Takdir berasal dari
bahasa Arab “Qadara” yang berarti
ukuran, batas atau kadar. Semua makhluk telah ditentukan takdirnya oleh Allah Swt.
dan tidak dapat melampauinya. Allah memberikan tuntunan dan petunjuk arah yang
seharusnya manusia tuju. Sebagaimana tersurat dalam (QS. Al A’la: 1-5, Yasin: 38-39,
Al Furqon: 2, Al Hijr: 21, Ath Thalaq :3). Namun ada perbedaan mendasar antara
takdir manusia dan takdir alam, (QS. Fushsilat: 11). Apa yang membedakannya?,
yang membedakannya manusia dianugrahi akal untuk berpikir sehingga bisa memilih
takdir baik dan buruk.
Manusia diberikan
kebebasan untuk memilih pekerjaan yang dikehendakinya. (QS. Al Kahfi: 29).
Allah menciptakan manusia dan apa yang mereka lakukan (QS. Ash Shaffat: 96). Dan
apa yang dikehendaki manusia tidak dapat terlaksana kecuali atas kehendak Allah Swt. (QS. Al Insan : 30). Ayat pertama
menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan, sementara kedua ayat berikutnya
menegaskan, bahwa Allah-lah yang mempunya keputusan. Lalu pertanyaannya, untuk
apa ada takdir ?
Takdir
termasuk rukun iman? (QS. Al Baqarah : 285, an Nisa : 136).
Di dalam surat Al Baqarah (285)
diterangkan; Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya
dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka
mengatakan: "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali".
Pada asbabun nuzul
ayat sebelumnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan lainnya dari
Abu Hurairah, berkata, “tatkala turun ayat, Dan jika kamu melahirkan apa yang
terdapat dalam dadamu atau menyembunyikannya, pastilah akan dihisab oleh Allah
(QS. Al Baqarah 284), sungguh terasa berat oleh para sahabat. Mereka datang
kepada Rasulullah, lalu bersimpuh di atas kedua lutut mereka, kata mereka “ayat
ini telah diturunkan kepada baginda, tetapi kami tidak sanggup memikulnya”,
maka Rasulullah Saw bertanya, “apakah kalian hendak mengatakan seperti yang
diucapkan oleh ahli kitab yang sebelum kalian, ‘kami dengar dan kami langgar’? hendaklah
kalian ucapkan, kami dengar dan kami patuhi.
Ampunilah kami wahai
tuhan kami dan kepadamu kami akan kembali. Setelah orang itu berusaha
membacanya hingga lidah-lidah merekapun menjadi lunak karenanya, maka Allah pun
menurunkan dibelakangnya, “Rasul telah beriman.. (QS. Al Baqarah 285). Sesudah
itu, ayat tadi dinashkan oleh Allah dengan menurunkan “Allah tidak membebani
seseorang kecuali menurut kemampuannya (QS. Al Baqarah 286). Muslim dan
lain-lain meriwayatkan pula seperti di atas dari Ibnu Abbas.
Syaikh Abdur Rahman
bin Nashir as-Sa’di dalam tafsirnya As-Sa’di menuliskan, dalam ayat ini menuntun
manusia agar beriman dengan meniru rasul yang beriman kepada kitab suci
al-Qur’an yang telah diturunkanNya, beriman kepada malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya, rasul-rasulNya agar kita termasuk golongan orang-orang yang
beriman.
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mempunyai pengaruh positif dalam jiwa, salah satu
pengaruh iman dalam jiwa mereka adalah jiwa mereka menjadi bersih, berhati
suci, dan mempunyai cita-cita yang tinggi. Menurut Quraish Shihab, dari sudut
pandang study Al Qur’an, kewajiban mempercayai adanya takdir tidak secara otomatis
dinyatakan sebagai satu di antara rukun iman yang enam. Al Qur’an tidak
menggunakan istilah “rukun” untuk takdir. Bahkan tidak juga nabi Muhammad Saw.
Memang dalam sebuah hadits yang diriwayatkan banyak pakar hadits, melalui
sahabat nabi Umar bin Khathab dinyatakan bahwa, “suatu ketika datang seorang
yang berpakaian sangat putih, berambut hitam teratur, tetapi tidak nampak pada
penampilannya bahwa dia seorang pendatang, namun ‘tidak seorangpun di antara
kami yang mengenalnya’. Demikian Umar ra. Dia bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan,
dan saat kiamat serta tanda-tandanya, nabi menjawab antara lain dengan menyebut
enam perkara iman, yakni percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, hari kemudian, dan percaya tentang takdirnya
yang baik dan yang buruk.” Setelah sang penanya pergi, nabi menjelaskan bahwa :
Dia itu Jibril, datanng untuk mengajar kamu, agama kamu. Dari hadits ini banyak
ulama yang merumuskan rukun iman.
