Menggagas Madrasah Ideal*


Oleh : DR. KH. Asep Saefuddin Chalim, MA**

dokumentasi http://amanatul-ummah.org/statis-6-katasambutan.html
Pendahuluan
Tema tentang penyelengaraan sekolah yang kredibel saat ini cukup menarik dan relevan ditengah konstelasi sistem pendidikan yang kian mengglobal. Relevansi tersbut makin beralasan manakala kajian “Menggagas Madrasah Ideal” ini diletakan sebagai titik tolaknya, karena idealisme sebuah madrasah yang harus dikongkritkan pada sebuah sistem dan model pendidikan yang penuh pengharapan, sekaligus kredibel merupakan sesuatu yang mendesak diupayakan dewasa ini.

Untuk menjawab kebutuhan itu, maka mencermati demokratisasi dalam dunia pendidikan agaknya mendesak untuk dilakukan. Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan dewasa ini bukan menjadi sebatas gagasan akademik belaka, namun lebih dari itu telah menjadi sebuah keputusan politis dengan dukungan landasan legal formal dan konseptual, bahkan telah didukung oleh landasan teoritis yang memadai. Kondisi itu memungkinkan dan menjadi sebuah keniscayaan, karena praktek penyelengaraan pendidikan di Indonesia telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.

Sekolah dan madrasah pada beberapa hal dimaknai sebagai sebuah organisasi atau unit sosial yang sengaja dibentuk oleh beberapa orang dalam ikatan koordinasi untuk mencapai tujuan bersama (Carlisle, 1987: 3). Sehingga, sekolah bisa dikatakan sebagai unit sosial yang di dalamnya terdiri atas sekelompok individu yang bersatu secara sengaja meski dengan tugas yang berebeda, namun memiliki satu tujuan untuk mendidik anak-anak dan mengantarkannya menuju tahap kedewasaan, baik secara fisik maupun non fisik, agar anak-anak itu mewakili kemandirian pribadi dan sosial.

Berbicara pendidikan yang berkualitas dan ideal, akan sejalan dengan resolusi UNESCO terkait pendidikan bagi seluruh anak di dunia., bahwa pendidikan harus memenuhi empat aspek, yakni transfer keahlian dan pengetahuan (transfering skill and knowledge), penanaman berpikir logis (mastering logis), pembangunan karakter (character development), dan ketahanan dalam menjalani berbagai arena pelatihan (trainning endurence). Empat hal ini menyiratkan tiga aspek kompetensi; yaitu kognisi, afeksi dan psikomotorik. Dari ketiga aspek tersebut, aspek afektif memungkinkan untuk dikedepankan. Penanaman ajaran agama selanjutnya menjadi prioritas. Agama memiliki pandangan dan bahkan mewajibkan ummatnya untuk meningkatkan kualitas sumber daya dengan bermodalkan al akhlaqul karimah.

Berangkat dari telaah awal tersebut, kebutuhan pendidikan yang berkualitas dan ideal yang mampu bersaing di era global bagi masyarakat tidak saja penting tetapi juga merupakan kebutuhan mutlak. Oleh karena itu, dalam konteks ini konsep “madrasah ideal” menduduki konsep yang penting bagi dunia pendidikan kita. Madrasah ideal sesungguhnya merupakan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam pasal 5:

                “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu Serta kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan guna memperoleh Pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan Tamatan pendidikan dasar”.

Rencana pemerintah untuk memajukan kualitas pendidikan sudah sepatutnya didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Munculnya madrasah ideal ini diharapkan bisa membantu rencana pemerintah untuk mewujudkan niat baik tersebut. Tingginya disparitas pendidikan di Indonesia, baik dilihat dari pemerataan, kualitas, relevansi dan efisiensi manajemen, secara langsung menjadi pendorong terhadap perlunya penelitian-penelitian pendidikan termasuk penelitian tentang menggagas madrasah ideal di negeri ini.

Pendeknya, sistem pendidikan yang standard yang telah dikembangkan dewasa ini belum mampu menjawab harapan individu siswa, stakeholders maupun shareholder, sekaligus belum mampu memenuhi tantangan zaman yang kian terus bergerak dinamis menuju harapan kualitas. Untuk itu, perlu inovasi tiada henti berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah yang berkualitas dan ideal ini. Ide yang inovatif dan ideal tentunya mendesak untuk dipersiapkan dari sekarang.

