PEMIKIRAN TASAWUF ABD. SHOMAD AL-PALIMBANI DAN MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI
Kajian Tasawuf Nusantara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian dari kaum muslim Indonesia, hal itu terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam dan melalui berbagai kelompok tarekat yang berpengaruh di masyarakat.
Mula-mula Islam datang di pelabuhan, diperkenalkan, disebarkan, dikembangkan, dimantapkan dan diperbaharui. Kedatangannya tentu melalui jaringan perhubungan yang berlanjut timbal balik dari generasi ke generasi. Dari sinilah jaringan tasawuf mulai meranah di Indonesia, kemudian berkembang dan menjadi bagian dari kehidupan banyak masyarakat yang ada di Indonesia.
Sumatra Selatan, merupakan salah satu wilayah Indonesia yang mempunyai kebudayaan dan peradaban yang baik, Islam sudah datang di Sumatra Selatan sejak kerajaan Sriwijaya, tetapi menjadi berkembang dengan pesat menjelang akhir keruntuhan Kerajaan Sriwijaya. Pada abad ke-14 kerajaan Palembang menjadi kubu Islam dan menjadi kuat pada Abad ke-17 Masehi. Sultan Palembang mendorong tumbuhnya pengetahuan keislaman, hal itu dibuktikan dengan banyaknya ulama arab terutama yang berasal dari Hadramaut di Istananya, salah satunya adalah ayah Abd. Shomad.
Hubungan orang Islam di daerah pantai kalimantan selatan dengan orang Islam di pesisir Jawa Timur terutama Gresik, Tuban dan Surabaya merupakan proses yang mempercepat berkembangnya Islam di Kalimatan selatan, hal itu juga yang menjadi dalang berdirinya Islam di Banjarmasin, yaitu pada abad XVI M. dibawah pimpinan Sultan Suriansyah, dengan berdirinya kerajaan Banjar ini, maka penyebaran Islam semakin lancar.
Membahas Sumatra dan Banjarmasin, tidak lepas dari peran dua tokoh yang sangat berpengaruh dan mempunyai andil besar dalam penyebaran dan perkembangan Islam dan Tasawuf di Indonesia. Dialah Abd. Shomad al-Palimbani dan Muhammad Nafis al-Banjari.
A. Abd. Shomad al-Palimbani
Nama lengkapnya Sayyid Abd. al-Shomad bin Abd. al-Rahman al-Jawi al-Palimbani, tidak ada yang mengetahui secara pasti tanggal dan bulan kelahiran beliau, namun kebanyakan dari sumber yang ada beliau lahir sekitar tahun 1704 M di Palembang. Ayahnya bernama Abd. al-Jalil bin Syaikh Abd. Wahab bin Syaikh Ahmad al-Madani, adalah seorang sayyid, Ibunya saudara wanita bernama Radin Ranti, yang merupakan saudara perempuan Sultan Mahmud dari Kerajaan Palembang. Ayah al-Palimbani dikatakan berasal dari San’a Yaman, beliau mengadakan perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di Kedah Semenanjung Melayu, dan kemudian pergi ke Palembang, menikahi saudara perempuan sultan Mahmud yang bernama Radin Ranti dan melahirkan Abd. Shomad. Kemudian kembali ke Kedah bersama putranya karena beliau diangkat menjadi qadhi di kerajaan Kedah[1].
Mula-mula al-Palimbani mendapat pendidikan pertamanya di Kedah dan Patani, kemudian beliau Oleh ayahnya dikirim ke Arab untuk belajar. Makkah dan Madinah merupakan dua tempat dimana al-Palimbani banyak memetik pelajaran-pelajaran dari berbagai guru yang ia temui, diantaranya Syaikh Muhammad al-Samman. Menurut Ysuf Khalidi, sebagaimana dikutip oleh Chotib Quzwain, bahwa al-Palimbani menuntut ilmu di Makkah bersama-sama dengan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abd. Wahab Bugis dari Sulawesi Selatan dan Abd. Rahman Masri dari Jakarta. Mereke menjadi “empat serangkai” yang sama-sama belajar tarekat di Madinah kepada Syaikh Muhammad al-Samman. Al-Palimbani sudah mempelajari tasawuf sebelum belajar ke Makkah melalui kitab tasawuf para sufi yang berasal dari Aceh, sehingga dalam sair al-Salikin-nya ia menyebut beberapa kitab karangan Syamsudidn al-Sumatrani dan Abd Rauf al-Jawi al-Fansuri (dari Sinkil). mungkin karena itu beliau merasa tidak puas hanya belajar Tasawuf di Masjid Al-Haram saja. Ia lalu berguru ke luar, kepada Syaikh Muhammad Samman[2].
