SUHRAWARDI MAESTRO FILSAFAT ISYRAQIYAH / ILUMINASI

Isyraq dapat berarti cahaya awal pada saat pagi hari, seperti cahaya matahari dari arah timur. Cahaya dari “timur” bukan tempat secara geografis tetapi awal cahaya. Filsafat isyraqiyah dapat berarti filsafat ketimuran, ada mengatakan sebagai filsafat iluminatif. Filsafat isyaraqiyah adalah pengetahuan dan pertolongan, ketika manusia tertolong dan tercerahkan, maka ia dapat menyesuaikan diri dalam alam semesta dan akhrinya bermuara kepada kehidupan atau tempat kediaman azali. Menurut Sayyed Hossein Nasr jagad bayangan kegelapan keberadaan kehidupan manusia berada di barat yaitu dunia yang wujud tidak memperhitungan dimana manusia menetap secara georafis.

Nasr mengatakan pengetahuan iluminatif dimungkinkan berhubungan dengan tatanan–tatanan malaikat, mentrasformasi kebaradaan manusia dan menolongnya. Malaikat adalah instrumen iluminasi karena malaikat dianggap penyelamat. Manusia telah mengalami semacam kelengseran dari dunia cahaya sinyal dan dikembalikan kepada dunia dan menyatu kembali dengan sifat kemalaikatan. Malaikat dianggap sebagai karib terpercaya, dimana posisi manusia menjadi bagian tidak terpisahkan, dipercaya dan dianggap suci dari campuran dan tergolong murni sempurna.

Filsafat Isyraqiyyah atau iluminasionisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi. Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu.

Filsafat isyraqiyah menggambarkan sebuah bahasa simbol secara imanen, suatu dunia sangat luas, berdasarkan simbol cahaya dan “timur” meruntuhkan batas-batas kosmologi Aristotelian dan termasuk batas-batas akal rasional yang di definisikan Aristotelian. Suhrawardi mempunyai kemampuan membuat sesuatu metafisika cahaya/nur secara esensial dalam bentuk kosmologi, yang sulit di deteksi padanan kemuliaannnya dan keindahannya. Suhrawardi menghadapkan pencari yang gigih dan tanggguh, melalui media ruang kosmik dan mengantarkan seseorang kepada realitas nur sejati, nur sejati itu adalah keberadaan “timur”.

Perjalanan bersifat filosofis dan spiritual manusia dibimbing oleh suatu pengetahuan, yang merupakan cahaya itu sendiri, hal ini didasarkan bahwa ilmu adalah cahaya, Nabi Saw mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya, orang bersih akan mendapatkan cahaya ilmu. Suhrawardi mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya dan tidak semua orang akan mendapatkannya. Dalam karya terakhirnya Suhrawardi menyatakan bahwa tidak semua manusia dapat menerima cahaya ilmu tersebut, hal ini dijelaskan dalam bukunya Hikmah al-Isyraq, Manusia dapat mengetahui setelah jiwa manusia bersih, suci, batinnya suci, berlatih dengan keras, latihan-latihan bersifat filosofis secara terus-menerus dengan tingkat latihan keras dan sungguh-sunguh, latihan tersebut untuk menundukkan hawa nafsu dan nafsu batin ruhani.

Untuk orang-orang terpilih ajaran isyraqiyah menampakkan suatu pengalaman dan pengetahuan batin, kebijaksanaan, kekal/shopiaperennis, memancar dan tertransformasikan, menghilangkan dan membangkitkan manusia mencapai tingkat pleroma dan dunia cahaya kosmik. Pada abad VII/XVI di tandai dengan penyesuaian besar berbagai aktivitas filsafat Islam, pada waktu Persia menjadi ajang pengembangan filasafat Islam, periode ini filsafat Ibnu Sina dikembangkan, dibangkitkan kembali oleh Nasir al Din al-Tusi, beliau adalah tokoh paripatetik Islam terkenal. Komentarnya tentang isyarat wa i-tanbihat dan reponnya terhadap kritik-kritik Fakhr al- Din al -Razi terhadapa Ibnu Sina, memberi pengaruh besar terhadap filsafat Islam.

Filsafat Isyraqiyyah pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filosof Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbatkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.

Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, melanjutkannya dengan menolak penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar sepasang argumen berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).

Biografi Suhrawardi
Syihâbu Al-Dîn Yahyâ ibn Habasy ibn Amîrak Abû Al-Futûh Suhrawardî adalah pribadi yang sangat dikenal dalam sejarah filsafat Islam, khususnya ketika ia berhasil mendirikan faham filsafat baru dengan epistemologi yang dikembangkan dari tradisi dan kepercayaan Persia kuno. Filsafat yang dikenal dengan nama Iluminasi (Isyrâq) secara metodologis dan epistemologis sangat berkebalikan dengan pendekatan kaum Peripatetik yang mendahulukan rasio dan memarjinalkan intuisi dan imajinasi yang tersimpan dalam jiwa manusia.

