PEMIKIRAN TASAWUF ABD. SHOMAD AL-PALIMBANI DAN MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI

Kajian Tasawuf Nusantara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian dari kaum muslim Indonesia, hal itu terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam dan melalui berbagai kelompok tarekat yang berpengaruh di masyarakat.
Mula-mula Islam datang di pelabuhan, diperkenalkan, disebarkan, dikembangkan, dimantapkan dan diperbaharui. Kedatangannya tentu melalui jaringan perhubungan yang berlanjut timbal balik dari generasi ke generasi. Dari sinilah jaringan tasawuf mulai meranah di Indonesia, kemudian berkembang dan menjadi bagian dari kehidupan banyak masyarakat yang ada di Indonesia.
Sumatra Selatan, merupakan salah satu wilayah Indonesia yang mempunyai kebudayaan dan peradaban yang baik, Islam sudah datang di Sumatra Selatan sejak kerajaan Sriwijaya, tetapi menjadi berkembang dengan pesat menjelang akhir keruntuhan Kerajaan Sriwijaya. Pada abad ke-14 kerajaan Palembang menjadi kubu Islam dan menjadi kuat pada Abad ke-17 Masehi. Sultan Palembang mendorong tumbuhnya pengetahuan keislaman, hal itu dibuktikan dengan banyaknya ulama arab terutama yang berasal dari Hadramaut di Istananya, salah satunya adalah ayah Abd. Shomad.
Hubungan orang Islam di daerah pantai kalimantan selatan dengan orang Islam di pesisir Jawa Timur terutama Gresik, Tuban dan Surabaya merupakan proses yang mempercepat berkembangnya Islam di Kalimatan selatan, hal itu juga yang menjadi dalang berdirinya Islam di Banjarmasin, yaitu pada abad XVI M. dibawah pimpinan Sultan Suriansyah, dengan berdirinya kerajaan Banjar ini, maka penyebaran Islam semakin lancar.
Membahas Sumatra dan Banjarmasin, tidak lepas dari peran dua tokoh yang sangat berpengaruh dan mempunyai andil besar dalam penyebaran dan perkembangan Islam dan Tasawuf di Indonesia. Dialah Abd. Shomad al-Palimbani dan Muhammad Nafis al-Banjari.

A.    Abd. Shomad al-Palimbani
Nama lengkapnya Sayyid Abd. al-Shomad bin Abd. al-Rahman al-Jawi al-Palimbani, tidak ada yang mengetahui secara pasti tanggal dan bulan kelahiran beliau, namun kebanyakan dari sumber yang ada beliau lahir sekitar tahun 1704 M di Palembang. Ayahnya bernama Abd. al-Jalil bin Syaikh Abd. Wahab bin Syaikh Ahmad al-Madani, adalah seorang sayyid, Ibunya saudara wanita bernama Radin Ranti, yang merupakan saudara  perempuan Sultan Mahmud dari Kerajaan Palembang. Ayah al-Palimbani dikatakan berasal dari San’a Yaman, beliau mengadakan perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di Kedah Semenanjung Melayu, dan kemudian pergi ke Palembang, menikahi saudara perempuan sultan Mahmud yang bernama Radin Ranti dan melahirkan Abd. Shomad. Kemudian kembali ke Kedah bersama putranya karena beliau diangkat menjadi qadhi di kerajaan Kedah[1].
Mula-mula al-Palimbani mendapat pendidikan pertamanya di Kedah dan Patani, kemudian beliau Oleh ayahnya dikirim ke Arab untuk belajar. Makkah dan Madinah merupakan dua tempat dimana al-Palimbani banyak memetik pelajaran-pelajaran dari berbagai guru yang ia temui, diantaranya Syaikh Muhammad al-Samman. Menurut Ysuf Khalidi, sebagaimana dikutip oleh Chotib Quzwain, bahwa al-Palimbani menuntut ilmu di Makkah bersama-sama dengan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abd. Wahab Bugis dari Sulawesi Selatan dan Abd. Rahman Masri dari Jakarta. Mereke menjadi “empat serangkai” yang sama-sama belajar tarekat di Madinah kepada Syaikh Muhammad al-Samman. Al-Palimbani sudah mempelajari tasawuf sebelum belajar ke Makkah melalui kitab tasawuf para sufi yang berasal dari Aceh, sehingga dalam sair al-Salikin-nya ia menyebut beberapa kitab karangan Syamsudidn al-Sumatrani dan Abd Rauf al-Jawi al-Fansuri (dari Sinkil). mungkin karena itu beliau merasa tidak puas hanya belajar Tasawuf di Masjid Al-Haram saja. Ia lalu berguru ke luar, kepada Syaikh Muhammad Samman[2].
Syaikh Muhammad Samman, selain mendiktekan kepada al-Palimbani mengenai Tauhid Af’al, Tauhid Shifat, tauhid Dzat beliau juga menganjurkan kepada al-Palimbani untuk mempelajari kitab Al-Tuhfah al-Mursalah karya Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri, dari anjuran inilah al-Palimbani cukup memahami pemikiran al-Martabah al-Sab’ah, namun hal ini tidak bisa dikatakan sebagai keterpengaruhan beliau terhadap paham martabat tujuh tersebut, justru kalau kita lihat beliau tidak setuju dengan paham wujudiyyah yang mempunyai konotasi dengan martabbat Tujuh.