Syaikh Muhammad Samman, selain mendiktekan kepada al-Palimbani mengenai Tauhid Af’al, Tauhid Shifat, tauhid Dzat beliau juga menganjurkan kepada al-Palimbani untuk mempelajari kitab Al-Tuhfah al-Mursalah karya Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri, dari anjuran inilah al-Palimbani cukup memahami pemikiran al-Martabah al-Sab’ah, namun hal ini tidak bisa dikatakan sebagai keterpengaruhan beliau terhadap paham martabat tujuh tersebut, justru kalau kita lihat beliau tidak setuju dengan paham wujudiyyah yang mempunyai konotasi dengan martabbat Tujuh.
AL- MARTABAH AL-SAB’AH
Harus diakui, memang konsep martabah tujuh juga pernah dikutip oleh al-Palimbani dalam kitabnya sir al-Salikin, menurut al-Palimbani wujud Allah dapat dikenal dengan tujuh martabat sebagai berikut[3] :
1. Martabat yang pertama Ahadiyatul ahadiyah, atau an la Ta’ayyun atau dzatul-baht. Yaitu ibarat dar pada keadaan semata-mata wujud Dzat (Esensi) Allah Swt. Yang Maha Esa, yakni memandang dengan hatinya akan semata-mata wujud Dzat dengan tiada iktibar sifat-Nya dan asma-Nya.
2. Martbat yang kedua al-Wahidah dan dinamakan pula martabat al-ta’ayyun al-awwal dan haqiqah al-muhammadiyyah, yaitu ibarat dari ilmu Allah Ta’ala dengan wujud zat-Nya dan segala sifat-Nya dan segala maujud atas jalan perhimpunan dengan tiada beda setengahnya dengan setengahnya.
3. Martabat yang ketiga al-wahidiyyah atau haqiqah al-insaniyyah, yaitu ibarat dari ilmu Allah mengenai zat dan segala sifat-sifat-Nya dengan segala makhluk atas jalan perceraiannya setengahnya dari setengahnya. Martabat ini dikenal juga ta’ayyun tsani dalam rupa hakikat insan, yakni ilmu Tuhan mengenai diri-Nya serta alam semesta ini secara terperinci.
4. Martabat yang keempat alam arwah dan dinamakan pula nur Muhammad SAW yaitu ibarat dari pada keadaan suatu yang halus yang semata-mata dan belum menerima susun dan belum berbeda setengahnya. Alam arwah adalah nur Muhammad yang dijadikan oleh Allah dari nur-Nya, roh tunggal yang merupakan asal dari roh segala makhluk hidup, baik manusia maupun yang lainnya.
5. Martabat yang kelima alam al-mitsal. yaitu ibarat keadaan sesuatu yang halus yang tidak dapat diceraikan setengahnya dari setengahnya dan tidak menerima pesuk dan tambal. Martabat ini merupakan diferensiasi dari nur Muhammad dalam bentuk roh perseorangan, seperti laut menghadirkan dirinya dalam bentuk ombak.
6. Martabat yang keenam alam al-ajsam, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang tersusun dari empat unsur, yaitu api, angin, tanah, dan air yang menerima susun dan bercerai setengah daripada setengahnya yang membentuk batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan, semua hewan, manusia, dan jin.
7. Martabat yang ke tujuh jami’ah yaitu martabat yang menghimpunkan sekalian martabat yang terdahulu dan dinamakan juga martabat al-ta’ayyun al-akhir atau martabat al-tajalli al-akhir, yaitu kenyataan Allah Ta’ala yang kemudian sekali.
PEMIKIRANNYA.
