HUKUM ISLAM PADA MASA KERASULAN MUHAMMAD SAW

Pada masa kerasulan atau fase di mana nabi Muhammad SAW hidup, dapat disebut sebagai periode kelahiran dan pembentukan hukum syari’at Islam (Rasyad Hasan Khalil. 35, 2009). Dengan lahirnya hokum syari’at Islam pada fase ini, telah menjadi pedoman atau petunjuk tentang sumber-sumber dan dalil-dalil yang di pergunakan ke depannya untuk mengetahui suatu hukum atau ketetapan dari persoalan yang belum ada ketetapannya (A. Wahab Khalaf. 08, 2002). Dengan demikian pada masa ini, telah melahirkan sekaligus mewariskan dasar-dasar pembentukan hukum tasyri secara sempurna.

Pembentukan hokum Islam pada masa kehidupan nabi Muhammad SAW, oleh mayoritas ulama dapat di bagi ke dalam dua fase yang memiliki corak dan karakteristik tersendiri. Adapun fase itu adalah fase Makkiyah, fase ini berlangsung selama 12 tahun beberapa bulan, sejak nabi dilantik sebagai Rasul (masih menetap di Mekkah) hingga hijrah ke Madinah. Kondisi ummat Islam pada era ini secara kuantitas masih sedikit dan lemah, sehingga belum memiliki lembaga hukum yang kuat, sehingga perhatian Rasulullah SAW tercurah pada aktivitas dakwah dalam rangka penanaman tauhid kepada Allah SWT, dan meninggalkan praktek penyembahan berhala dan patung-patung (A. Wahab Khalaf. 9, 2002)


Oleh karenanya, pada surat-surat Makkiyah dalam al Qur’an sedikitpun tidak ada yang menjelaskan tentang pembinaan hokum yang terperinci (amaliah). Namun, sebagian besar pada ayat-ayat tersebut mengajarkan untuk kembali pada tujuan tauhid atau meng-esa-kan Allah SWT, akhlak mulia, hari pembalasan, dan kisah umat-umat terdahulu (khudari Bik. 29-30).  Ciri lainnya pada ayat-ayat Makiyyah pada umumnya di dahului dengan seruan yaa ayyuhannas (hai manusia) dan juga kalimatnya pendek-pendek penuh dengan muatan sajak irama yang dalam maknanya.

Kemudian pada fase Madaniyyah yang dimulai sejak hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah, dikenal bahwa pada era ini, perkembangan Islam (hukum Islam) lebih maju dibandingkan dengan di Mekkah. Bahkan pada masa  di Madinah ini, telah memiliki tata pemerintahan sehingga media-media dakwah dapat berlangsung dengan aman dan damai.

Keadaan seperti inilah yang kemudian mendorong perlu adanya tas’ri dan pembentukan perundang-undangan yang mengatur hubungan antar individu dari suatu bangsa dengan bangsa yang lain. Mengatur hubungan dan komunikasi atau interaksi dengan kalangan non-Muslim, baik dalam keadaan damai atau sedang berperang (A. Wahab Khalaf. 9-10, 2002).

Dengan demikian pada surat Madaniyah, banyak sekali yang memuat tentang ayat-ayat hokum, di samping memuat juga ayat-ayat tentang aqidah, akhlak, kisah-kisah, adapun ciri pada ayat-ayat madaniyah ini dapat dilihat dengan di awalinya surat-surat yang yang ada dengan seruan Yaa ayyuhaladzina amanu (hai orang-orang yang beriman), ayatnya panjang-panjang, serta bahasanya menyangkut ke dalam bahasa hukum (Idris Ramulyo. 168).

Sementara pemegang otoritas kekuasaan tas’yri pasa masa Rasulullah SAW, terletak di tangan Rasulullah. Tidak seorangpun dari umat Islam selain beliau, dapat membentuk atau menetapkan hokum terhadap suatu permasalahan, baik secara individu maupun secara kolektif. Karena Rasul posisinya masih berada di tengah-tengah masyarakat ketika itu, sehingga otoritas dalam m enetapkan hokum atas segala permasalahan-permaslahan yang timbul dalam masyarakat diserahkan kepada beliau.

Rasul-lah yang kemudian memebri fatwa, menuntaskan perselisihan, dan persengketaan yang kerap terjadi, serta menjawab segala pertanyaan-pertanyaan yang di tujukan kepada beliau dengan menggunakan dasar ayat al Qur’an dan juga hasil ijtihadnya sendiri yang di dasari dengan petunjuk dari Allah SWT (A. Wahab Khalaf. 10, 2002).