AL- MARTABAH AL-SAB’AH
Harus diakui, memang konsep martabah tujuh juga pernah dikutip oleh al-Palimbani dalam kitabnya sir al-Salikin, menurut al-Palimbani wujud Allah dapat dikenal dengan tujuh martabat sebagai berikut[3] :
1.      Martabat yang pertama Ahadiyatul ahadiyah, atau an la Ta’ayyun atau dzatul-baht. Yaitu ibarat dar pada keadaan semata-mata wujud Dzat (Esensi) Allah Swt. Yang Maha Esa, yakni memandang dengan hatinya akan semata-mata wujud Dzat dengan tiada iktibar sifat-Nya dan asma-Nya.
2.      Martbat yang kedua al-Wahidah dan dinamakan pula martabat al-ta’ayyun al-awwal dan haqiqah al-muhammadiyyah, yaitu ibarat dari ilmu Allah Ta’ala dengan wujud zat-Nya dan segala sifat-Nya dan segala maujud atas jalan perhimpunan dengan tiada beda setengahnya dengan setengahnya.
3.      Martabat yang ketiga al-wahidiyyah atau haqiqah al-insaniyyah, yaitu ibarat dari ilmu Allah mengenai zat dan segala sifat-sifat-Nya dengan segala makhluk atas jalan perceraiannya setengahnya dari setengahnya. Martabat ini dikenal juga ta’ayyun tsani dalam rupa hakikat insan, yakni ilmu Tuhan mengenai diri-Nya serta alam semesta ini secara terperinci.
4.      Martabat yang keempat alam arwah dan dinamakan pula nur Muhammad SAW yaitu ibarat dari pada keadaan suatu yang halus yang semata-mata dan belum menerima susun dan belum berbeda setengahnya. Alam arwah adalah nur Muhammad yang dijadikan oleh Allah dari nur-Nya, roh tunggal yang merupakan asal dari roh segala makhluk hidup, baik manusia maupun yang lainnya.
5.      Martabat yang kelima alam al-mitsal. yaitu ibarat keadaan sesuatu yang halus yang tidak dapat diceraikan setengahnya dari setengahnya dan tidak menerima pesuk dan tambal. Martabat ini merupakan diferensiasi dari nur Muhammad dalam bentuk roh perseorangan, seperti laut menghadirkan dirinya dalam bentuk ombak.
6.      Martabat yang keenam alam al-ajsam, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang tersusun dari empat unsur, yaitu api, angin, tanah, dan air yang menerima susun dan bercerai setengah daripada setengahnya yang membentuk batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan, semua hewan, manusia, dan jin.
7.      Martabat yang ke tujuh jami’ah yaitu martabat yang menghimpunkan sekalian martabat yang terdahulu dan dinamakan juga martabat al-ta’ayyun al-akhir atau martabat al-tajalli al-akhir, yaitu kenyataan Allah Ta’ala yang kemudian sekali.

PEMIKIRANNYA.
Akhir abad ke 18 Masehi al-Palimbani kembali ke tanah kelahirannya, beliau membawa warna baru, yaitu metode mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu dengan jalan Tasawuf. Melalui tharikat. Corak Tasawuf Al-Palimbani adalah “menggabungkan unsur-unsur ajaran al-Ghazali dan Ibn ‘Arobi yang telah diolah dan disajikan dalam suatu sistem ajaran tasawuf sendiri” beliau menganut fahan Ibn ‘Arobi yang memandang manusia yang potensial sebagai manifestasi Allah yang sempurna, tetapi beliau manafsirkan dengan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi salah memahami hal tersebut.
Selanjutnya, al-Palimbani percaya bahwa Tuhan itu dapat didekati melalui keyakinan yang benar pada keesaan Tuhan yang Mutlak, meskipun disisi lain beliau juga menerima pendapat tertentu dari Ibn ‘Arobi dan Al-Jilli terutama menyangkut diktrin Insan Kamil. Al-Palimbani menafsirkan hal itu dipandang dari sudut ajaran al-Ghazali, menekankan dalam ajaran tasawufnya lebih banyak pada penyucian pikiran dan perilaku moral dari pada pencarian mistisisme spekulatif dan filosofis. Dari inilah ajaran tasawuf al-Palimbani bisa dikatakan dengan tasawuf akhlaqi atau tasawuf amali.
Al-Palimbani tidak puas akan pendapat al-Ghazali tentang tiga tingkatan jiwa (ammarah, lawwamah, dan berakhir dengan muthmainnah). Beliau memilih tujuh tingkatan jiwa manusia yaitu : Ammarah, Lawwamah, Mulhammah, Muthmainnah, Radliyah, Mardliyah dan berakhir dengan Kamilah. Yaitu mengarungi dan menggumuli kehidupan dunia untu menuju ke Jalan Allah.
Tidak hanya di bidang keagamaan yang menjadi kajian al-Palimbani, perkembangan politik kolonial barat yang melanda negara-negara Islam juga menggugah pikiran al-Palimbani, malalui jamaah Haji Jawa beliau mendengar bahwa kerajaan Mataram yang besar telah diciutkan dan akhirnya dibelah dua menjadi kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, bagi al-Palimbani Mataram adalah lambang perjuangan Islam, walaupun Sultan Agung sudah meninggal lebih dari satu abad lamanya, agaknya ia tetap mengharapkan akan ada pahlawan yang menggantikan Sultan Agung. Untuk hal itu beliau mengirimkan surat kepada Sultan Mataram dan Pangeran Singasari, namun dua buah surat tersebut jatuh ke tangan belanda. Dalam surat tersebut al-Palimbani merekomendasikan dua jamaah haji dari jawa yaitu Haji Basarin dan Haji Mukamat Idris agar mendapat kedudukan yang baik, di dalam surat tersebut beliau mengutip beberapa ayat al-Quran (surah al-Baqarah : 154, 269 dan Surat Ali-Imran : 169), dengan adanya surat ini M.C. Ricklefs menganggapnya sebagai bukti adanya campur tangan dunia Islam untuk mengobarkan Perang Suci di Jawa. Mengenai “perang suci atau Perang Sabil” merupakan spesialisasi al-Palimbani, menurut al-Palimbani inilah salah satu cara untuk menyelamatkan negara dari bahaya kolonial yang mencengkram[4].
Al-Palimbani sangat ahli mengenai tasawuf al-Ghazali dan secara tepat bisa dianggap sebagai penerjemah paling menonjol karya-karya al-Ghazali. Maha karya al-Palimbani, Sayr al-Salikin dan Hidayah al-Salikin dikaitkan erat dengan karya al-Ghazali Lubab Ihya ‘Ulum al-Din dan Bidayah al-Hidayah.
Al-Palimbani mengatakan bahwa ajaran wahdat al-wujud  Ibn ‘Arabi pada hakikatnya sama dengan intisari ma’rifah yang merupakan tujuan akhir dari tasawuf al-Ghazali.
Alam semesta yang merupakan penampakkan lahir (tajalli) Allah, bisa juga dikenal sebagai Esensi Mutlak yang berada di balik dan di atas segala sesuatu melalui pandangan batin—yang menurut al-Ghazali—adalah puncak ma’rifah kesufian tertinggi.

