TOKOH


PRIBUMISASI ISLAM  ABDURRAHMAN WAHID
K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab di sapa dengan Gus Dur adalah salah seorang tokoh Islam yang menolak pengidentifikasian Islam dengan Arab. Sebab menurutnya Arabisasi seperti itu bukan hanya potensial menghancurkan budaya-budaya lokal, tetapi juga bisa menghilangkan identitas suatu masyarakat. Orang terpaksa mengganti identitas, bahkan Arabisasi juga mengandung semacam triumfalistik yang harus ditolak. Betapa tradisi-tradisi lokal Islam non-Arab dipandang sebagai tidak murni, sehingga harus dimurnikan dengan tradisi Arab Islam. Seakan ke-Islaman sama belaka dengan ke-Araban. Pandangan seperti ini merupakan simplikasi bahkan pembanalan terhadap Islam sendiri. Islam terperangkap hanya menjadi Islam Arab. Bagi Gus Dur jelas Islam bukan Arab walaupun Islam pertama kali lahir di Arab. Karena itulah, Gus Dur melontarkan krtik terhadap sejumlah pihak yang mengidentifikasikan Islam dengan Arab (Abdul Muqsith Ghazali).
Abdurrahman Wahid yang sering disapa Gusdur, mengajukan pembaruan pemahaman tentang Islam dengan menegaskan keharusan Islam untuk menerima pluralitas situasi-situasi lokal dan mengakomodasinya. Dalam konteks agenda-agendanya untuk mempertimbangkan situasi lokal tersebut, Gusdur menyurakan gagasan tentang; Islam sebagai komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik Indonesia., serta Pribumisasi Islami.
Pada aspek kedua (Pribumisasi Islam), konsep tersebut dipakai Gus Dur sebagai usaha untuk melakukan pemahaman terhadap nash atau ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah yang terjadi di Indonesia. Upaya ini dilakukan untuk merekonsiliasi antara budaya lokal dan agama. Titik tolak dari upaya rekonsiliasi ini adalah menuntut agar wahyu dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Dengan demikian, pribumisasi Islam yang digagas adalah bagaimana mempertimbangkan kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.
Lebih lanjut, Gus Dur  menjelaskan tentang apa yang dimaksudkan dengan Pribumisasi Islam bukanlah sebagai bentuk Jawanisasi atau sinkretisme, sebab Pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh varisasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan kaidah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistem kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan  gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membentuk Panteisme (Syafi'I Ma'arif, 160, 1995).
Kemudian yang hendak dituju dari gagasan ini adalah bagaimana mengadaptasikan konsep-konsep ajaran universal Islam dengan nilai kebudayaan lokal yang tumbuh dalam masyarakat. Pengambilan-pengambilan keputusan hukum dalam Islam harus selalu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan konteks lokal masyarakat yang ada. Dengan perkataan lain, wahyu harus selalu dipahami dalam kerangka yang kontekstual.
Gagasan Gus Dur ini paralel dengan pernyataan Hasan Hanafi “al wahyulaysa kharij al-zaman tsabitan la yataghayyaru, bal dakhilal-zaman yatathawwaru bi tathawwurihi” (wahyu bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang kokoh tak berubah, melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan).
Bisa diduga gagasan-gagasan seperti ini terinspirasi dari sejumlah penjelasan di dalam kitab kuning. Kaidah fikih misalnya menyatakan bahwa apa yang terdapat dalam tradisi tidak kalah maknanya dengan apa yang dikemukakan oleh teks agama (al-tsabit bi al-urf ka al-tsabit bi al-nash). Dengan penjelasan fiqhiyah ini, di kalangan para kiyai yang mendalami kitab kuning, gagasan pribumisasi Islam tak mendapatkan perlawanan yang berarti.
Wajah lain dari Islam Liberal sebagaimana disebut oleh Greg Barton ialah pemikiran Gus Dur. Yang diangkat tokoh puncak NU ini bukanlah Islamisasi tapi justru sebaliknya, sekularisasi atau pribumisasi. Abdurrahman Wahid memang jarang menggunakan sebutan sekularisasi untuk pemikiran dan gagasannya tentang Islam di Indonesia. Mungkin sebutan ini terlalu sensitif bagi umat Islam saat itu, sebagai penggantinya ia menggunakan sebutan pribumisasi, reaktualisasi, diferensiasi wewenang antara agama dan Negara dan Islam sebagai faktor komplementer dari kebangsaan. Titik tekan dari bangunan berpikir Gus Dur adalah pengintegrasian perjuangan Islam ke dalam perjuangan nasional dengan meletakkan perjuangan Islam itu sendiri pada konteks demokratisasi jangka panjang (A. Baso, 281. 2006).
Menurutnya, Islam harus ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, apapun bentuk masyarakat yang digunakan, masyarakat Islam atau bukan. Pada kesempatan lain, Gus-Dur mengungkapkan universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam yang disebutnya menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan seperti keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Argumen yang dikemukakan Abdurrahman Wahid berasal dari al-Kulliyat al-Kahms yang dikenal di lingkungan mazhab Syafi’i. Yaitu perlindungan keagamaan, perlindungan jiwa, perlindungan terhadap harta benda, perlindungan terhadap akal, serta jaminan reproduksi dan berkeluarga. Pada poin ini, universalisme pandangan hidup Islam terletak pada pandangan keadilan sosialnya.