Akhir abad ke 18 Masehi al-Palimbani kembali ke tanah kelahirannya, beliau membawa warna baru, yaitu metode mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu dengan jalan Tasawuf. Melalui tharikat. Corak Tasawuf Al-Palimbani adalah “menggabungkan unsur-unsur ajaran al-Ghazali dan Ibn ‘Arobi yang telah diolah dan disajikan dalam suatu sistem ajaran tasawuf sendiri” beliau menganut fahan Ibn ‘Arobi yang memandang manusia yang potensial sebagai manifestasi Allah yang sempurna, tetapi beliau manafsirkan dengan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi salah memahami hal tersebut.
Selanjutnya, al-Palimbani percaya bahwa Tuhan itu dapat didekati melalui keyakinan yang benar pada keesaan Tuhan yang Mutlak, meskipun disisi lain beliau juga menerima pendapat tertentu dari Ibn ‘Arobi dan Al-Jilli terutama menyangkut diktrin Insan Kamil. Al-Palimbani menafsirkan hal itu dipandang dari sudut ajaran al-Ghazali, menekankan dalam ajaran tasawufnya lebih banyak pada penyucian pikiran dan perilaku moral dari pada pencarian mistisisme spekulatif dan filosofis. Dari inilah ajaran tasawuf al-Palimbani bisa dikatakan dengan tasawuf akhlaqi atau tasawuf amali.
Al-Palimbani tidak puas akan pendapat al-Ghazali tentang tiga tingkatan jiwa (ammarah, lawwamah, dan berakhir dengan muthmainnah). Beliau memilih tujuh tingkatan jiwa manusia yaitu : Ammarah, Lawwamah, Mulhammah, Muthmainnah, Radliyah, Mardliyah dan berakhir dengan Kamilah. Yaitu mengarungi dan menggumuli kehidupan dunia untu menuju ke Jalan Allah.
Tidak hanya di bidang keagamaan yang menjadi kajian al-Palimbani, perkembangan politik kolonial barat yang melanda negara-negara Islam juga menggugah pikiran al-Palimbani, malalui jamaah Haji Jawa beliau mendengar bahwa kerajaan Mataram yang besar telah diciutkan dan akhirnya dibelah dua menjadi kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, bagi al-Palimbani Mataram adalah lambang perjuangan Islam, walaupun Sultan Agung sudah meninggal lebih dari satu abad lamanya, agaknya ia tetap mengharapkan akan ada pahlawan yang menggantikan Sultan Agung. Untuk hal itu beliau mengirimkan surat kepada Sultan Mataram dan Pangeran Singasari, namun dua buah surat tersebut jatuh ke tangan belanda. Dalam surat tersebut al-Palimbani merekomendasikan dua jamaah haji dari jawa yaitu Haji Basarin dan Haji Mukamat Idris agar mendapat kedudukan yang baik, di dalam surat tersebut beliau mengutip beberapa ayat al-Quran (surah al-Baqarah : 154, 269 dan Surat Ali-Imran : 169), dengan adanya surat ini M.C. Ricklefs menganggapnya sebagai bukti adanya campur tangan dunia Islam untuk mengobarkan Perang Suci di Jawa. Mengenai “perang suci atau Perang Sabil” merupakan spesialisasi al-Palimbani, menurut al-Palimbani inilah salah satu cara untuk menyelamatkan negara dari bahaya kolonial yang mencengkram[4].
Al-Palimbani sangat ahli mengenai tasawuf al-Ghazali dan secara tepat bisa dianggap sebagai penerjemah paling menonjol karya-karya al-Ghazali. Maha karya al-Palimbani, Sayr al-Salikin dan Hidayah al-Salikin dikaitkan erat dengan karya al-Ghazali Lubab Ihya ‘Ulum al-Din dan Bidayah al-Hidayah.
Al-Palimbani mengatakan bahwa ajaran wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi pada hakikatnya sama dengan intisari ma’rifah yang merupakan tujuan akhir dari tasawuf al-Ghazali.
Alam semesta yang merupakan penampakkan lahir (tajalli) Allah, bisa juga dikenal sebagai Esensi Mutlak yang berada di balik dan di atas segala sesuatu melalui pandangan batin—yang menurut al-Ghazali—adalah puncak ma’rifah kesufian tertinggi.
KARYA-KARYA ABD. SHOMAD AL-PALIMBANI
1. Zuhrat al-Murid Fi Bayan Kalimat al-Tauhid
No comments:
Post a Comment