KARYA-KARYA ABD. SHOMAD AL-PALIMBANI
1.      Zuhrat al-Murid Fi Bayan Kalimat al-Tauhid

Lima Langkah Kreatif Menuju Sukses

Seringkali kita menyebut seseorang yang pandai menulis atau berhasil membuahkan hasil karya seni, sebagai seorang yang kreatif. Namun sebenarnya, yang disebut kreatifitas sejati, lebih baik dari apa yang dapat kita definisikan. Pada dasarnya, kreatifitas tak hanya dapat dilihat dari inovasi yang diciptakan oleh seorang penemu yang giat menciptakan hal-hal baru. Bahkan, kemampuan mengatur waktu bagi seorang ibu yang memiliki tiga anak, juga dapat disebut kreatifitas. Jadi, sebenarnya kita semua dapat jadi seorang yang kreatif asalkan tidak menutup pintu kreatifitas kita sendiri. Berikut ini merupakan lima langkah pemaparan agar kita dapat membuahkan kreatifitas.

Langkah PertamaBuat Pilihan Untuk Jadi Kreatif. Pertama, Anda harus menghapus pandangan tentang kretaif yang telah tertanam dalam kepala anda, sebab, kalau masih memikirkan kreatif dalam artian sempit, akan sulit bagi anda untuk membuka pintu kretifitas. Bangun tekad dalam pilihan anda ini dan petakan definisi kreatif dari diri anda sendiri, sertai pula dengan semua kriterianya guna mempermudah pencapaian. Ekspresikan kreatifitas anda dalam salah satu saluran tradisional (seni, musik, puisi dsb), atau lebih bagus lagi jika anda menemukan cara baru anda sendiri.
Langkah KeduaPerluas Cakrawala Anda. Kreatifitas biasanya tak datang dari wilayah yang telah Anda kenal. Menumbuhkan imajinasi kadangkala mengharuskan kita untuk memperluas cakrawala, namun seringkali untuk memulainya, kita tak pernah mengambil resiko keluar dari zona aman kita sendiri. Anda mungkin bisa memulai dengan mengunjungi tempat-tempat yang berbeda, misalnya mengunjungi kota yang berbeda, atau bahkan toko atau tempat makan yang berbeda dari biasanya. Pelajari sesuatu yang baru. Kalau perlu ikutlah kursus dan bangun keterampilan dalam bidang yang berbeda. Dan itu semua akan merangsang daya imajinasi Anda untuk berkreasi.
Langkah KetigaBuatlah Langkah Berani. Salah satu bagian dalam mengeksplorasi kreatifitas adalah mengambil sebuah kesempatan dan berani bertindak. Sisi tambahannya, ada banyak aturan di sini, jadi semua usaha tak akan sia-sia dan membawa keutungan.
Langkah KeempatHarapkan Sedikit Kegagalan dan Jadikan Dorongan Untuk Maju. Salah satu alasan utama menutup pintu kreatifitas adalah adanya ketakutan akan kegagalan. Sekali jatuh, atau bahkan mungkin beberapa kali, tak membuat anda lebih nyaman dalam meghindari kegagalan. Jika ini benar, tak satupun dari kita yang melakukan usaha belajar berjalan. Banyak dari inovasi mengagumkan di dunia ini bermula dari 'kegagalan.' Bahkan Thomas Edison harus melakukan usaha 50.000 kali hingga ia berhasil menemukan baterei alkalin yang masih kita gunakan hingga kini.
Langkah KelimaKenali Pencapaian Anda. Seringkali, kita semua melakukan kreatifitas atau membuat sesuatu yang baru, dan saat seseorang memberi pujian, kita lebih senang mengelaknya. Jangan memandang rendah setiap hasil yang anda capai, bahkan meskipun itu hanya sedikit peningkatan. Jika Anda terus mengelak hasil usaha yang anda capai, itu dapat menutup pintu kretifitas anda. Jika anda membuat sebuah kemajuan, yakinkan anda menghargaiitu, bahkan kalau perlu rayakan bersama teman atau keluarga.
Kali ini saya mau berbagi ide tentang bagaimana menjadi orang sukses dalam bidang apapun yang anda inginkan atau bidang yang sedang anda tekuni saat-saat ini. Apa yang saya bagikan disini bukanlah berdasarkan pengalaman tapi berdasarkan pengamatan yang seksama lalu kemudian ditarik kesimpulan yang diharapkan se-obyektif mungkin.

Kita pasti sudah banyak sekali membaca buku-buku biografi tentang orang-orang terkenal dan cerita tentang kesuksesan mereka. Anda juga mungkin sudah banyak sekali membaca buku-buku yang memotivasi anda untuk menjadi sukses. Sebagai orang yang normal, kita membaca buku-buku tersebut karena kita juga pasti punya mimpi-mimpi pribadi untuk mencapai kesuksesan dalam bidang yang kita masing-masing.

Pada dasarnya tidak ada ukuran yang baku untuk mengukur kesuksesan seseorang. Setiap orang memiliki prinsip dan penilaian yang berbeda-beda terhadap arti sebuah kesuksesan. Ada yang menganggap harus menjadi pengusaha, negarawan, selebritis atau olahragawan berhasil barulah dianggap sebagai sukses. Namun, tidak sedikit juga di antara kita yang menganggap kesuksesan dalam ruang lingkup yang lebih kecil seperti dalam komunitas, keluarga, atau pengaruh terhadap lingkungan sekitar sudah cukup dianggap sebagai sebuah kesuksesan.

Kesuksesan memang tidak selalu diukur melalui pengakuan atau apa yang keluar dari mulut orang lain. Pada sebahagian orang, terkadang kesuksesan diukur berdasarkan pencapaian pribadi dan menikmati hasilnya juga secara pribadi. Semua ukuran parameter di atas pada dasarnya sah-sah saja, bisa diterima dan tidak perlu diperdebatkan. Justru, apa yang saya mau bagikan disini lebih kepada apa bahan dasar yang dibutuhkan oleh kita untuk mencapai sebuah kesuksesan. Dan inilah kesimpulan yang saya dapatkan berdasarkan pengamatan itu.

