RADIKALISME DAN SEJARAHNYA
DALAM KOMUNITAS MUSLIM DI INDONESIA
Dalam masa reformasi ini, diskursus-diskursus mengenai kebebasan dan kemanusiaan muncul keluar dengan segala kebebasannya. Seakan keluar dari penjara otoriter pemerintah yang membungkam kreatifitas dan kebebasan masyarakatnya. Salah satu diskursus yang tidak kalah penting pada lima tahun terakhir ini adalah kebangkitan Islam. Banyak gerakan-gerakan yang muncul akibat refleksi situasi yang semakin menggerogoti dan mengancam kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Gerakan-gerakan yang muncul ini disebut gerakan radikal. Disebut seperti itu, karena para anggotanya bertindak anarkis dalam menyikapi situasi masyarakat yang tidak sejalan dengan syari’at. Mereka melihat dalam kehidupan masyarakat terjadi penyimpangan-penyimpangan agama maupun moral yang jauh dari ajaran Islam. Untuk menyikapi hal tersebut, gerakan-gerakan ini berusaha merealisasikan apa yang diidealkan agamanya (Islam). Tapi, akibat tidak adanya respon balik dari pemerintah dan malah cenderung menghalangi gerakan ini, timbul lah tindakan-tindakan anarkis.
PEMBAHASAN
Radikalisme Islam yang muncul di Indonesia, akibat dari faktor lambannya pemerintah dan organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah dalam menangani kasus-kasus di atas yang disertai dengan perjuangan merealisir konsep dalam al Qur’an dan sunnah, yakni implementasi syari’at Islam. Dalam konteks internasional radikalisme Islam tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di negara-negara mayoritas muslim. Atau bahkan terjadi di negara, dimana Islam dijadikan sebagai agama negara, seperti Mesir, Iran, Palestina dsb.
Perkembangan gerakan ini semakin menguat setelah terjadi peristiwa 11 september yang menimpa gedung WTC milik AS. terjadinya tragedi ini, AS dan sekutunya menuduh kalangan Islam sebagai pelakunya. Lebih-lebih menyamakan gerakan-gerakan Islam militan dengan gerakan teroris. Usai tragedi 11 September 2001 diskursus gerakan-gerakan radikal Islam marak dibahas bersanding dengan wacana terorisme. Sebab, Amerika yang dirundung duka itu mengasumsikan bahwa Osama Bin Laden dan kroninya —yang notabene muslim fundamentalis— adalah dalang di balik serangan itu.
Realitas politik nasional maupun internasional yang demikian itu, dirasa telah meyudutkan Islam, dimana hal ini telah mendorong kalangan fundamentalis Islam untuk bereaksi keras. Dalam hal ini. Dengan menampilkan diri sebagai gerakan radikal, fundamentalisme mengecam keras kebijakan-kebijakan politik AS, diantaranya dengan menunjukkan simbol-simbol anti-AS.
Istilah radikalisme dan fundamentalisme Islam
Istilah radikalisme dan fundamentalisme Islam sebenarnya sangat berkaitan erat. Kedua istilah ini sebenarnya berangkat dari kebangkitan Islam politik akibat diskriminasi terhadap Islam. Dalam beberapa literatur, istilah Islam politik, radikalisme atau neofundamentalisme atau revivalisme Islam memiliki tafsiran yang cenderung sama. Para tokoh Islam Barat maupun Timur punya pandangan sendiri tentang istilah-istilah tersebut. John L. Esposito (1997) misalnya, menyamakan istilah Islam politik dengan (fundamentalisme Islam) atau gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara Oliver Roy (1994) cenderung menafsirakan Islam politik sebagai kelompok-kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai idiologi politik. Sedikit berbeda dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang ia sebut sebagai gerakan neo fundamentalism yang antara lain menghendaki pemberlakuan syari’at Islam.[1]
Istilah radikalisme umumnya dipakai oleh para akademisi dan kalangan media massa, yang merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang ekstrim, militan, dan non toleran serta anti Barat/Amerika. Lebih-lebih setelah ultimatum Presiden AS George W. Bush, tentang perang melawan terorisme pasca tragedi 11 september 2001, kedua istilah tersebut dicampur adukan dengan terorisme.dan tak jarang pula cap fundamentalisme diberikan oleh semua orang Islam yang menerima Qur’an dan Hadits sebagai satu-satunya jalan hidup. Dengan demikian, jargon “kembali kepada agama” dalam politik dan masyarakat tercakup dalam istilah Fundamentalisme Islam (Esposito, 1994)
Menurut Esposito lagi, persepsi istilah fundamentalisme Islam, dipengaruhi oleh sebuah gerakan Protestanisme abad ke-20. Tapi menurut tokoh Timur, M. ‘Âbid al-Jâbirî, awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al-Afghânî. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa tak punya istilah padanan yang tepat untuk menterjemahkan istilah Salafiyyah. Hingga Anwar Abdul Malik pun memilih istilah itu sebagai representasi dari istilah Salafiyyah Al-Afghânî, dalam bukunya Mukhtarât min Al-Adab Al-Arabi Al-Mu‘âshir (1965: berbahasa Prancis), dengan tujuan memudahkan pemahaman dunia tentangnya dengan istilah yang sudah cukup akrab: fundamentalisme.[2]
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi. Professor filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa “fundamentalisme Islam” adalah istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu sering digunakan oleh banyak pemikir.[3] Kalau al-Jâbirî dan Hanafi cenderung adem ayem dengan pematokan istilah tadi, M. Said al-Asymawi cenderung mirip dengan pendapat Esposito dan berusaha mencari akar peristilahannya. Sebelum al-Asymawi menggunakan istilah itu, ia berusaha mengungkap makna awal dari istilah ‘fundamentalis’.