KONSEP MADRASAH IDEAL

Konsep Pendidikan
Wilayah kajian pendidikan, awalnya didominasi oleh filsafat. Namun sejurus dengan perannya, psikologi menjadi arena bagi perkembangan disiplin pendidikan. Disiplin lain seperti antropologi, ekonomi, politik dan sosiologi belakangan ikut meramaikan kajian pendidikan. Namun, hal yang cukup menyulitkan adalah status pendidikan sebagai ilmu terapan yang membuat kesulitan pada metode dan wilayah konseptualnya. Bagi kalangan peneliti, study pendidikan dimasukan dalam kegiatan yang terkait dengan investigasi pada proses belajar dan dalam konteks sekolah.

Berbicara aspek pendidikan, semua orang tidak boleh melupakan istilah “intelektual”. Makna yang tersirat dari kata intelektual adalah “mereka yang secara serius terlibat dalam proses pewarisan dan penyebarluasan pengetahuan, serta mengartikulasikan nilai-nilai dalam sebuah masyarakat”. Oleh karenanya, setiap masyarakat memiliki cendekiawan atau intelektualis termasuk masyarakat primitif yang diperankan oleh kepala suku atau petinggi agama sebagai penjaga dan pewaris agama.

Pendidikan yang dijalani manusia sesugguhnya mencitrakan percepatan pencapaian kedewasaan. Kedewasaan memberi arti bahwa ada saat-saat tidak dewasa sebelumnya. Masa kanak-kanak tumbuh secara gradual menjadi dewasa memungkinkan terjadi dalam sebuah proses. Namun sayangnya, penentuan kapan seseorang dipandang tidak tergantung dari derajad usia. Sehingga, secara umum makna dewasa disepakati para ahli psikologi sebagai datangnya sikap dari perilaku tertentu pada masa antara pubertas dan tercapainya masa kematangan (maturity). Kedewasaan, yang sepntas mirip gagasan Aristoteles dan Plato lebih dari 2000 tahun silam, dengan meminjam istilah strum und drang (storm and stress) dari literatur Jerman dan menerapkannya untuk menyebut periodesasi kedewasaan.

Krisis identitas, dengan meminjam konsep psikoanalis, atau kesenjangan generasi antara pemuda-pemudi dengan kedua orang tuanya, adalah konsepsi lain yang dipakai untuk mengidentifikasi kedewasaan. Dua hal ini, krisis identitas dan kesenjangan generasi, selanjutnya semakin memperluas cakrawala bagi dipahaminya makna kedewasaan secara ilmiah. Singkatnya, kedewasaan dianggap sebagai masa ketika seseorang atau tepatnya anak-anak memasuki masa di mana mereka berada dalam kondisi tekanan dan serba tidak menentu, yang berlanjut kepada kebingungan yang mengemuka sebagai krisis identitas dan menimbulkan kesenjangan mereka terhadap orang tuanya.

Jarak yang tajam ini dianggap sebagai pintu gerbang sebuah kedewasaan, ihwal mana sang anak dianggap dewasa bila mampu mengatasi masalahnya dengan baik. Dan sebaliknya, kedewasaan tidak kunjung datang ketika sang anak masih belum mampu melewati krisis identitas dan cenderung berada dalam tekanan psikologis yang memungkinkan mereka berada dalam tingkat kesenjangan yang makin jauh dengan orang tuanya.

Konsep Pendidikan Ideal
Pada mulanya menentukan kualitas di sekolah itu sulit, sesulit memperolah daftar yang sempurna dari penilai-penilai mutu program akademik di sekolah. Akan tetapi berdasarkan beberapa referensi serta pedoman yang digunakan oleh institusi resmi. Penilaian mutu itu dapat ditemukan dan ditetapkan. The Higher Education Council (HEC) Australia melihat mutu dalam konteks sebagai berikut : the council sees the focus on outcome, the fitness for purpose, as fundamental to understanding how each of the processes within institutions are organized and evaluated in order to ensure the quality of outcome. Di sini, prinsip utama adalah bahwa mutu di lembaga pendidikan diukur dengan pendekatan fitness for purpose.