Kreatifitas adalah akar dan awal dari semua kesuksesan kita. Mari kita selidiki. Coba anda bayangkan siapa saja dalam benak anda, orang yang anda anggap sudah sukses. Dalam hal ini, saya sedang membayangkan orang terkaya di dunia, Bill Gates. Kesuksesan beliau membangun perusahaan raksasa microsoft berawal dari kreativitas dia untuk mulai menulis program komputer dan kemudian dipakai oleh berbagai perusahaan hingga menjadi seperti sekarang ini. Saya tidak akan menjelaskan hal ini lebih detil. 

Tapi coba lihat, kreatif adalah sebuah kata sifat untuk menggambarkan sesuatu yang dari tidak ada menjadi ada, dari bahan mentah menjadi bahan jadi, dari sesuatu yang tidak berbentuk menjadi sesuatu yang indah, atau bahkan dari sesuatu yang tidak terpikirkan orang menjadi sesuatu yang bermanfaat buat orang. Dalam contoh ini, Bill Gates berkreasi membuat program komputer. Ford berkreasi membuat mobil. Abraham Lincoln, negarawan yang berkreasi menciptakan regulasi-regulasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Tiger Wood berkreasi mencari cara untuk menghasilkan pukulan golf yang akurat. Steven Spielberg, sutradara film yang berkreasi menghasilkan film-film box-office, dan masih banyak contoh lainnya.

Kreatifitas adalah awal yang baik tapi bukan akhir dari segala-galanya. Kreatifitas harus dibarengi dengan inovasi, kerja keras, focus, pantang menyerah dan nekat. Kreatifitas akan membuat orang-orang untuk terus menerus berinovasi dan memperbaiki hasil kreasi mereka, berkerja keras dan tidak mengenal lelah, fokus terhadap hasil kreasi mereka, pantang menyerah menghadapi kritikan dan cemoohan, serta nekat. Orang kreatif adalah orang yang menciptakan sesuatu, terus-menerus mengembangkannya, memperjuangkan habis-habisan hingga pada akhirnya diterima orang lain sebagai sesuatu yang bermanfaat buat diri mereka.

Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan pada dasarnya sudah dibekali kemampuan untuk mencipta dan berkreasi untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya bagi dirinya sendiri tapi juga bagi orang lain. Sifat kreatif yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada kita sudah sepatutnya digali, dikembangkan dan pada akhirnya dibagikan manfaatnya untuk orang lain. Kreatifitas itu adalah sesuatu tidak akan ada habis-habisnya. Dia akan selalu dinamis, bertumbuh dan menghasilkan buah. Ketika orang mulai berhenti berkreasi, dia akan otomatis statis, berhenti bertumbuh dan berhenti menghasilkan buah. Dan hal ini jugalah yang membuat kenapa banyak orang tidak bisa sukses dan berhenti pada suatu titik.

Buitenzorg, Rain City
20.14 – 27 Okt 2011

Partisipasi Publik di Ranah Hukum; Putusan MK Atas UU Sisdiknas

Lahirnya UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau yang lebih dikenal dengan UU Sisdiknas memberikan angin segar tidak hanya kepada mereka yang terlibat di dunia pendidikan tetapi juga memberikan ekspektasi besar terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Suatu hal lumrah paska lahirnya suatu undang-undang memunculkan paradoks di tengah masyarakat; pro atau kontra; puas atau tidak puas terhadap isi atau redaksinya. Proses panjang lahirnya sebuah undang-undang tidak serta merta menjadikannya sebagai suatu produk yang “sempurna” jadi dan diperlukan adanya interaksi yang dinamis.

Apabila interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau Das Sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan atau Das Sein terus berlangsung, maka penegakan hukum diharapkan dapat mencerminkan wujud keadilan atau kesejahteraan yang dicita-citakan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukan suatu politik penegakan hukum sebagai upaya-upaya untuk melakukan perencanaan pembentukan peraturan hukum (legal planning), pengkordinasian (coordinating), penilaian (evaluating), dan pengawasan (controlling) dan pemantauan (monitoring) yang terukur terhadap kualitas produk hukum, yang notabene terbuka bagi masyarakat untuk terlibat.      

Di semua level tersebut, partisipasi masyarakat sangat penting karena mencerminkan sebuah relasi konstruktip antara pemerintah dan masyarakat. Posisi masyarakat bukan hanya sebagai objek pembangun, namun juga sebagai subjek dari sebuah perkembangan. Di era sekarang ini, fenomena gugatan terhadap suatu undang-undang adalah cerminan positip dari sebuah proses pembelajaran menuju demokrasi seutuhnya di negara yang dianggap negara ke-3 terbesar yang mempraktikkan demokrasi.

Sejak amademen UUD 1945 dilakukan, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan institusi Negara yang memberikan kontribusi positif pada lahirnya sistem penegakan hukum yang berwibawa dan berkeadilan. Kehadiran MK dengan jelas membuka ruang uji materiel atas suatu peraturan perundang- undangan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan tidak memenuhi harapan masyarakat. Pembatalan suatu peraturan perundang-undangan oleh MK adalah wujud perlindungan akan hak hak konstitusional warga negara untuk diperjuangkan agar kesepakatan putusan politik DPR dan pemerintah yang tidak aspiratif dapat diubah menjadi lebih berpihak pada harapan masyarakat.

Uji materi yang diajukan perwakilan sekolah swasta terhadap Pasal 55 Ayat (4) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 dipenuhi Mahkamah Konstitusi dalam sidang terbuka di Jakarta beberapa waktu lalu merupakan satu contoh kecil dari puluhan kasus lain yang telah diputuskan MK.
Putusan MK ini menyikapi gugatan dari saudara Machmudi Masjkur (Perguruan Salafiyah Pekalongan) dan Suster Maria Bernardine (Perguruan Santa Maria Pekalongan) terhadap Pasal 55 Ayat (4) UU Sisdiknas Tahun 2003. Mereka memandang selama ini kata “dapat” dalam pasal tersebut dimaknai Pemerintah pusat dan daerah sebagai bisa memperoleh bantuan atau bisa tidak memperoleh bantuan. Sehingga yang terjadi di lapangan seolah-olah Pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap sekolah swasta. Terbukti banyak sekolah swasta yang merasa dianaktirikan. Mereka merasa sekolah negeri lebih diperhatikan layaknya anak emas. Terutama dalam hal pengalokasian dana bantuan maupun sumber daya pendukung lainnya.