Suhrawardî lahir di kota kecil Suhraward di Persia barat laut, tepatnya pada tahun 549 H/1154 M, saat umat Islam Timur mengalami puncak peperanganan dengan bangsa Mongol di kawasan Azerbaijan. (Henri Corbin, 1983. 304) Imbas keadaan itu terjadinya penjamuran gerakan spiritualis yang mencoba menenangkan kejiwaan warga, dan sekaligus menumbuhkan semangat nasionalisme melawan bangsa-bangsa Kolonial.
Walaupun demikian adanya, informasi yang diberikan sejarah mengenai perjalanan filosof satu ini (Suhrawardî) relatif komplit dan luas. Meskipun situasi dan kondisi di sekitar kematiannya tetap menjadi objek spekulasi bagi para sejarahwan yang mengkajinya. Filosof yang dikenal sebagai guru besar Iluminasi, menjalani kehidupannya yang sangat singkat, mungkin sekitar tiga puluh delapan tahun Qomariah, atau kurang lebih; tiga puluh enam tahun Syamsiah. Dan di akhir hayatnya ia menemui kematian yang tragis melalui eksekusi mati di Aleppo (Halab, Suriah) pada tahun 587 H/1191 M, dan karena itulah terkadang ia disebut sebagai Guru Besar yang terbunuh (Al-Syekh Al-Maqtûl). (Moh Ali Abû Rayân, 1959. 11).

Lembaran agenda intelektual Suhrawardî diawali dengan belajar filsafat dan teologi pada Majd Al-Dîn Al-Jillî di Maraghah, yang kemudian dilanjutkan ke Isfahân (Mardîn) untuk belajar kepada Fakhr Al-Dîn Al-Mardanî, yang konon pada pandangan pertamanya telah meramalkan kematian tragis Suhrawardî. Setelah beberapa tahun belajar bersama Al-Mardanî, Suhrawardî  merasakan kemapanan di jenjang awal ilmu filsafat dan teologinya, yang kemudian meminta izin melanjutkan pengembaraannya bersama Zahir Al-Farsî ke seorang tokoh logikawan besar, ‘Umar ibn Sahlan Al-Shawî (w. 594 H/1198 M. Dan darinya Suhrawardî mempelajari logika super pada mahakaryanya Al-Bashâir. Sebuah karya penting yang berhasil membentuk logika visi Iluminasi, yang secara global telah menyimpang dari pembagian logika Aristoteles—logika sembilan—dalam bukunya Organon. Dalam buku tersebut Aristoteles hanya mengakui dua bentuk logika saja; logika formal dan logika material. Sedangkan formasi baru yang ditawarkan Suhrawardî menggunakan sistem yang lebih sederhana, dan membagi logika pada tiga bagiannya; semantik, logika formal dan logika material. (Mahmûd Muhammad Ali, 1999. 62)

Kesempurnaan intelektual berhasil diraihnya dalam waktu singkat, sehingga pada umur tiga puluh tahun ia telah menuntaskan karya filsafatnya yang lain Al-Masyâri wa Al-Muthârahât yang diselesaikan pada 579 H/11883 M. Adapun karya-karyanya yang lain disusun dalam bentuk risalah (surat) selama sepuluh tahun, waktu yang tidak cukup panjang dalam mengembangkan dua gaya filsafat khasnya; gaya Iluminasionis yang kemudian disusul dengan demonstrasi Peripatetik. Satu lagi kekhasan yang sering diperlihatkan Suhrawardî dalam surat-surat filosofisnya, adalah memberikan rujukan silang atau penjelasan terkait antara satu karya dengan karya yang lain, sehingga tampak berkelindan dan saling melengkapi. Dan gaya seperti ini menjadi bukti para sarjana yang menyatakan bahwa tulisan-tulisan itu disusun lebih-kurang dalam waktu yang bersamaan.
Kecerdasan intelktual membawanya ke Aleppo, di sana Suhrawardî memulai karir dan pengabdiannya pada pangeran Al-Malik Al-Zahîr Ghazî, seorang gubernur Aleppo yang juga dikenal sebagai Malik Zahîr Syah, putra Sultan Shalah Al-Dîn Al-Ayubî yang dijuluki “raja Saladin”. Kebrilianan dalam berpikir mengangkatnya pada posisi penting yang setara dengan penasehat raja, dan sederajat dengan para menteri dan hakim-hakim agung kerajaan. Kesibukannya di istana tidak membuatnya lalai pada proyek yang dimilikinya, malah saat-saat itulah ia berhasil menyempurnakan konsep Iluminasinya dengan kehadiran buku monumentalnya yang dikenal dengan Hikmah Al-Isyrâq.
 