Sejak awal, Ia menjadikan Islam sebagai alternatif. Konsekwensinya segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitasnya. Ini yang disebutnya sebagai Pribumisasi Islam, yaitu mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Sebagaimana halnya ideology Islamisasi bergerak pada level bahasa, kultur, politik. Ideology Pribumisasi pun bergerak pada level tersebut. Pada level bahasa, ia tidak setuju dengan pergantian sejumah kosakata dalam bahasa kita dengan bahasa Arab, seperti ulang tahun diganti dengan milad, selamat pagi diganti dengan assalamu'alaikum, teman atau sahabat diganti dengan ikhwan, sembahyang diganti dengan salat. Proses yang terakhir ini disebutnya Islamisasi dan Arabisasi. Budaya atau formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan budaya yakni menjadikan Islam sebagai tolok ukur ideal untuk  menilai manifestasi budaya pada umumnya. Singkatnya dalam logika Islamisai ini, Islam ditampilkan sebagai budaya ideal yang terlepas dari akar budaya lokal. Sebagai alternatifnya, Gus Dur  mengajukan gagasan keterbukaan antar budaya yang merupakan cabang  dari tema besar Pribumisasi Islamnya (A. Baso, 284. 2006).
 Contoh lain  yang  di angkat Gus Dur ialah masjid Demak yang awalnya memiliki ranggon atau atap yang terdiri dari sembilan susun. Susunan Sembilan ini diambil dari konsep meru yang berasal dari masa pra Islam (Hindu-Budha). Lalu dipotong oleh Sunan Kalijaga menjadi tiga susun sebagai perlambang tentang tiga tahap keberagamaan seorang Muslim,(Islam, Iman, Ihsan). Pada tahap berikutnya, datanglah proses Arabisasi yang mengambil bentuk gaya masjid Timur Tengah lengkap dengan kubah dan segala ornamennya. Sementara dalam seni drama, seni rupa, sastra, seni musik dan tari, Islam terserap dalam budaya lokal dalam berbagai bentuk seudati, jippin, rebana dan hikayat-hikayat. Singkatnya ia berupaya mengurangi ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya, dan tidak mencari sisi yang Islami dalam kultur lokal Pancasila.
Selanjutnya kita akan melihat bagaimana Gus Dur menyikapi persoalan hubungan antara Islam dan Pancasila. Apakah ia menolak Islamisasi Pancasila seperti yang dilakukan oleh Cak Nur terhadap ideology Negara tersebut?. Harus diakui persoalan hubungan antara Islam dan Pancasila muncul secara massif di lingkungan organisasi NU ketika rezim Soeharto di awal tahun 1980-an memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal segenap ormas dan parpol. Persoalan kian tambah rumit dan serius ketika NU mengalami konflik dalam tubuh PPP di masa itu. hingga muncul desakan agar NU keluar dari PPP, mundur dari gelanggang politik serta mengkonsentrasikan dirinya sebagai organisasi agama dan kemasyarakatan. Dari sinilah muncul ide kembali pada Khittah NU 1926. Apakah pemikiran Gus Dur tentang hubungan agama dan Negara termasuk agama dan Pancasila, muncul dari latar belakang persoalan politik pelik tersebut? bisa jadi. Tapi, apa yang kini dikenal sebagai pendekatan kultural dalam pemikiran Gusdur sebenarnya telah memiliki akarnya jauh sebelum ia melontarkan ide kebangsaan dan NU kembali ke Khittah yang kemudian digolkan dalam Muktamar Situbondo pada tahun 1984.
Dalam satu tulisannya pada tahun 1980, Gus-Dur telah berbicara tentang perlunya Islam tampil sebagai apa yang disebutnya sebagai perlawanan kultural yang diletakkan dalam kerangka lebih luas dari apa yang dimilikinya saat ini. Islam tidak lagi cukup menjadi ekspresi keimanan sebagai Muslim untuk menegakkan ajaran formal Islam belaka, tetapi harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat-rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan, dan kepapaan yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk yang mulia. Untuk itu dituntut dari gerakan-gerakan perlawanan kultural kaum muslimin untuk terlebih dahulu mampu hidup bersama dengan manusia-manusia dari lain agama, ideologi politik dan pandangan budaya, yang memiliki kesamaan pandangan dasar tentang hakikat tempat manusia dalam kehidupan dan cara-cara untuk mewujudkannya.
Dalam satu pengantarnya atas buku Einar Martahan Sitompul, Gus Dur telah mengemukakan argumen tentang pemisahan wewenang fungsional antara agama dan negara. Ini tentu adalah bahasa lain dari sekularisasi. Ajaran-ajaran agama berlaku melalui proses persuasi kepada masyarakat sendiri, dan bukan melalui perundangan negara. Ajaran zakat  misalnya, tidak mungkin diberlakukan melalui Undang-Undang, maka lahirnya UU zakat misalnya, yang dihasilkan oleh DPR pada periode sebelumnya akan mengandung arti bahwa ajaran agama tertentu menjadi kekuatan pemaksa melalui kekuasaan negara dan aparaturnya. Sehingga negara, dengan mengikuti logika Gus Dur lebih lanjut, bukan hanya mengambil satu pendapat dan memperlakukan pendapat itu seolah-olah sebagai yang benar, tetapi juga menjadikan agama sebagai pembenaran atas apa yang diingini negara. Agama lalu berfungsi suplementer terhadap kerangka acuan pemikiran yang dikembangakan oleh negara.
Lalu di mana kemudian peran agama dalam perkara kenegaraan politik?. Di sini Gus Dur mengarisbawahi peranan agama sebagai etika sosial,_sesuatu yang belum pernah diangkat oleh kaum pendukung Islam Politik, seperti Cak Nur, Dawam Rahardjo, maupun Kuntowidjojo.

Daftar Bacaan
Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2006.
John L. Esposito & John O. Voll. Penerjemah Sugeng Hariyanto, Sukono, Umi Rohimah, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
M. Syafii. Ma'arif,  Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: PT. Temprint, 1995.




No comments:

Post a Comment

Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...