Namun kini sekolah-sekolah swasta boleh merasa lega dan bergembira. Sebab dalam keputusan sidang terbuka September lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan supaya kata “dapat” dalam Pasal 55 Ayat (4) Sisdiknas Tahun 2003 diganti dengan kata “wajib.” Itu artinya Pemerintah wajib membantu sekolah-sekolah swasta, terlebih pada jenjang pendidikan dasar. Hal ini tidak bisa dipungkiri lagi demi terwujudnya pemerataan mutu pendidikan yang berkeadilan. Sehingga diharapkan tidak ada lagi sekolah swasta yang merasa dianaktirikan dan tidak diperhatikan oleh Pemerintah.

Perlu dipahami bersama bahwasanya Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengikat Pemerintah pusat maupun daerah. Artinya masing-masing daerah turut wajib melaksanakan keputusan MK tersebut. Apalagi selama ini daerah memiliki anggaran pendidikan yang bersumber dari APBN dan APBD. Dalam pengalokasian anggaran tersebut sebaiknya harus proporsional dan berkeadilan antara sekolah swasta dan sekolah negeri.

Putusan MK tersebut harus diartikan sebagai sebuah sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dan jangan dijadikan sebagai oposisi biner di antara keduanya. Inilah adalah satu contoh baik dari suatu relasi seimbang (balance) antara pemerintah dan masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan bersama masyarakat, terutama melalui institusi sosial seperti institusi pendidikan yang dikelola masyarakat dalam ranah hukum. Semoga semakin banyak bentuk relasi serupa di setiap ranah kehidupan kita karena esensi hukum memiliki fungsi: “menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.”

oleh Dontknowathing Aboutme pada 14 Oktober 2011 jam 13:06

KUMPULAN TAFSIR TARBAWI

BAGIAN I (Al-Alaq: 1-5. Al-Ghasyiyah: 17-20)
Pada surat al-Alaq ayat1-5 merupakan ayat yang pertama diturunkan Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw, merupakan ayat yang berisi kewajiban belajar bagi manusia sebagai makhluk ciptaannya yang mulia dikarenakan diberikannya akal dan juga hina jikalau tidak berilmu oleh karena itu dalam ayat ini Allah menyuruh Muhammad sebagai utusannya untuk membaca, membaca dan membaca sehingga mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh manusia. Maka dengan membaca manusia dapat mengasah otak dan menjadikannya manusia yang pandai dan mampu mengoptimalkan akalnya yang telah diberikan kepadanya, oleh karena itu manusia wajib belajar untuk mengoptimalkan fungsi akalnya.

Teologi Kontemporer

RADIKALISME DAN SEJARAHNYA
DALAM KOMUNITAS MUSLIM DI INDONESIA

Dalam masa reformasi ini, diskursus-diskursus mengenai kebebasan dan kemanusiaan muncul keluar dengan segala kebebasannya. Seakan keluar dari penjara otoriter pemerintah yang membungkam kreatifitas dan kebebasan masyarakatnya. Salah satu diskursus yang tidak kalah penting pada lima tahun terakhir ini adalah kebangkitan Islam. Banyak gerakan-gerakan yang muncul akibat refleksi situasi yang semakin menggerogoti dan mengancam kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Gerakan-gerakan yang muncul ini disebut gerakan radikal. Disebut seperti itu, karena para anggotanya bertindak anarkis dalam menyikapi situasi masyarakat yang tidak sejalan dengan syari’at. Mereka melihat dalam kehidupan masyarakat terjadi penyimpangan-penyimpangan agama maupun moral yang jauh dari ajaran Islam. Untuk menyikapi hal tersebut, gerakan-gerakan ini berusaha merealisasikan apa yang diidealkan agamanya (Islam). Tapi, akibat tidak adanya respon balik dari pemerintah dan malah cenderung menghalangi gerakan ini, timbul lah tindakan-tindakan anarkis.