Adapun sumber tas’yri pada periode ini, oleh para ahli hukum Islam di bagi ke dalam dua sumber dalam penetapan hukum. Adapun sumber tersebut yaitu, al Qur’an dan Sunnah nabi.  Al Qur’an merupakan sumber pertama dan utama dalam perundang-undangan Islam, yang meliputi semua ajaran pokok dan kaidah yang harus ada dalam pembuatan undang-undang dan peraturan (Rasyad Hasan Khalil. 44, 2009).

Ini jugalah yang menjadi hikmah dari al Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad secara berangsur-angsur, yaitu sesuai dengan keadaan dan problematika yang terjadi. Ayat-ayat ini juga turun sebagai bentuk jawab atas setiap pertanyaan di tujukan kepada Raslulullah SAW (Khudari Bik, 22). Sumber hukum yang kedua pada era Rasulullah yaitu as Sunnah, yang berfungsi sebagai penjelas dari ayat yang diturunkan secara global, juga sebagai penegas suatu hokum yang telah ada dalam al Qur’an.

Sementara metode pensy’ariatan (penetaapan hukum syari’at), pada fase ini terbagi ke dalam; Pertama, penetapan hokum yang dilakukan secara bertahap. Hukum-hukum yang di syariatkan Allah dan rasulnya tidaklah ditetapkan dengan cara sekaligus dalam satu undang-undang, melainkan di bentuk secara terpisah dalam kurun waktu 22 tahun beberapa bulan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan peristiwa-peristiwa yang dianggap perlu adanya ketetapan hukum yang mengikat. 

Kemudian hikmah dari penetapan hukum secara bertahap, adalah untuk mempermudah pemahaman tentang isi dan materi, sekaligus memantapkan pemahaman tersebut terhadap putusan-putusan hukum dengan pijakan peristiwa atau kondisi yang mengharuskan penetapan hokum tersebut. Sebagai contoh misalnya, ketika Rasul ditanya tentang khamar dan judi, yang keduanya merupakan tradisi yang sudah mengakar di kalangan bangsa Arab, sebagaimana ditegaskan dalam surah al Baqarah, 219.

Ayat ini merupakan tahapan pertama yang belum terdapat ketegasan dalam pelarangan khamar, tetap[I hanya menyebutkan dosa-nya saja yang lebih banyak dari manfaatnya. Kemudian, turunlah ayat kedua yang menjadi tahap selanjutnya yang berisikan tentang pelarangan khamar, agar peminum khamar tidak mendekati sholat selama dalam keadaan mabuk (QS. An Nisa, 43). Selanjutnya, turun ayat ketiga yang merupakan penegasan tentang ke-haram-an khamar dan keharusan untuk menjauhinya, sebagaimana terangkum dalam surat al Maidah, 90.  

Metode yang selanjutnya adalah menyedikitkan pembuatan undang-undang. Di dalam al Qur’an dan as Sunnah tampak terlihat adanya larangan untuk memperbanyak pertanyaan yang menyebabkan lahirnya ketetapan hukum yang memberatkan (QS. Al Maidah, 101). Karena hikmah dari penetapan hokum adalah sebagai pemenuhan kebutuhan kehidupan manusia yang di sesuaikan dengan permasalahan yang terjadi kala itu.

Selanjutnya yang ke tiga adalah untuk memudahkan dan meringankan beban. Prinsip ini sangat Nampak terlihat dalam proses penetapan suatu hokum. Karena esensinya dibangunnya ketetapan hokum memiliki tujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan sebagaimana firman Allah dalam surah al Baqarah, 185, yaitu terdapatnya hukum ruksoh (keringanan), sehingga ada hal-hal haram yang di bolehkan karena dalam keadaan bahaya.

Keempat, pemberlakuan undang-undang adalah untuk kemaslahatan manusia.  Sebagai bukti dari prinsip ini yaitu banyak ketetpan-ketetapan hukum yang disertai sebab (Illat), dengan tujuan dari hokum-hukum tersebut. Dengan demikian adanya penghapusan, pergantian, dan perubahan hokum dalam Islam merupakan suatu bukti yang menunjukkan hokum-hukum Islam diberlakukan untuk kemaslahatan manusia di dalamnya.

Daftar Bacaan
Khalil, Hasan Rasyad. Tarikh Tasy’ri. Jakarta: Amzah, 2009.
Khalaf, Wahab abdul. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum IslamJakarta: Grafindo Persada, 2002.
Bik, Khudori, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Terj. Tarikh Tasyri al-Islamoleh. M. Zuhri .Semarang: Darul Ihya, tt.
Ramulyo, Idris, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, tt.

No comments:

Post a Comment

Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...