Pada umunya tujuan sekolah meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian, atau yang dikenal sebagai tridarma sekolah. Sehubungan dengan hal ini, Porter (1994) mengindikasikan akan adanya kesulitan dalam mengukur mutu sekolah hanya dengan menggunakan pendekatan fitnessfor purpose. Selanjutnya, porter menambahkan pendekatan lain yang sifatnya interrelated dengan pendekatan fitness for purpose, yaitu konsep exeptional di mana mutu dapat dipandang sebagai passing a set of requirement  or minimum standard.

Dalam konteks pendidikan internasional, glonal alliance for transnational education (GATE) mendefinisikan mutu sebagai as meeting or fulfilling requirement, often referred to as fitness for purpose (GATE) 1988., dan dalam hubungannya dengan pendekatan pemenuhan standar minimum, standar diartikan sebagai a level or grade of goodness of something, and in an education context may be defined as an explicit level of academic attainment. Jelaslah, bahwa fngsi standar antara lain as means of measurements of the criteria by which quality may be judged (GATE, 1998)

Dalam konteks nasional di Indonesia, kualitas dan idealisme sebuah madrasah diarahkan pada penyiapan dan pembekalan kompetensi akademis dan moral sebagai dua pilar penting pada sebuah lembaga pendidikan yang bernafaskan islami. Seluruh proses yang diselenggarakan pada sebuah lembaga seyogyanya diarahkan pada pembentukan pribadi siswa yang memiliki kualitas sekaligus idealisme pada kedua dimensi kompetensi akademik dan moral itu.

Kongkritisasi Menggagas Madrasah Ideal
Menyiapkan madrasah ideal yang berkualitas sangatlah tidak mudah. Banyak sekali ukuran yang bisa dijadikan indikator. Banyak yang terjadi pada penilaian kualitas sebuah madrasah hanya berdasarkan klaim semata. Madrasah yang berkualitas dan ideal tidak hanya ditentukan oleh megahnya gedung sarana dan prasarana. Madrasah yang baik juga belum boleh dikatakan baik jika hanya ditentukan oleh banyaknya jumlah siswa yang bersekolah. Madrasah yang baikpun belum  layak dikatakan baik bila ditunjukan oleh lokasi di mana madrasah itu bertempat.

Untuk menilai sebuah madrasah berkualitas, sampai hari ini masih ada perdebatan. Untuk menyebut sebuah madarasah yang memiliki kualifikasi tinggi saja masih banyak perbedaan. Ada yang mengidentifikasi sebagai madrasah efektif, madrasah unggulan, madrasah terpadu, madrasah integral, dan berbagai sebutan lainnya.

Dengan demikian, dewasa ini sulit menentukan indikator madrasah unggul dan ideal. Untuk memudahkannya, madrasah unggul boleh saja disetarakan dengan pelaksanaan madrasah yang mengaplikasikan manajemen berbasis madrasah (MBS). Tujuan utama penerapan implementasi visi, misi dan komitmen di madrasah pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara madrasah, pemerintah daerah dan pusat, sehingga manajemen menjadi lebih efisien.

Kewenangan terhadap pembelajaran diserahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri, yaitu madrasah. Di samping itu, penyerahan kewenangan itu adalah untuk memberdayakan madrasah, agar madrasah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat.

Untuk menggagas madrasah ideal, sebagaimana kaidah lembaga yang memadai, maka sebuah lembaga harus menentukan visi, misi, dan program unggulan serta sejumlah perangkat kualitas lainnya. Dalam hal ini visi madrasah Amanatul Ummah adalah “terwujudnya manusia yang unggul, utuh dan berakhlaqul karimah untuk izzil Islam wal muslimin dan untuk keberhasilan cita-cita kemerdekaan”. Kemudian, misi madrasah Amanatul Ummah adalah “melaksanakan secara ketat sistem pengelolaan pendidikan yang diterapkan di madrasah” ini. Tujuan dan peruntukan kami menyelanggarakan madrasah adalah untuk membekali siswa menjadi insan yang siap terjun di tengah masyarakat kelak, di antaranya menyiapkan mereka menjadi :