PEMBAHASAN
Radikalisme Islam yang muncul di Indonesia, akibat dari faktor lambannya pemerintah dan organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah dalam menangani kasus-kasus di atas yang disertai dengan perjuangan merealisir konsep dalam al Qur’an dan sunnah, yakni implementasi syari’at Islam. Dalam konteks internasional radikalisme Islam tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di negara-negara mayoritas muslim. Atau bahkan terjadi di negara, dimana Islam dijadikan sebagai agama negara, seperti Mesir, Iran, Palestina dsb.
Perkembangan gerakan ini semakin menguat setelah terjadi peristiwa 11 september yang menimpa gedung WTC milik AS. terjadinya tragedi ini, AS dan sekutunya menuduh kalangan Islam sebagai pelakunya.  Lebih-lebih menyamakan gerakan-gerakan Islam militan dengan gerakan teroris. Usai tragedi 11 September 2001 diskursus gerakan-gerakan radikal Islam marak dibahas bersanding dengan wacana terorisme. Sebab, Amerika yang dirundung duka itu mengasumsikan bahwa Osama Bin Laden dan kroninya —yang notabene muslim fundamentalis— adalah dalang di balik serangan itu. 
Realitas politik nasional maupun internasional yang demikian itu, dirasa telah meyudutkan Islam, dimana hal ini telah mendorong kalangan fundamentalis Islam untuk bereaksi keras. Dalam hal ini. Dengan menampilkan diri sebagai gerakan radikal, fundamentalisme mengecam keras kebijakan-kebijakan politik AS, diantaranya dengan menunjukkan simbol-simbol anti-AS.
Istilah radikalisme dan fundamentalisme Islam
Istilah radikalisme dan fundamentalisme Islam sebenarnya sangat berkaitan erat. Kedua istilah ini sebenarnya berangkat dari kebangkitan Islam politik akibat diskriminasi terhadap Islam. Dalam beberapa literatur, istilah Islam politik, radikalisme atau neofundamentalisme atau revivalisme Islam memiliki tafsiran yang cenderung sama. Para tokoh Islam Barat maupun Timur punya pandangan sendiri tentang istilah-istilah tersebut. John L. Esposito (1997) misalnya, menyamakan istilah Islam politik dengan (fundamentalisme Islam) atau gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara Oliver Roy (1994) cenderung menafsirakan Islam politik sebagai kelompok-kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai idiologi politik. Sedikit berbeda dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang ia sebut sebagai gerakan neo fundamentalism yang antara lain menghendaki pemberlakuan syari’at Islam.[1] 
Istilah radikalisme umumnya dipakai oleh para akademisi dan kalangan media massa, yang merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang ekstrim, militan, dan non toleran serta anti Barat/Amerika. Lebih-lebih setelah ultimatum Presiden AS George W. Bush, tentang perang melawan terorisme pasca tragedi 11 september 2001, kedua istilah tersebut dicampur adukan dengan terorisme.dan tak jarang pula cap fundamentalisme diberikan oleh semua orang Islam yang menerima Qur’an dan Hadits sebagai satu-satunya jalan hidup. Dengan demikian, jargon “kembali kepada agama” dalam politik dan masyarakat tercakup dalam istilah Fundamentalisme Islam (Esposito, 1994)
Menurut Esposito lagi, persepsi istilah fundamentalisme Islam, dipengaruhi oleh sebuah gerakan Protestanisme abad ke-20. Tapi menurut tokoh Timur, M. ‘Âbid al-Jâbirî, awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al-Afghânî. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa tak punya istilah padanan yang tepat untuk menterjemahkan istilah Salafiyyah. Hingga Anwar Abdul Malik pun memilih istilah itu sebagai representasi dari istilah Salafiyyah Al-Afghânî, dalam bukunya Mukhtarât min Al-Adab Al-Arabi Al-Mu‘âshir (1965: berbahasa Prancis), dengan tujuan memudahkan pemahaman dunia tentangnya dengan istilah yang sudah cukup akrab: fundamentalisme.[2]
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi. Professor filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa “fundamentalisme Islam” adalah istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu sering digunakan oleh banyak pemikir.[3] Kalau al-Jâbirî dan Hanafi cenderung adem ayem dengan pematokan istilah tadi, M. Said al-Asymawi cenderung mirip dengan pendapat Esposito dan berusaha mencari akar peristilahannya. Sebelum al-Asymawi menggunakan istilah itu, ia berusaha mengungkap makna awal dari istilah ‘fundamentalis’.
Dalam buku Al-Islâm Al-Siyasî (1987), al-Asymawi berkata bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrem dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islam pun muncul.[4]
Semua pendapat dan argumen-argumen para tokoh di atas, dapat ditemukan makna sama yang akhirnya berujung dari tindakan radikal anarkis. Dari ungkapan istilah itu pula, ditemukan semacam pengertian bahwa fundamentalisme merupakan semacam ideologi agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Dan fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali pada ajaran agama dihalangi oleh situasi sosial politik yang mengelilingi masyarakat. Sebenarnya jika radikalisme yang dimaksud hanya sebatas pandang ideologis, artinya hanya bersarang pada pemikiran, hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi, jika harapan merealisir fundamentalisme dihalangi oleh kekuatan politik, maka radikalisme akan meluas menjadi suatu kekerasan. Konflik terbuka pun tidak dapat di hindari.
Faktor dan Awal Munculnya Radikalisme Islam di Indonesia
            Sebenarnya kebangkitan Islam di Indonesia baru muncul sekitar tahun 1980-an. Yaitu gejala-gejala agama yang muncul secara dominan yang ditandai oleh menguatnya kecenderungan masyarakat untuk kembali pada agama dengan mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa sebelumnya, yakni tahun 1970-an, sudah muncul kesadaran masyarakat Islam secara lebih nyata. Hal itu terlihat pada simbol-simbol Islam yang muncul serentak pada kampus sekuler (non-agama) ditandai dengan banyaknya perempuan-perempuan pemakai jilbab. Gerakan keagamaan lama sebelum itu sudah eksis diantaranya NU dan Muhammadiyah.
            Bangkitnya Islam di Indonesia, telah terdorong oleh faktor-faktor tertentu yang berasal dari dalam maupun luar Islam. Beberapa upaya yang menandai gerakan-gerakan Islam Indonesia antara lain: 1) menemukan bentuk pemahaman ajaran-ajaran Islam yang perlu untuk dirumuskan dan disodorkan sebagai alternatif terhadap system yang berlaku. 2) menerapkan ajaran Islam secara praktis-tidak hanya sebagai konsep-konsep yang abstrak. 3) meningkatkan keberagaman masyarakat. kelemahan Islam dalam politik dan peminggirannya pada masa orde baru, membuat Islam jadi frustasi. Karena tahun 1980-an, Islam sampai pada jalan yang buntu, beberapa intelektual Islam mengajukan alternative dengan media kampus. 4) melakukan purifikasi keagamaan, dalam hal ini ada dugaan Islam telah terdistorsi karena Islam dipahami dan ditafsirkan secara parsial.[5]
Kehadiran gerakan-gerakan Islam yang di tandai faktor-faktor di atas, sangat kontekstual. Karena rezim Soeharto pada waktu itu membatasi dan mengawasi gerakan-gerakan Islam yang muncul. Dengan demikian, situasi sosial-politik dan kultur yang mengelilingi masyarakat Islam di Indonesia telah mendorong lahirnya berbagai gerakan keagamaan ini. Tapi gerakan-gerakan Islam ini baru bisa muncul  pasca revolusi 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto lengser. Pada masa orde baru gerakan-gerakan radikalisme Islam nyaris tidak tampak sedikitpun. Disebabkan karena otoritarianisme orde baru yang menerapkan sistem pemerintahan tunggal. Sistem yang bertumpu pada UUD dan Pancasila. Sehingga kelompok-kelompok yang menginginkan adanya penerapan syari’at Islam dalam sistem pemerintahan segera dibungkam dan disingkirkan. Tindakan-tindakan yang menggoyang stabilitas nasional dihempas.
            Dengan berakhirnya pemerintahan orde baru, pintu demokrasi terbuka lebar. Gerakan-gerakan yang berbasis Islam sebagai ideologi, pada masa orde baru mulai bermunculan, dengan mendirikan partai politik, LSM, majlis ta’lim, dll, dan menjual ide ke wilayah publik bahkan berani mensosialisasikan konsep khilafah sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Seperti yang terjadi pada organisasi Islam, HTI. Gerakan-gerakan radikal di Indonesia ini semakin bertambah banyak dan meluas karena juga pengikut-pengikutnya kian bertambah. Tapi gerakan-gerakan ini berbeda-beda dalam sistematisasi organisasi ataupun tujuannya. Gerakan-gerakan di Indonesia yang sudah dicap radikal dengan segala sepak terjang militansinya antara lain FPI (Front Pemebela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS). 
Demikian halnya dengan keadaan sosial politik yang dialami muslim fundamentalis Mesir sebelum Jamaat Jihad didirikan. Pada bulan September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Lalu aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Dan dalam penjara mereka mendirikan Jamaah Jihad. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 1981, kelompok yang berpegangan pada buku radikal “Al-Faridzah Al-Ghaibah” karya Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat terlihat bahwa gerakan radikalisme secara sosiologis, timbul karena tertindas atau tertekan.     