Dalam buku Al-Islâm Al-Siyasî (1987), al-Asymawi berkata bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrem dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islam pun muncul.[4]
Semua pendapat dan argumen-argumen para tokoh di atas, dapat ditemukan makna sama yang akhirnya berujung dari tindakan radikal anarkis. Dari ungkapan istilah itu pula, ditemukan semacam pengertian bahwa fundamentalisme merupakan semacam ideologi agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Dan fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali pada ajaran agama dihalangi oleh situasi sosial politik yang mengelilingi masyarakat. Sebenarnya jika radikalisme yang dimaksud hanya sebatas pandang ideologis, artinya hanya bersarang pada pemikiran, hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi, jika harapan merealisir fundamentalisme dihalangi oleh kekuatan politik, maka radikalisme akan meluas menjadi suatu kekerasan. Konflik terbuka pun tidak dapat di hindari.
Faktor dan Awal Munculnya Radikalisme Islam di Indonesia
Sebenarnya kebangkitan Islam di Indonesia baru muncul sekitar tahun 1980-an. Yaitu gejala-gejala agama yang muncul secara dominan yang ditandai oleh menguatnya kecenderungan masyarakat untuk kembali pada agama dengan mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa sebelumnya, yakni tahun 1970-an, sudah muncul kesadaran masyarakat Islam secara lebih nyata. Hal itu terlihat pada simbol-simbol Islam yang muncul serentak pada kampus sekuler (non-agama) ditandai dengan banyaknya perempuan-perempuan pemakai jilbab. Gerakan keagamaan lama sebelum itu sudah eksis diantaranya NU dan Muhammadiyah.
Bangkitnya Islam di Indonesia, telah terdorong oleh faktor-faktor tertentu yang berasal dari dalam maupun luar Islam. Beberapa upaya yang menandai gerakan-gerakan Islam Indonesia antara lain: 1) menemukan bentuk pemahaman ajaran-ajaran Islam yang perlu untuk dirumuskan dan disodorkan sebagai alternatif terhadap system yang berlaku. 2) menerapkan ajaran Islam secara praktis-tidak hanya sebagai konsep-konsep yang abstrak. 3) meningkatkan keberagaman masyarakat. kelemahan Islam dalam politik dan peminggirannya pada masa orde baru, membuat Islam jadi frustasi. Karena tahun 1980-an, Islam sampai pada jalan yang buntu, beberapa intelektual Islam mengajukan alternative dengan media kampus. 4) melakukan purifikasi keagamaan, dalam hal ini ada dugaan Islam telah terdistorsi karena Islam dipahami dan ditafsirkan secara parsial.[5]
Kehadiran gerakan-gerakan Islam yang di tandai faktor-faktor di atas, sangat kontekstual. Karena rezim Soeharto pada waktu itu membatasi dan mengawasi gerakan-gerakan Islam yang muncul. Dengan demikian, situasi sosial-politik dan kultur yang mengelilingi masyarakat Islam di Indonesia telah mendorong lahirnya berbagai gerakan keagamaan ini. Tapi gerakan-gerakan Islam ini baru bisa muncul pasca revolusi 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto lengser. Pada masa orde baru gerakan-gerakan radikalisme Islam nyaris tidak tampak sedikitpun. Disebabkan karena otoritarianisme orde baru yang menerapkan sistem pemerintahan tunggal. Sistem yang bertumpu pada UUD dan Pancasila. Sehingga kelompok-kelompok yang menginginkan adanya penerapan syari’at Islam dalam sistem pemerintahan segera dibungkam dan disingkirkan. Tindakan-tindakan yang menggoyang stabilitas nasional dihempas.