1.       Ulama-ulama besar yang bisa menerangi dunia dan Indonesia;
2.       Konglomerat-konglomerat besar yang akan memberikan kontribusi maksimal terhadap terwujudnya kesejahteraan bangsa Indonesia;
3.       Para pemimpin dunia dan pemimpin bangsanya yang akan mengupayakan terwujudnya kesejahteraan dan tegaknya keadilan; serta
4.       Para profesionalitas yang berkualitas dan bertanggung jawab

Selanjutnya, yang paling menarik dari tiga ikhwal antara visi, misi atau penentuan itu, maka menelusuri peruntukan menjadi relevan, karena peruntukan ini menjadi kristalisasi visi dan misi madrasah. Peruntukan ini adalah dalam rangka membangun kader bangsa melalui empat pilar, yakni ulama, pemimpin bangsa, konglomerat serta profesionalis. Mempersiapkan kader menjadi empat profesi tersebut bukanlah upaya mudah. Keberhasilan ini memang masih menunggu sepuluh sampai dua puluh tahun akan datang.

Untuk melihat keberhasilan itu, perlu diurai yang menjadi pola perilaku (pattern of behavior) yang mencuat akan menunjukkan sisi sulit dan gigihnya perjuangan kami dalam mengelola lembaga secara sistematis. Dalam mencapai tujuan pendidikan, semua kegiatan tergantung kepada visi, misi, dan tujuan sebuah lembaga. Namun dari semua itu, titik tekan pada proses adalah sesuatu yang sangat determinan. Artinya, proses yang dilakukan secara sistematis merupakan upaya kongkrit dari sistem pengelolaan lembaga pendidikan berdasarkan visi,misi, dan tujuan peruntukan yang telah dicanangkan. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat tabel preskripsi berikut :

Tabel I
Paterrn of Behavior / visi
Madrasah Amanatul Ummah Surabaya

INPUT
PROSES
OUTPUT-OUTCOME
Anak-anak bangsa yang dengan segala potensi diri yang dimilikinya (minat bakat dan kemampuan) :
-          Sense of interest
-          Sense of courisity
-          Sense of reality
-          Sense of inqury
-          Sense of discovery
Modal/ investasi moral ini dimantapkan sejak dini dan diproses di madrasah untuk menumbuhkan kreatifitas.
Internalisasi


 




Karakter (akhlaqul karimah)


 




Nasib baik
Ulama, Pemimpin, Konglomerat, dan Profesionalis.

Dari tabel di atas, tampaklah bahwa proses pembelajaran di madrasah Amanatul Ummah Surabaya dapat dibangun  dengan meminjam penjelasan sistem dengan mekanisme input-output. Dari wilayah input, proses pembelajaran pada madrasah ini diideasikan dengan menyiapkan sumberdaya peserta didik yang berpotensi diri dengan segala kemampuan untuk berminat, ingin tahu, membuktikan, menyelidiki, serta menemukan hal baru yang bermanfaat bagi dunia pendidikan dan kemanusiaan pada umumnya.

Modal dan investasi sumber daya peserta didik ini selanjutnya, di proses untuk menanamkan akhlaqul karimah, sehingga melahirkan nasib baik, sehingga teraihlah apa yang disemangatkan dalam peruntukan madrasah untuk mencetak ulama, pemimpin, konglomerat, dan profesional. Oleh karenanya, pendekatan budaya dan perilaku yang bermartabat hendak dikedepankan. Sasaran akhir dari proses pembelajaran di madrasah Amanatul Ummah Surabaya di arahkan untuk mewujudkan intelektual muda yang tangguh sebagai investasi moral bangunan masyarakat Indonesia masa depan.

Setelah landasan ideal ini dicermati secara sistematis, lalu kita akan masuk dengan bagaimana membangun upaya-upaya secara kongkrit menerapkannya secara praktis. Untuk itu, perangkat konsep yang telah ditentukan dalam pattern of behavior yang idealis itu wajib diwujudkan ke dalam tindakan yang realistis empiris (pattern of behavior). Selanjutnya, mari kita lihat tabel berikut :

INPUT
PROSES
OUTPUT-OUTCOME
Unsur-unsur yang harus ada dalam proses pembelajaran di madrasah Amanatul Ummah Surabaya :
-          Pengelola (manajerial)
-          Metode andragogis
-          Berbasis kompetensi
-          Sumber daya siswa yang kritis-etis
Kognitif:  
Pemahaman nilai budaya, kemampuan verbal, logika dasar dan kecakapan.