Seperti dikemukakan
di atas, Al Qur’an tidak menggunakan kata rukun, bahkan Al Qur’an tidak pernah
menyebutkan kata takdir dalam satu rangkaian ayat yang berbicara tentang kelima
perkara lain di atas. Perhatikan firman Allah surat Al Baqarah 285. (baca Quraish
Shihab, Wawasan Al Qur’an hal. 65)
Di dalam Qur’an Surat
Annisa [4] : 136 disebutkan “Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.
Kedua ayat di atas tidak menyebutkan perkara takdir, bukan berarti takdir tidak
wajib dipercayai. Yang ingin dikemukakan ialah Al Qur’an tidak menyebutkannya
sebagai rukun, tidak pula merangkainya dengan kelima perkara lain, yang disebut
dalam hadits Jibril di atas. (baca Wawasan Al Qur’an hal: 66).
Ketika kita melakukan
diskursus tentang takdir, pembahasan ini erat kaitannya (disandingkan) dengan
sunatullah. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan sunatullah?. Al Qur’an
menjelaskan dalam (QS. Al Ahzab: 38, 62.
Fathir 35, 43. Ghafir 40, 48).
Sunnatullah (Arab:سنة الله) berarti tradisi Allah, dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai Rabb yang terlaksana di
alam semesta atau dalam bahasa akademis disebut hukum alam. Secara umum,
para ulama membedakan sunnatullah dalam dua bentuk, yaitu sunnah kauniyah (hukum alam) dan sunnah ijtima’iyyah (hukum kemasyarakatan). Sunnah
kauniyah adalah hukum Allah yang berlaku
di alam semesta, sedangkan sunnah ijtima‘iyyah
adalah hukum Allah yang diberlakukan bagi manusia dalam kehidupan sosial. Kedua
sunnah ini, menurut sejumlah ulama, memiliki kesamaan karakter, yaitu
senantiasa berlaku konsisten dan tidak akan
pernah mengalami penyimpangan, berlaku bagi semua manusia, muslim maupun
non-muslim.
Nurcholish
Madjid, mendefinisikan bahwa sunnatullah adalah hukum sejarah terkait dengan
kehidupan sosial manusia yang tidak akan pernah berubah. Pendapat yang sedikit
lebih menukik dikemukakan Mahmud Syaltut. Menurutnya, sunnatullah pada hakikatnya
merupakan hukum Allah yang terkait dengan bangkit dan runtuhnya suatu bangsa.
Disamping itu, pemaknaan terhadap takdir
dan sunatullah, juga harus selaras dengan memahami Qodo. Apa yang dimaksud
dengan qodho?, mengenai qodho, Al Qur’an menjelaskan dalam (QS. Al Baqarah, 117,
Ali Imron 47, Al An’am 2, Al Is’ra 23, Maryam 35, Al Qoshosh 15, 29, Al Ahzab,
23, 36, 37, Az Zumar 42, Ghofir, 68).
Selanjutnya, takdir
bisa di tolak dengan takdir, maka dalam hadits disebutkan “khoiri wasyarrihi”, manusia dianugrahi pikiran supaya bisa memilih
takdir. Sementara qodho ketentuan Allah yang sudah pasti tidak bisa di rubah. Kemudian,
jika ajal seseorang, apakah proses kematiannya itu disebut takdir /nasib?. Mengingat
ada keterangan yang mengatakan saat masih di kandungan, umur, rezeki, jodoh
sudah ditentukan.
Ajal makhluk itu merupakan
qodho, sebagaimana diterangkan, sudah pasti setiap yang bernyawa pasti akan
mati (Ali Imran: 185). Di dalam usia kandungan 4 bulan, jasad sudah sempurna
dan sudah bernyawa, maka otomatis segala hal yang berkaitan dengan makhluk
hidup sudah ditentukan secara umum.
Ketentuan Allah
secara umum di dalam ayat Quran banyak dijelaskan
tentang setiap makhluk hidup pasti diberikan rezeki, jodoh, dan ajal.
Contohnya, surat Hud : 6, An Nisa :1, Al Munafiqun: 11. Itu semua disebut qodho
dan qodar, nanti manusia dianugrahi kemampuan untuk mencari rezeki, jodoh dan sampai
kepada ajal. Pertanyaannya kemudian, kenapa qodho dan qodar tidak diperlihatkan
?, supaya manusia berusaha atau berlomba, kalau sudah diperlihatkan semua,
manusia akan berlaku seenaknya.
** tulisan ini
disarikan dari diskusi forum indahnya berbagi; semoga bermanfaat bimbingan ustd
Syarohman Asymuni.