Dengan berakhirnya pemerintahan orde baru, pintu demokrasi terbuka lebar. Gerakan-gerakan yang berbasis Islam sebagai ideologi, pada masa orde baru mulai bermunculan, dengan mendirikan partai politik, LSM, majlis ta’lim, dll, dan menjual ide ke wilayah publik bahkan berani mensosialisasikan konsep khilafah sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Seperti yang terjadi pada organisasi Islam, HTI. Gerakan-gerakan radikal di Indonesia ini semakin bertambah banyak dan meluas karena juga pengikut-pengikutnya kian bertambah. Tapi gerakan-gerakan ini berbeda-beda dalam sistematisasi organisasi ataupun tujuannya. Gerakan-gerakan di Indonesia yang sudah dicap radikal dengan segala sepak terjang militansinya antara lain FPI (Front Pemebela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS).
Demikian halnya dengan keadaan sosial politik yang dialami muslim fundamentalis Mesir sebelum Jamaat Jihad didirikan. Pada bulan September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Lalu aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Dan dalam penjara mereka mendirikan Jamaah Jihad. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 1981, kelompok yang berpegangan pada buku radikal “Al-Faridzah Al-Ghaibah” karya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat terlihat bahwa gerakan radikalisme secara sosiologis, timbul karena tertindas atau tertekan.
Dengan basis ideologi Islam, gerakan-gerakan radikal Islam ini tidak melulu ingin menerapkan syari’at Islam dalam sistem pemerintahan, tetapi juga ada yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, disamping ingin menegakkan berdirinya kekhilafahan Islam, sebagaimana yang diteriakkan oleh HTI. Dalam sejarah, Gerakan “Darul Islam” yang diperkenalkan oleh Kartosuwiryo adalah contoh klasik yang memasukkan Islam untuk mendorong berdirinya negara Islam. Walaupun mempunyai sistem perjuangan yang berbeda-beda, umumnya gerakan-gerakan ini memiliki persamaan dalam satu hal, yaitu menghendaki penerapan syari’at (hukum) Islam di bumi Nusantara.[6] Disamping itu, gerakan-gerakan ini juga memiliki latar belakang berbeda sebagai sebab kemunculannya.
Dari konteks sosial, MMI misalanya,lahir sebagai respon dari kondisi ekonomi dan politik yang makin tak berdaya menghadapi tekanan kekuatan asing (khususnya AS). FPI muncul sebagai reaksi atas maraknya kemaksiatan dan premanisme yang makin tak terjangkau oleh hukum. Akibat ketidakmampuan pemerintah mengatasi konflik di tingkat lokal, Laskar Jihad (LJ) muncul berusaha menghentikan persoalan-persoalan dari konflik tersebut. Kedua terakhir ini, dapat dikategorikan radikal bukan hanya mereka mempertahankan negeri dari gangguan imperalis asing, tetapi juga karena mereka mempunyai agenda politik untuk menegakkan norma-norma Islam.
Sedangkan munculnya HTI, lebih merupakan reaksi dari ketidakadilan tata hubungan antar bangsa yang makin didominasi Barat. Gerakan ini terinspirasi gerakan international dengan nama serupa. Meskipun demikian, HTI lebih cerdik dan praktis dalam mensosialisasikan ide-ide mereka melalui media elektronik. Seperti internet atau media publikasi lainnya. Mereka juga sering mencurahkan ide-idenya dalam sebuah diskusi ataupun pengajian.
Ekstrimitas yang diperlihatkan oleh gerakan-gerakan radikal Islam tersebut, membawa kecenderungan umum dari masyarkat untuk mengait-ngaitkan mereka dengan jaringan radikalisme Islam di luar negeri. MMI misalnya, majelis yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir ini diduga memiliki hubungan dengan Jama’ah Islamiah yang juga dianggap sebagai gerakan teroris Asia tenggara. Selain itu, asumsi-asumsi akibat gerakan-gerakan itu bergeser pada lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren. Pesantren diduga melahirkan pemikir-pemikir ekstrim dan radikal yang berpegang teguh pada agamanya.