Dengan basis ideologi Islam, gerakan-gerakan radikal Islam ini tidak melulu ingin menerapkan syari’at Islam dalam sistem pemerintahan, tetapi juga ada yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, disamping ingin menegakkan berdirinya kekhilafahan Islam, sebagaimana yang diteriakkan oleh HTI. Dalam sejarah, Gerakan “Darul Islam” yang diperkenalkan oleh Kartosuwiryo adalah contoh klasik yang memasukkan Islam untuk mendorong berdirinya negara Islam. Walaupun mempunyai sistem perjuangan yang berbeda-beda, umumnya gerakan-gerakan ini memiliki persamaan dalam satu hal, yaitu menghendaki penerapan syari’at (hukum) Islam di bumi Nusantara.[6] Disamping itu, gerakan-gerakan ini juga memiliki latar belakang berbeda sebagai sebab kemunculannya. 
Dari konteks sosial, MMI misalanya,lahir sebagai respon dari kondisi ekonomi dan politik yang makin tak berdaya menghadapi tekanan kekuatan asing (khususnya AS). FPI muncul sebagai reaksi atas maraknya kemaksiatan dan premanisme yang makin tak terjangkau oleh hukum. Akibat ketidakmampuan pemerintah mengatasi konflik di tingkat lokal, Laskar Jihad (LJ) muncul berusaha menghentikan persoalan-persoalan dari konflik tersebut. Kedua terakhir ini, dapat dikategorikan radikal bukan hanya mereka mempertahankan negeri dari gangguan imperalis asing, tetapi juga karena mereka mempunyai agenda politik untuk menegakkan norma-norma Islam.
Sedangkan munculnya HTI, lebih merupakan reaksi dari ketidakadilan tata hubungan antar bangsa yang makin didominasi Barat. Gerakan ini terinspirasi gerakan international dengan nama serupa. Meskipun demikian, HTI lebih cerdik dan praktis dalam mensosialisasikan ide-ide mereka melalui media elektronik. Seperti internet atau media publikasi lainnya. Mereka juga sering mencurahkan ide-idenya dalam sebuah diskusi ataupun pengajian. 
Ekstrimitas yang diperlihatkan oleh gerakan-gerakan radikal Islam tersebut, membawa kecenderungan umum dari masyarkat untuk mengait-ngaitkan mereka dengan jaringan radikalisme Islam di luar negeri. MMI misalnya, majelis yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir ini diduga memiliki hubungan dengan Jama’ah Islamiah yang juga dianggap sebagai gerakan teroris Asia tenggara. Selain itu, asumsi-asumsi akibat gerakan-gerakan itu bergeser pada lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren. Pesantren diduga melahirkan pemikir-pemikir ekstrim dan radikal yang berpegang teguh pada agamanya.
Pemikiran dan Tindakan Radikalisme Islam
Untuk memahami radikalisme di kalangan Islam ini, perlu dilihat dan ditelah peran agama dan keterikatan pemeluk agama tersebut. Dalam tataran teoritis, sebuah agama tentunya ada konsep yang menjadi nilai penting bagi setiap pemeluknya yaitu fanatisme dan toleransi. Kedua konsep tersebut harus terpraktekkan secara proporsional oleh para pemeluknya. Kalau tidak maka kemungkinan besar akan menjadikan ketidaksetabilan dalam tatanan masyarakat antar para pemeluk agama. Ketika salah satu konsep ditekankan, artinya salah satu lebih besar dalam realisasinya, misalnya sikap fanatismenya terlalu kuat dan toleransinya lemah. Hal itu akan memunculkan sikap permusuhan terahadap agama lain. karena memandang bahwa agamanya lah yang paling benar.
Tetapi jika sebaliknya, yakni toleransi lebih kuat dari pada fanatisme, maka rasa bangga terhadap agama tidak ada. dengan demikian, agam tidak lebih hanya sebuah ritual belaka yang tidak punya makna apa-apa. Karena agama bersangkutan sama derajatnya dengan agama-agama lainnya. Oleh Karena itu keseimbangan dalam mempraktekkan dua konsep tersebut sangat diperlukan. Dilihat dari berbagai sisi, faktor-faktor penyebab radikalisme Islam di Indonesia cukup beragam. Dari sisi idiologisnya, yakni faktor ajaran dan normanya, gerakan ini percaya bahwa alqur’an dan sunnah adalah kebenaran yang absolut. Pikiran intinya adalah Hakimiyyat Allâh. Yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariat-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya.[7] Kebenaran absolut yang diajarkan agama ini dapat mendorong para pemeluknya untuk cenderung menafikkan agama lain. 
Landasan berpikir pikiran tadi berupa kalimat tauhid lâ ilâha illa Allâh. Yang berarti; tiada tuhan selain Allah, dan tiada otoritas dan syari’at kecuali syariat dan otoritas Allah. Sehingga, ia berimplikasi epistemologis pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah, dan berimplikasi epistemologis pada pemberian label musyrik, kafir, fasik dan zalim bagi siapa saja yang tak menegasi selain Allah dan syariat-Nya. Al Qur’an dan sunnah sebagai landasannya, memunculkan berbagai interprestasi. Tergantung bagaimana individu dengan basis pengetahuannya. Dari interpretasi itu muncul suatu yang diidealkan berkaitan dengan kehidupan masyarakat Islam.
Dari gambaran ideal itu, muncul doktrin-doktrin seperti bagaimana membentuk dan mengatur masyarakat berdasarkan hukum illahi. Dari sini para pemeluk agama dituntut untuk menjalankan norma-norma dalam al-Qur’an secara maksimal. Dalam situasi tertentu, tuntutan ajaran seperti ini memunculkan sikap-sikap radikal yang bahkan dengan kekerasan  karena hal itu berkaitan baik dengan upaya keras melaksanakan ajaran agama atau meluruskannya ketika agama dianggap telah disimpangkan. Dengan kata lain, konsep-konsep al Qur’an telah membentuk suatu yang menuntut semua muslim untuk  membangun tatanan sosial politik mereka sesuai dengan moralitas dan etika al Qur’an. Dalam sejarah Indonesia, sikap ini diperlihatkan oleh penolakan umat Islam terhadap kehadiran Belanda menciptakan suatu tatanan masyarakat jauh dari ideal.
Dari kelanjutan penafsiran terhadap Islam, diasumsikan ada beberapa sikap umum yang muncul. Karena memang bersifat umum maka pemahaman yang muncul cukup berpariasi. Khususnya dalam memahami tiga isu yang menjadi pandangan kalangan Islam fundamentalisme yaitu implementasi syari’at Islam, bentuk Negara Islam Indonesia dan Khilafah Islamiyah. Kalau pemahaman sebagai hasil interprestasi bervariasi maka sikap untuk menindaklanjuti berbeda-beda bahkan diantara para fundamentalis sendiri. Perbedaan tindak lanjut dari pemahaman ketiga isu tersebut ada yang hanya sebatas wacana (radikal dalam pemikiran) dan sikap yang diikuti oleh tindakan dalam tataran aksi (radikal dalam tindakan).
Melihat pemikiran dan tindakan fundamentalisme ini, maka yang perlu diberikan padanya adalah formalisasi syari’at Islam melalui keputusan politik formal. Ini sangat penting, karena landasan hukum yang kuat sangat dibutuhkan. Tapi pemerintah dapat mendukung masalah-masalah syari’at hanya pada persoalan ibadah, muamalah dan munakahah. Aspek lainnya, yaitu jinayah belum terwujudkan. Karena masalah jinayah (pidana) akan melibatkan negara, sehingga pemutusan untuk merealisirnya harus melalui formal pemerintahan. Kembali pada fundamentalis, dalam pandangan mereka penerapan syari’ah harus diwujudkan secara kaffah (menyeluruh) agar sistem dapat berjalan secara sempurna.
Tetapi banyak kalangan Islam moderat yang diam-diam tidak setuju dengan konsep syari’at mereka. Karena kebanyakan melihat bagaimana penerapan jinayah yang di dalamnya terdapat hukum qishah. sudah jelas bahwa penerapan hukum Islam tidak disetujui mayoritas Islam Indonesia. Walau bagaimanapun sebagai umat Islam yang berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah, kalangan fundamentalis Islam tetap meyuarakan apa yang diyakini mereka dengan tetap pada koridor yang sah. Dan sebagai umat Islam yang tidak termasuk golongan radikalisme Islam, sebaiknya tetap menghormati dan memberi apresiasi terhadap apa yang diperjuangkan mereka. Karena walaupun begitu, mereka (fundamentalis radikal) bermaksud menawarkan alternative yang terbaik terhadap kondisi sosial-politik yang tak kunjung damai.
KESIMPULAN
Dalam pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa Fenomena munculnya radikalisme muslim di Indonesia dikarenakan banyak sebab,  salah satunya di pemerintahan orde baru banyak terjadi kemerosotan di bidang ekonomi, sosial, moral dan budaya ditandai maraknya KKN dan banyaknya pelanggaran HAM,  dalam menjalankan roda pemerintahannya sehingga banyak kekecewaaan yang dialami rakyat Indonesia yang berujung terjadi peristiwa reformasi di Negeri ini.
Radikalisme Islam di Indonesia juga telah terdorong oleh faktor-faktor tertentu yang berasal dari dalam maupun luar Islam. Beberapa upaya yang menandai gerakan-gerakan Islam Indonesia antara lain: 1) menemukan bentuk pemahaman ajaran-ajaran Islam yang perlu untuk dirumuskan dan disodorkan sebagai alternatif terhadap system yang berlaku. 2) menerapkan ajaran Islam secara praktis-tidak hanya sebagai konsep-konsep yang abstrak. 3) meningkatkan keberagaman masyarakat. kelemahan Islam dalam politik dan peminggirannya pada masa orde baru, membuat Islam jadi frustasi. Karena tahun 1980-an, Islam sampai pada jalan yang buntu, beberapa intelektual Islam mengajukan alternative dengan media kampus. 4) melakukan purifikasi keagamaan, dalam hal ini ada dugaan Islam telah terdistorsi karena Islam dipahami dan ditafsirkan secara parsial.
DAFTAR PUSTAKA