Lulusan madrasah yang kompeten (Beasiswa dalam dan luar negeri, PMDK, SNMPTN)


 



Intelektual yang cerdas, beriman dan berakhlakul karimah
Afektif :
Pemahaman etika dan estetika yang berbasis nilai-nilai religius

Dari tabel di atas, dalam konteks perwujudan ideasi proses pembelajaran di madrasah Amanatul Ummah Surabaya secara empiris realistis sangat dekat dengan upaya sinergis antara semua elemen pendidikan yang terdiri atas kemampuan manajerial pengelola lembaga pendidikan, pemilihan metode pengajaran yang berwawasan lokalitas, mementingkan basis kompetensi dalam setiap kurikulum pengajarannya, serta tersedianya sumber daya siswa yang kritis-etis.

Realisasi proses pembelajaran di madrasah Amanatul Ummah Surabaya diarahkan pada tergalinya kemampuan kognisi dan afeksi dari input yang tersedia. Pola ini dikembangkan sedemikian rupa agar tercapai apa yang dicita-citakan, yaitu intelektual muda yang cerdas dan beriman (lulusan yang kompeten dengan mendapatkan beasiswa dalam dan luar negeri, PMDK, atau SNMPTN).

Dengan demikian, ada hubungan relasional yang saling memajukan antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan siswa sebagai investasi moral. Proses pembelajaran di madrasah Amanatul Ummah Surabaya (berbasis kognitif-afektif, logis, etis, religius) merupakan salah satu pilar tercapainya visi, misi, dan peruntukan, serta tujuan madrasah Amanatul Ummah Surabaya).

Dalam realisasinya, pencapaian tujuan penyelenggaraan pendidikan Islami di lembaga Amanatul Ummah Surabaya, sangat bertumpu pada proses yang diselenggarakan secara sistematis, yakni diupayakannya sistem pengelolaan yang optimal.

Menggagas madrasah ideal, tentu membutuhkan idealisme yang kuat, dan itu ditekankan kepada proses yang inovatif. Titik tekan proses itu di antaranya bergantung kepada beberapa dimensi keberhasilan yang terdiri atas beberapa atribut yakni penyiapan guru yang baik, adanya sistem yang dapakai sebagai acuan, tersedianya sarana dan prasarana, serta pembiayaan yang memadai.

Dari keempatnya, penyaiapan guru yang baik adalah yang paling utama. Pepatah di lembaga kami untuk mengkondisikan para guru adalah ‘ jadilah guru yang baik atau tidak sama sekali’. Penyiapan guru yang baik tentu saja sangat determinan dalam rangka tercapainya keberhasilan. Azas tiada rotan akarpun jadi nampaknya, berlaku jika memang prasarana dan pembiayaan tidak bisa disiapkan secara optimal, maka penyiapan guru yang terus menerus dalam pengkondisiaan ditujukan untuk mengawal sistem pengelolaan yang berorientasi pada pemrosesan anak didik yang akan berimbas pada tercapainya kualitas madrasah yang ideal.

Idealisme yang dikawal dengan penyediaan guru yang berkualitas ini tentu dimuarakan pada terwujudnya dimensi keberhasilan, yakni menjadi anak didik memiliki kompetensi dalam al akhlaqul karimah, serta menjadikan anak didik memiliki kompetensi akademik. Pada saat atribut guru dan sistem pengelolaan di elaborasi, maka tak satupun bisa menyangsikan betapa sinergitas ini akan membuahkan hasil yang maksimal bagi pencapaian kualitas dan idealisme. Di lembaga (madrasah) Amanatul Ummah memberlakukan sistem yang dikenal dengan sistem “dauroh”.

Sistem ini adalah sesungguhnya sistem pengelolaan yang dipandegani oleh guru yang berkualitas melalui sebuah proses kepada anak didik dengan harapan anak didik bisa menguasai kompetensi akademik sekaligus kompetensi moral. Secara akademis, guru mengelola anak didik dengan memberlakukan model pengulangan kembali (review/dauroh) terhadap seluruh mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik.