Pemikiran dan Tindakan Radikalisme Islam
Untuk memahami radikalisme di kalangan Islam ini, perlu dilihat dan ditelah peran agama dan keterikatan pemeluk agama tersebut. Dalam tataran teoritis, sebuah agama tentunya ada konsep yang menjadi nilai penting bagi setiap pemeluknya yaitu fanatisme dan toleransi. Kedua konsep tersebut harus terpraktekkan secara proporsional oleh para pemeluknya. Kalau tidak maka kemungkinan besar akan menjadikan ketidaksetabilan dalam tatanan masyarakat antar para pemeluk agama. Ketika salah satu konsep ditekankan, artinya salah satu lebih besar dalam realisasinya, misalnya sikap fanatismenya terlalu kuat dan toleransinya lemah. Hal itu akan memunculkan sikap permusuhan terahadap agama lain. karena memandang bahwa agamanya lah yang paling benar.
Tetapi jika sebaliknya, yakni toleransi lebih kuat dari pada fanatisme, maka rasa bangga terhadap agama tidak ada. dengan demikian, agam tidak lebih hanya sebuah ritual belaka yang tidak punya makna apa-apa. Karena agama bersangkutan sama derajatnya dengan agama-agama lainnya. Oleh Karena itu keseimbangan dalam mempraktekkan dua konsep tersebut sangat diperlukan. Dilihat dari berbagai sisi, faktor-faktor penyebab radikalisme Islam di Indonesia cukup beragam. Dari sisi idiologisnya, yakni faktor ajaran dan normanya, gerakan ini percaya bahwa alqur’an dan sunnah adalah kebenaran yang absolut. Pikiran intinya adalah Hakimiyyat Allâh. Yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariat-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya.[7] Kebenaran absolut yang diajarkan agama ini dapat mendorong para pemeluknya untuk cenderung menafikkan agama lain.
Landasan berpikir pikiran tadi berupa kalimat tauhid lâ ilâha illa Allâh. Yang berarti; tiada tuhan selain Allah, dan tiada otoritas dan syari’at kecuali syariat dan otoritas Allah. Sehingga, ia berimplikasi epistemologis pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah, dan berimplikasi epistemologis pada pemberian label musyrik, kafir, fasik dan zalim bagi siapa saja yang tak menegasi selain Allah dan syariat-Nya. Al Qur’an dan sunnah sebagai landasannya, memunculkan berbagai interprestasi. Tergantung bagaimana individu dengan basis pengetahuannya. Dari interpretasi itu muncul suatu yang diidealkan berkaitan dengan kehidupan masyarakat Islam.
Dari gambaran ideal itu, muncul doktrin-doktrin seperti bagaimana membentuk dan mengatur masyarakat berdasarkan hukum illahi. Dari sini para pemeluk agama dituntut untuk menjalankan norma-norma dalam al-Qur’an secara maksimal. Dalam situasi tertentu, tuntutan ajaran seperti ini memunculkan sikap-sikap radikal yang bahkan dengan kekerasan karena hal itu berkaitan baik dengan upaya keras melaksanakan ajaran agama atau meluruskannya ketika agama dianggap telah disimpangkan. Dengan kata lain, konsep-konsep al Qur’an telah membentuk suatu yang menuntut semua muslim untuk membangun tatanan sosial politik mereka sesuai dengan moralitas dan etika al Qur’an. Dalam sejarah Indonesia, sikap ini diperlihatkan oleh penolakan umat Islam terhadap kehadiran Belanda menciptakan suatu tatanan masyarakat jauh dari ideal.
Dari kelanjutan penafsiran terhadap Islam, diasumsikan ada beberapa sikap umum yang muncul. Karena memang bersifat umum maka pemahaman yang muncul cukup berpariasi. Khususnya dalam memahami tiga isu yang menjadi pandangan kalangan Islam fundamentalisme yaitu implementasi syari’at Islam, bentuk Negara Islam Indonesia dan Khilafah Islamiyah. Kalau pemahaman sebagai hasil interprestasi bervariasi maka sikap untuk menindaklanjuti berbeda-beda bahkan diantara para fundamentalis sendiri. Perbedaan tindak lanjut dari pemahaman ketiga isu tersebut ada yang hanya sebatas wacana (radikal dalam pemikiran) dan sikap yang diikuti oleh tindakan dalam tataran aksi (radikal dalam tindakan).
