Lahirnya UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau yang lebih dikenal dengan UU Sisdiknas memberikan angin segar tidak hanya kepada mereka yang terlibat di dunia pendidikan tetapi juga memberikan ekspektasi besar terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Suatu hal lumrah paska lahirnya suatu undang-undang memunculkan paradoks di tengah masyarakat; pro atau kontra; puas atau tidak puas terhadap isi atau redaksinya. Proses panjang lahirnya sebuah undang-undang tidak serta merta menjadikannya sebagai suatu produk yang “sempurna” jadi dan diperlukan adanya interaksi yang dinamis.
Apabila interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau Das Sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan atau Das Sein terus berlangsung, maka penegakan hukum diharapkan dapat mencerminkan wujud keadilan atau kesejahteraan yang dicita-citakan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukan suatu politik penegakan hukum sebagai upaya-upaya untuk melakukan perencanaan pembentukan peraturan hukum (legal planning), pengkordinasian (coordinating), penilaian (evaluating), dan pengawasan (controlling) dan pemantauan (monitoring) yang terukur terhadap kualitas produk hukum, yang notabene terbuka bagi masyarakat untuk terlibat.
Di semua level tersebut, partisipasi masyarakat sangat penting karena mencerminkan sebuah relasi konstruktip antara pemerintah dan masyarakat. Posisi masyarakat bukan hanya sebagai objek pembangun, namun juga sebagai subjek dari sebuah perkembangan. Di era sekarang ini, fenomena gugatan terhadap suatu undang-undang adalah cerminan positip dari sebuah proses pembelajaran menuju demokrasi seutuhnya di negara yang dianggap negara ke-3 terbesar yang mempraktikkan demokrasi.
Sejak amademen UUD 1945 dilakukan, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan institusi Negara yang memberikan kontribusi positif pada lahirnya sistem penegakan hukum yang berwibawa dan berkeadilan. Kehadiran MK dengan jelas membuka ruang uji materiel atas suatu peraturan perundang- undangan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan tidak memenuhi harapan masyarakat. Pembatalan suatu peraturan perundang-undangan oleh MK adalah wujud perlindungan akan hak hak konstitusional warga negara untuk diperjuangkan agar kesepakatan putusan politik DPR dan pemerintah yang tidak aspiratif dapat diubah menjadi lebih berpihak pada harapan masyarakat.
Uji materi yang diajukan perwakilan sekolah swasta terhadap Pasal 55 Ayat (4) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 dipenuhi Mahkamah Konstitusi dalam sidang terbuka di Jakarta beberapa waktu lalu merupakan satu contoh kecil dari puluhan kasus lain yang telah diputuskan MK.
Putusan MK ini menyikapi gugatan dari saudara Machmudi Masjkur (Perguruan Salafiyah Pekalongan) dan Suster Maria Bernardine (Perguruan Santa Maria Pekalongan) terhadap Pasal 55 Ayat (4) UU Sisdiknas Tahun 2003. Mereka memandang selama ini kata “dapat” dalam pasal tersebut dimaknai Pemerintah pusat dan daerah sebagai bisa memperoleh bantuan atau bisa tidak memperoleh bantuan. Sehingga yang terjadi di lapangan seolah-olah Pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap sekolah swasta. Terbukti banyak sekolah swasta yang merasa dianaktirikan. Mereka merasa sekolah negeri lebih diperhatikan layaknya anak emas. Terutama dalam hal pengalokasian dana bantuan maupun sumber daya pendukung lainnya.
Namun kini sekolah-sekolah swasta boleh merasa lega dan bergembira. Sebab dalam keputusan sidang terbuka September lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan supaya kata “dapat” dalam Pasal 55 Ayat (4) Sisdiknas Tahun 2003 diganti dengan kata “wajib.” Itu artinya Pemerintah wajib membantu sekolah-sekolah swasta, terlebih pada jenjang pendidikan dasar. Hal ini tidak bisa dipungkiri lagi demi terwujudnya pemerataan mutu pendidikan yang berkeadilan. Sehingga diharapkan tidak ada lagi sekolah swasta yang merasa dianaktirikan dan tidak diperhatikan oleh Pemerintah.
Perlu dipahami bersama bahwasanya Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengikat Pemerintah pusat maupun daerah. Artinya masing-masing daerah turut wajib melaksanakan keputusan MK tersebut. Apalagi selama ini daerah memiliki anggaran pendidikan yang bersumber dari APBN dan APBD. Dalam pengalokasian anggaran tersebut sebaiknya harus proporsional dan berkeadilan antara sekolah swasta dan sekolah negeri.
Putusan MK tersebut harus diartikan sebagai sebuah sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dan jangan dijadikan sebagai oposisi biner di antara keduanya. Inilah adalah satu contoh baik dari suatu relasi seimbang (balance) antara pemerintah dan masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan bersama masyarakat, terutama melalui institusi sosial seperti institusi pendidikan yang dikelola masyarakat dalam ranah hukum. Semoga semakin banyak bentuk relasi serupa di setiap ranah kehidupan kita karena esensi hukum memiliki fungsi: “menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.”
oleh Dontknowathing Aboutme pada 14 Oktober 2011 jam 13:06
No comments:
Post a Comment