Pada prinsipnya, sistem dauroh ini adalah pengulangan/review terhadap materi pelajaran yang pernah diberikan dengan mekanisme tertentu dengan pemberian materi secara konfirmatif atau penegasan disertai pemberian soal sekaligus secara bersama dilakukan penyelesaian soal antara guru dan siswa. Sistem dauroh diselenggarakan secara sistematis dengan periodesasi dan leveling. Maksudnya adalah sistem dauroh diberikan kepada semua tingkatan kelas dan periode yang telah ditetapkan.

Intinya adalah, sistem merupakan sistem pengelolaan melalui pemprosesan kepada anak didik oleh guru yang profesional dan bertanggung jawab demi tercapainya pemahaman anak didik terhadap seluruh materi yang disampaikan sehingga anak didik berdaya dalam kompetensi akademik dengan indikator berhasil tuntas dalam mengerjakan soal-soal ujian, serta anak didik dibekali kompetensi moral selama anak didik menempuh proses di lingkungan madrasah.

Yang kedua, setelah atribut guru, adalah tersedianya sistem pengelolaan yang kongkrit dan berorientasi pada pelayanan yang harus dikawal ketat dalam pelaksanaannya sekaligus dipertnggung jawabkan keberhasilannya. Dan yang menjadi ihwal lainnya adalah atribut sarana dan prasarana serta pembiayaan yang sejauh ini masih bisa disiasati sedemikian rupa, artinya atribut ini memang bukanlah atribut yang determinan, karena berdasarkan pengalaman kami di lapangan, menunjukan betapa atribut sarana dan prasarana serta pembiayaan masih bisa dijadikan prasayarat yang berada pada batas toleransi.

Dari beberapa atribut di atas, penyediaan guru dan sistem pengelolaan relatif paling mudah dijangkau, sehingga penyelenggaraan madrasah yang inovatif dan ideal masih bisa dikembangkan secara optimal meski atribut sarana dan prasarana serta pembiayaan berada dalam keterbatasan. Pada saat penyediaan atribut guru dan sistem pengelolaan diupayakan dengan baik, idealisme akan dapat dicapai, tetapi sebaliknya meski sarana dan prasarana sudah tersedia secara memadai tanpa penyediaan guru dan sistem pengelolaan yang baik, maka niscaya apalah artinya sebuah lembaga pendidikan diselenggarakan. Yang terjadi justru kemunduran dan menjauhkan penyelenggaraan pendidikan dari idealisme dan kualitas.

PENUTUP
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan mengenai menggagas madrasah yang ideal, maka madrasah Amanatul Ummah Surabaya adalah salah satu contoh madrasah yang layak diperhitungkan sebagai madrasah yang menyelenggarakan proses pembelajaran dengan mekanisme sekolah ideal dan berkualitas, karena seluruh input madrasah sedang dan telah diproses menjadi output dan outcome yang memiliki benefit dan impact yang memadai. Lulusan madrasa Amanatul Ummah yang memperoleh beasiswa dalam dan luar negeri adalah realisasi keberhasilan proses yang dikembangkan dengan mengedepankan penyiapan guru yang mampu mengkongkritkan penyelenggaraan sistem pengelolaan secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 1987. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Al-Abrasy, Muhammed Athiyah. 1994. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. Jakarta: Bulan Bintang

Aqib, Zainal. 2002. Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Pustaka Cendekia

Arifin, Imron. 1998. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar Berprestasi (Study Multi Kasus pada MIN I Malang, MI Mamba’ul Ulum, dan SDN Ngaglik I Batu Malang. Malang: Disertasi Program Pasca Sarjana IKIP Negeri Malang (tidak diterbitkan).

Asrin. 2006. Kepemimpinan Kepala Seklah pada Budaya Mutu Seklah (Study Multi kasus di SMAN Agung dan SMAI Kartini di Kota Bunga). Malang: Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang (tidak diterbitkan).

Beeby, C.E. 1981. Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan. (terjemahan oleh BPK dan YIIS). Jakarta : LP3ES.