Melihat pemikiran dan tindakan fundamentalisme ini, maka yang perlu diberikan padanya adalah formalisasi syari’at Islam melalui keputusan politik formal. Ini sangat penting, karena landasan hukum yang kuat sangat dibutuhkan. Tapi pemerintah dapat mendukung masalah-masalah syari’at hanya pada persoalan ibadah, muamalah dan munakahah. Aspek lainnya, yaitu jinayah belum terwujudkan. Karena masalah jinayah (pidana) akan melibatkan negara, sehingga pemutusan untuk merealisirnya harus melalui formal pemerintahan. Kembali pada fundamentalis, dalam pandangan mereka penerapan syari’ah harus diwujudkan secara kaffah (menyeluruh) agar sistem dapat berjalan secara sempurna.
Tetapi banyak kalangan Islam moderat yang diam-diam tidak setuju dengan konsep syari’at mereka. Karena kebanyakan melihat bagaimana penerapan jinayah yang di dalamnya terdapat hukum qishah. sudah jelas bahwa penerapan hukum Islam tidak disetujui mayoritas Islam Indonesia. Walau bagaimanapun sebagai umat Islam yang berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah, kalangan fundamentalis Islam tetap meyuarakan apa yang diyakini mereka dengan tetap pada koridor yang sah. Dan sebagai umat Islam yang tidak termasuk golongan radikalisme Islam, sebaiknya tetap menghormati dan memberi apresiasi terhadap apa yang diperjuangkan mereka. Karena walaupun begitu, mereka (fundamentalis radikal) bermaksud menawarkan alternative yang terbaik terhadap kondisi sosial-politik yang tak kunjung damai.
KESIMPULAN
Dalam pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa Fenomena munculnya radikalisme muslim di Indonesia dikarenakan banyak sebab, salah satunya di pemerintahan orde baru banyak terjadi kemerosotan di bidang ekonomi, sosial, moral dan budaya ditandai maraknya KKN dan banyaknya pelanggaran HAM, dalam menjalankan roda pemerintahannya sehingga banyak kekecewaaan yang dialami rakyat Indonesia yang berujung terjadi peristiwa reformasi di Negeri ini.
Radikalisme Islam di Indonesia juga telah terdorong oleh faktor-faktor tertentu yang berasal dari dalam maupun luar Islam. Beberapa upaya yang menandai gerakan-gerakan Islam Indonesia antara lain: 1) menemukan bentuk pemahaman ajaran-ajaran Islam yang perlu untuk dirumuskan dan disodorkan sebagai alternatif terhadap system yang berlaku. 2) menerapkan ajaran Islam secara praktis-tidak hanya sebagai konsep-konsep yang abstrak. 3) meningkatkan keberagaman masyarakat. kelemahan Islam dalam politik dan peminggirannya pada masa orde baru, membuat Islam jadi frustasi. Karena tahun 1980-an, Islam sampai pada jalan yang buntu, beberapa intelektual Islam mengajukan alternative dengan media kampus. 4) melakukan purifikasi keagamaan, dalam hal ini ada dugaan Islam telah terdistorsi karena Islam dipahami dan ditafsirkan secara parsial.
DAFTAR PUSTAKA
Afadlal dkk. 2005 “Islam dan Radikalisme di Indonesia”. LIPI, Jakarta
Sayyid Quthub, 1992. Ma‘âlim fî al-Tharîq, Dâr Syurûq, Cairo
M.Said al-‘Asymâwî, 1978. Al-Islâm al-Siyâsî, Sina li Nasyr , Cairo.
M.‘Âbid al-Jâbirî, 1990. Dlarûrah al-Bahts ‘an Niqath al-Iltiqâ li Muwâjahah al-Mashîr al-Musytarak, dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar aL-Masyriq wa al-Maghrib Sina li Nasyr, Beirut.
[1] Afadlal dkk., Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta : LIPI Press 2005) hal. V.
[2] M.‘Âbid al-Jâbirî, "Dlarûrah al-Bahts ‘an Niqath al-Iltiqâ li Muwâjahah al-Mashîr al-Musytarak", dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar aL-Masyriq wa al-Maghrib, (Beirut: Muassasah Al-Arabiyyah, 1990), h. 32-34.
[3] Hassan Hanafi, Al-Ushûliyyah wa al-‘Ashr, dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar AL-Masyriq wa al-Maghrib, h. 23.
[4] M.Said al-‘Asymâwî, Al-Islâm al-Siyâsî, (Cairo: Sina li Nasyr,1987) h.129.
[5] Afadlal dkk. “Islam dan Radikalisme , …, hal. v
[6] Ibid. hal. 113.
[7] Sayyid Quthub, Ma‘âlim fî al-Tharîq, (Cairo: Dâr Syurûq, 1992), h.10-11dan 67.
No comments:
Post a Comment