Al Jilli lahir pada tahun 1365 M,
di Jilan (Gilan). Sebuah provinsi di sebelah selatan kasfia dan wafat pada
tahun 1417 M. Sedangkan nama Jilli di ambil dari tempat kelahirannya di Gilan.
Al Jilli adalah seorang sufi yang terkenal di Baghdad. Riwayat hidupnya tidak
banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tapi sebuah sumber pernah menyatakan
bahwa ia telah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M, kemudian
belajar tasawuf di bawah bimbingan Syaikh Abdul Qodir al Jailany. Selain itu al
Jilli juga berguru pada Syaikh Syafaruddin Isma’il bin Ibrahim al Jabiri di
Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 (Rosihin Anwar. 253, 2007).
Abdul Karim bin Muhammad al Jilli
merupakan sufi kreatif, ia banyak menulis tentang tasawuf sekitar dua puluh
buku, di antara karangannya yang
terkenal adalah: 1. Al Insan al Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awa’il, 2. Al
Kahf war Raqim fi Syarhi Bismillahirrohmanirrohim. Al Insan al Kamil adalah
sebuah buku yang pernah menggemparkan ulama-ulama sunnah dan fiqih pada masa
itu, padahal isinya hanya sekedar menjelaskan buah fikiran Ibnu Arabi dan
Jalaluddin ar Rumi (Proyek Pembinaan PTAIN. 86, 1982).
Singkat cerita, Pada tahun 799
hijriyah al Jilli berkunjung ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah Haji,
dalam kesempatan ini al Jilly masih sempat melakukan proses saling tukar
pemikiran dengan orang-orang di sana.
Hal ini di pandang sebagaian kalangan bahwa kecintaannya terhadap ilmu
pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain. Empat tahun kemudian
(803 H), al Jilli berkunjung ke Kairo, di sana ia belajar di Universitas Al
Azhar, dan bertemu para teolog, filsuf, dan sufi. Di kota ini ia menyelesaikan
penulisan bukunya yang berjudul “Ghunyah Arbab al Sama wa Kasyf al Qina’an
Wujud al Istima” (anshoriuin. Blogspot.com).
Adapun beberapa karya yang pernah
di tulis al jilli di antaranya, Al Insan al Kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal
Awa’il, kemudian Al Durah al Inayah fi al Syawahid al Ghaybiyah (buku ini
merupakan ontologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al Jilli. Yang
ketiga karyanya adalah Al Kahf war Raqim fi Syarhi Bismillahirrohmanirrohim
(buku ini merupakan kajian yang membahas tentang kalimat bismillah secara
panjang lebar menurut tafsir para sufi). Selanjutnya Maratib al Wujud (buku
yang menjelaskan tentang tingkatan wujud dan di sebut juga dengan judul Arbain
Muratib.
Sementara ajaran tasawuf dari al
Jilli di antaranya adalah mengenai konsep insan kamil (manusia sempurna).
Menurut al Jilli insan kamil adalah Nukshah atau copy Tuhan. Seperti yang di
sebutkan dalam hadits “Allah menciptakan Adam dalam bentuk dirinya”. Kata Insan
kamil secara etimologi berasal dari bahasa Arab, ter diri dari dua kalimat
yakni, “al Insan” dan “al Kamil”. Kata insan berasal dari turunan kata nas yang
artinya manusia. Sedangkan kata kamil adalah sempurna.
Lebih lanjut al Jilli berkata
bahwa duplikasi al kamal (kesempurnaan) pada dasarnya dimiliki oleh semua
manusia. Al Kamal dalam konsepnya mungkin dimiliki manusia secara professional (Bi al Quwwah), dan mungkin secara
actual (Bi al Fii) seperti yang
terdapat pada diri wali dan nabi meski dalam intensitas yang berbeda.
Intensitas al Kamal yang paling tertinggi dimiliki oleh nabi Muhammad SAW.
Dalam konsepsi al Jilli, nabi
Muhammad SAW adalah insan kamil. Di karenakan beliau mempunyai sifat-sifat al
Haq (Tuhan), dan al Khalq (makhluk) sekaligus dan sesungguhnya al Insan al
Kamil itu adalah ruh Muhammad yang diciptakan dalam diri nabi-nabi sejak dari
Adam sampai Muhammad, wali-wali serta orang-orang sholeh (Proyek Pembinaan
PTAIN. 89, 1982).