Cooper, J.M. 1986. The Teacher as a Decision Maker. Dalam J.M. Cooper (ed). Classroom Teaching Skills. (3th ed.) Toronto: D.C. Heath and Company

Diknas. 2001. Pedoman Penciptaan Suasana Sekolah yang Kondusif dalam Rangka Pembudayaan Budi Pekerti Luhur Buku II. Jakarta: Ditjen Dikdasmen

Dhofir, Zamakhsyarie, 1994. Tradisi Pesantren: Study tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES

Djamarah, Syaiful Bahri. 1994. Presentasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional

Djojonegoro, Wardiman, 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Depdikbud

Hamalik, Oemar. 2002. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara

Nasution, Harun. 1991. Pembaruan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Nasution, Prof. Dr. S. MA. 1983. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Jemmars

Pidarta, M. 1996. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar
PP No. 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah

Raho, Bernard. 2002. Teori Sosiologi Modern. Maumere: STFK

Rozikin, Zainur. 2005. Pergeseran Pola Interaksi Guru-Murid di Sekolah NU (Study Kasus di SMA Bunga Mawar Kota Malang dan SMA Bunga Melati di Kabupaten Malang. Malang : Disertasi Program Pasca sarjana Universitas Merdeka Malang. (tidak diterbitkan)

Soetjipto. 1999 Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta

UU RI No.20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: sinar Grafika.








*Tulisan ini disampaikan pada acara Lokakarya Peningkatan Mutu Kualitas Madrasah (Syahidda Inn UIN Syahid Jakarta)
**Penulis adalah pengasuh PP Amanatul Ummah Surabaya

PERAN STRATEGIS OMBUDSMAN RI DALAM PENGAWASAN PELAYANAN PUBLIK



    
Pendahuluan
Siklus perpolitikan masa transisi kehidupan bernegara di Indonesia (1998-1999), akhirnya telah menghantarkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada kursi RI 1 dan Megawati Soekarno Putri di kursi RI 2. Tampaknya duet kepemimpinan Gus Dur dan Megawati saat itu harus menanggung beban politik dan sejarah masa lalu yang cukup berat. Korupsi masih tetap merajalela dan bahkan cenderung tanpa kendali. Penegak hukum juga mengalami kesulitan mewujudkan cita-cita reformasi hukum yang menjadi salah satu agenda reformasi.

Partai politik berebut jatah kekuasaan dan akses ekonomi. Masyarakat dan mahasiswa kembali melontarkan kritik atas ketidakmampuan pemerintah memberantas korupsi dan berbagai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara. Pemerintah semakin kehilangan kewibawaan karena terus menerus terlibat polemik kontroversial sehingga tidak sempat mengurusi kebutuhan dasar masyarakatnya.

Dalam kondisi mendapat tekanan masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas KKN, maka pemerintahan saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat. Salah satunya dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap Penyelenggara Negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.

Lahirnya Komisi Ombudsman di Indonesia, Di inisiasi pada awal Nopember 1999, Presiden KH. Abdurrahman Wahid memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Antonius Sujata untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Pada tanggal 17 Nopember 1999 diadakan pertemuan antara Jaksa Agung Marzuki Darusman, Antonius Sujata dan Presiden RI guna membahas gagasan Presiden RI tentang konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara dalam rangka memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Secara lebih kongkrit konsep tersebut diwujudkan dengan membentuk Lembaga Ombudsman di Indonesia.

Setelah melewati dinamika dan proses maraton yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal 10 Maret 2000 Presiden resmi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, dengan mengangkat Antonius Sujata sebagai Ketua merangkap Anggota., Prof. Sunaryati Hartono sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota, Teten Masduki sebagai Anggota, KH. Masdar F Masudi sebagai Anggota, RM Surahman, APU sebagai Anggota, Prof. Bagir Manan sebagai Anggota, Pradjoto sebagai Anggota, dan Sri Urip sebagai Anggota. Setelah keluar Keppres Nomor 44 Tahun 2000, pada tanggal 20 Maret 2000, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Ombudsman Nasional dilantik Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara. Saat itu Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pengawasan pelayanan lembaga negara.