Afadlal dkk. 2005 “Islam dan Radikalisme di Indonesia”. LIPI, Jakarta 
Sayyid Quthub, 1992. Ma‘âlim fî al-Tharîq, Dâr Syurûq, Cairo
M.Said al-‘Asymâwî, 1978. Al-Islâm al-Siyâsî,   Sina li Nasyr , Cairo.
M.‘Âbid al-Jâbirî, 1990. Dlarûrah al-Bahts ‘an Niqath al-Iltiqâ li Muwâjahah al-Mashîr al-Musytarak, dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar aL-Masyriq wa al-Maghrib Sina li Nasyr, Beirut.






















[1] Afadlal dkk., Islam dan Radikalisme di Indonesia,  (Jakarta : LIPI Press 2005) hal. V.
[2] M.‘Âbid al-Jâbirî, "Dlarûrah al-Bahts ‘an Niqath al-Iltiqâ li Muwâjahah al-Mashîr al-Musytarak", dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar aL-Masyriq wa al-Maghrib, (Beirut: Muassasah Al-Arabiyyah, 1990), h. 32-34.
[3] Hassan Hanafi, Al-Ushûliyyah wa al-‘Ashr, dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar AL-Masyriq wa al-Maghrib, h. 23.
[4] M.Said al-‘Asymâwî, Al-Islâm al-Siyâsî, (Cairo: Sina li Nasyr,1987) h.129.
                [5] Afadlal dkk. “Islam dan Radikalisme , …, hal. v
                [6] Ibid. hal. 113.
                [7] Sayyid Quthub, Ma‘âlim fî al-Tharîq, (Cairo: Dâr Syurûq, 1992), h.10-11dan 67.

Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...