, biaya, proses, mutu, dan lainnya. Karena fungsi pengawasan yang efektif selalu mempersyaratkan independensi. Tanpa independensi antara pihak yang mengawasi dengan yang diawasi kemungkinan besar yang terjadi justru kolusi.

Tidak demikian dengan ombudsman, karena Ombudsman adalah lembaga independen bukan bagian dari instansi/lembaga atau badan kenegaraan atau pemerintahan yang diawasinya. Sehingga posisi Ombudsman masih sangat strategis dalam mendisplinkan kinerja aparatur pemerintahan yang nakal, mengingat belum sepenuhnya praktek-praktek KKN hilang dari negeri ini.

Jadi, jika belakangan ini ramai disorot mutlaknya Pemerintahan yang Baik (Good Governance) dan Pemerintahan yang Bersih (Clean Government), maka kerja Ombudsman masih sangat signifakan dalam mengawal pemerintahan yang baik, Good Governance. Bukan dalam pengertian Ombudsman sendiri yang akan memberikan layanan kepada masyarakat. Ombudsman hanya memastikan, bagaimana fungsi layanan publik yang menjadi tanggungjawab semua badan/instansi/lembaga tersebut berjalan seperti yang diinginkan oleh masyarakat yang memerlukannya.










No comments:

Post a Comment

Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...