Kemudian al Jilli berpendapat
bahwa nama dan sifat illahiyah pada dasarnya merupakan milik insan kamil
sebagai suatu kemestian yang inhern dan esensinya. Hal ini dikarenakan karena
sifat dan mana tersebut tidak dimiliki tempat berwujud, melainkan pada insan
kamil. Lebih lanjut al Jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan
dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya
sendiri kecuali melalui cermin. Demikian halnya dengan insan kamil, ia tidak
dapat melihat dirinya kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan dapat
melihat dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil.
Adapun maqam-maqam yang akan
dilalui seorang sufi dalam menuju insan kamil, menurutnya ialah; pertama, Islam. Yang di dasarkan pada
lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi, yang tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi
harus dilakukan secara lebih mendalam. Kedua.
Iman, yakni pembenaran dengan penuh keyakinan akan rukun iman dan
melaksanakan dasar-dasar Islam, iman merupakan tangga pertama dalam membuka
tabir ghaib dan alat membantu seseorang mencapai tingkat yan lebih tinggi, iman
menunjukkan sampainya hati untuk memehami seuatu yang diketahui akal yang tidak
selalu mambawa keimanan.
Maqam ketiga adalah Ash-Shalah. Pada maqam ini, seorang sufi mencapai
tingkatan ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan perasaan Khauf dan Raja. Tujuannya adalah untuk mencapai nuqtah ilahiyah pada lubuk
hati sehingga mentaati syariat dengan baik. Keempat.
Ihsan. Maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan
efek (atsar) nama dan sifat Tuhan,
sehingga dalam ibadahnya merasa sekan-akan berada di hadapan-Nya. Adapun syarat
yang harus ditempuh untuk mencapai maqam
ini ialah, istiqamah dalam taubat, inabah, zuhud, tawakkal, tafwidh, ridha dan
ikhlas.
Selanjutnya maqam kelima yang harus ditempuh oleh para
sufi untuk mencapai kapasitas insan kamil adalah Syahadah., pada maqam ini
seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa
pamrih, mengingatnya terus menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi
keinginan pribadi. Maqam selanjutnya adalah Shiddiqiyah., istilah ini
menggambarkan tingkat pencapaian hakikat makrifat yang diperoleh secara
bertahap dari ilmu al Yaqin, ain al Yaqin, dan haq al Yaqin. Ketiga jalan
makrifat ini di alami seorang sufi secara bertahap.
Jadi menurut al Jilli, seorang
sufi yang mencapai derajat shidiq, akan mampu menyaksikan hal-hal yang ghaib
kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.
Setelah mengalami fana, ia memperoleh
baqa illahi. Inilah batas pencapaian
ilmu al Yaqin, maqam selanjutnya yang harus di lewati seorang sufi menurut al
Jilli ialah Qurbah, merupakan maqam
yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang
mendekati sifat dan mana Tuhan (Rosihin Anwar, 157-159. 2007).
Sementara itu menurut Arberry,
konsep insan kamil al Jilli sangat dekat
dengan konsep “hullul al Hallaj” dan konsep “ittihad ibnu Arabi”, yakni
integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari nur
Muhammad. Adapun Ibnu Arabi mentransfer konsep hullul al Halaj dalam faham
ittihadnya ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah yan
diliputi nur-nur Muhammad.
Dalam hal ini, konsep insan kamil
terbagi ke dalam tiga jenjang yaitu, maqamat Mubtadi, mutawasith, dan
Makrifat., yang kemudian mencapai maqam penghabisan (Khatam). Jenjang Mubtadi merupakan penyerapan hakekat nama dan
sifat Tuhan. Jenjang Mutawasith merupakan tahap menghayati dan menjiwai
kehalusan manusiawi dengan hakekat ruhaniyah Tuhan sehingga dapat mengeahui
hal-hal yang ghaib. Sedangkan jenjang ma’rifat berupa pengetahuan yang tuntas
terhadap berbagai hikmah penciptaan. Selanjutnya maqam Khatam menerima sifat
agung dan mulia. Hal ini hanya bagi orang-orang utama dan inilah yang menjadi
puncak insan kamil yang tidak terbatas tingginya sudah memasuki posisi nafs
kulliyah (Proyek Pembinaan PTAIN. 90, 1982).
Daftar Bacaan
Anwar, Rasihin. Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2007
Proyek Pembinaan PTAIN, Pengantar Ilmu tasawuf, Sumatera barat,
1982.
No comments:
Post a Comment