       Peran Strategis Ombudsman dalam Pengawasan Pelayanan Publik
Kini, usia Ombudsman RI sudah memasuki usia yang ke 14 semenjak berdirinya lembaga ini di Indonesia. Tentunya di usia yang semakin matang ini, keberadaan Ombudsman RI menjadi sangat penting dan strategis dalam melaksanakan kerja-kerja pengawasan terhadap pelayanan publik di negeri ini. Mengingat semangat perbaikan kualitas pelayanan publik yang sedang digalakkan pemerintah pusat maupun di daerah, harus di dorong dengan pengawasan-pengawasan yang dilakukan oleh lembaga atau insitusi yang memiliki power ketika terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur dan pejabat publik  di tingkatan pusat dan daerah, guna tercapainya pelayanan publik yang bersih tanpa kolusi dan berkeadilan bagi masyarakat di Indonesia.

Cita-cita mulia untuk menyelenggarakan pemerintahan negara yang bersih inilah, telah dinyatakan 14 (empat belas) tahun lalu yang menjadi ilham ketika mendirikan lembaga Ombudsman di Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam salah satu pertimbangan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional yang menyatakan:

“Pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme”

Yang menjadi Visi Ombudsman, sebagaimana termaktub dalam Keppres di atas, adalah terselenggaranya pemerintahan yang baik (Good Governance). Banyak teori tentang Pemerintahan yang baik. Tapi, initinya adalah pemerintahan dijalankan oleh orang-orang yang menyadari betul bahwa melayani kepentingan warga bukan sekedar kewajiban legal, tapi sekaligus kewajiban moral. Legal adalah kewajiban yang dipaksakan dari luar; sementara kewajiban moral adalah kewajiban yang dituntut dari dalam, dari diri sendiri. 

Sementara itu, pemerintahan yang baik, tidak mungkin terwujud kalau bukan sekaligus merupakan pemerintahan yang bersih (Clean Government) dari kepentingan pribadi para penguasa/pejabatnya. Bentuk paling kasar dari kepentingan pribadi adalah apa yang populer disebut korupsi. Karena itu, Good Governance lazim diucapkan senafas dengan Clean Government.

Dengan demikian, Menata pemerintahan yang baik (Good Governance) dan bersih (Clean Government) bukanlah sebuah slogan semata-mata yang di iklankan para pejabat publik di media massa, melainkan membutuhkan kerja-kerja kongkrit yang diawali dengan merevolusi akhlak (kesadaran) birokrasi selaku pelayan publik dengan tidak menggunakan istilah revolusi mental dalam melayani seluruh konstituennya di Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab. Sederhananya, pemerintahan yang baik dan bersih ditentukkan oleh pribadi-pribadi dari penyelenggara negara itu sendiri.

Kemudian, dalam peningkatan kualitas layanan aparat pemerintah selaku pelayan publik kepada warga masyarakat sebagai konstituennya, peran serta dari Ombudsman masih sangat dibutuhkan untuk melayani keluhan masyarakat berkenaan dengan layanan aparat negara/pemerintah yang dinilai tidak atau kurang semestinya. Baik dari sudut waktu, biaya, proses, mutu, dan lainnya. Karena fungsi pengawasan yang efektif selalu mempersyaratkan independensi. Tanpa independensi antara pihak yang mengawasi dengan yang diawasi kemungkinan besar yang terjadi justru kolusi.

Tidak demikian dengan ombudsman, karena Ombudsman adalah lembaga independen bukan bagian dari instansi/lembaga atau badan kenegaraan atau pemerintahan yang diawasinya. Sehingga posisi Ombudsman masih sangat strategis dalam mendisplinkan kinerja aparatur pemerintahan yang nakal, mengingat belum sepenuhnya praktek-praktek KKN hilang dari negeri ini.

Jadi, jika belakangan ini ramai disorot mutlaknya Pemerintahan yang Baik (Good Governance) dan Pemerintahan yang Bersih (Clean Government), maka kerja Ombudsman masih sangat signifakan dalam mengawal pemerintahan yang baik, Good Governance. Bukan dalam pengertian Ombudsman sendiri yang akan memberikan layanan kepada masyarakat. Ombudsman hanya memastikan, bagaimana fungsi layanan publik yang menjadi tanggungjawab semua badan/instansi/lembaga tersebut berjalan seperti yang diinginkan oleh masyarakat yang memerlukannya.










Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...