Adanya buku tersebut membawanya unggul di atas para fuqaha, astronom dan teolog Istana. Bahkan terpercik keinginan sang pangeran untuk mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan filsafatnya pada khalayak publik. Dan tak pelak lagi, istimewanya posisi Suhrawardî dihadapan pangeran bersinggungan dengan intrik-intrik politik yang melahirkan kecemburuan para hakim, menteri, fuqaha, serta para pembesar-pembesar Aleppo lainya. Tuduhan-tuduhan tak senonoh pun tersebar, isu “zindik”, pengrusak agama, bahkan ke-Syiahan Suhrawardî yang dulu dianggap biasa, kini menjadi momok dan sasaran empuk untuk menyisihkannya dari taman istana. Puncak tuduhan itu terjadi ketika sampainya surat Qadhi Al-Fahdîl yang berisi pemberitahuan isu-isu yang tersebar di istana pada raja Saladin di Mesir, dan dengan kepercayaan yang begitu tinggi (pada Qadhi tersebut) raja Saladin memerintahkan Malik Zahîr Syah untuk mengeksekusi Suhrawardî di Aleppo. (Moh Ali Abû Rayân, t.t . 484).

Walaupun demikian, validitas cerita ini masih kontroversi dan “debatable”, tapi telaah yang berhasil dibuktikan adalah eksekusi mati Suhrawardî bersifat politis, akibat adanya kecurigaan pemuka-pemuka istana pada “doktrin politik Iluminasi”—yang didasari pikiran Syiah Imamiyah—yang telurkan oleh Suhrawardî, dan mirip dengan teori Al-Farabi dalam “Madînah Al-Fadhîlah”. Kehawatiran ini pun didorong dengan memuncaknya konflik politik dan militer yang berlangsung antara pasukan Muslim dengan prajurit raja Inggris perbatasan. Ditambah pertempuran-pertempuran besar umat Muslimin dengan pemeluk Nasrani saat memperebutkan tanah suci Palestina, sehingga sekecil apapun gerakan mencurigakan langsung ditindak tegas tanpa pertimbangan yang lebih lanjut.

Walaupun akhir perjalanan hidup Suhrawardî masih menjadi dilema sejarah, tapi satu hal yang pasti; ia mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pemikiran filosofis di masa selanjutnya, begitupun keberhasilannya mendirikan Madrasah Isyrâqiyyah yang kelak menjelma menjadi mazhab Isfahân, tempat bernaung para “Urafâ” mempelajari kansep-konsep ketuhanan dan Iluminasi, adalah fakta-fakta yang disepakati oleh semua penulis biografi Suhrawardî.

Kemunculan Filsafat Iluminasi
Dari sudut tekstual, kemunculan filsafat Iluminasi (Isyrâq) dimulai dalam buku Al-Talwihat. Buku tersebut memaparkan latar belakang, visi-misi, aturan, kaidah, serta argumen-argumen dasar yang menjadi landasan filsafat Iluminasi. Semuanya dipaparkan begitu jelas, dan dengan argumen demonstratif Suhrawardî menceritakan sebuah kisah fiktif yang memuat mimpinya bersama Aristoteles, yang dengan raut sedih mengutarakan rasa kekecewaannya pada kelompok Peripatetik Muslim yang dipelopori Ibnu Sina, karena di anggap gagal mencapai visi-misi filosofis ketimuran, dan meraih tingkat kebijaksanaan diri, pengejawantahan sendi-sendi kebenarannya dalam tatanan praktis seperti yang lakukan pembesar-pembesar sufi, Abu Yazid Al-Bustami dan Halaj. 

Kegagalan kelompok Peripatetik diakibatkan permasalahan yang fundamental (Asasi), yang berakhir pada konklusi berbeda. Kaum Peripatetik selalu membatasi kebenaran pada limit dan nilai-nilai demonstratif, yang akhirnya membelenggu mereka pada lingkaran teoretis saja. Sedangkan kelompok sufi melandasi pengetahuannya pada pemahaman “akan-diri-sendiri” (bi ma`rifati nafsihi) yang diperoleh melaui sensitifitas jiwa dengan mengikis sifat-sifat kotor yang menyelimuti cahaya hati dan proses penambahan intensitas[cahaya]nya dengan merasakan kehadiran zat suprarasional yang membimbing hati pada jalan yang terang.

Jenis pengetahuan seperti dikenal dengan “pengetahuan melalui Iluminasi dan kehadiran”. Modus asketik kaum sufistik berhasil mengangkat meraka terbang mencapai kesatuan bersama Intelek Aktif (Al-Aql Al-Faâl) dan melampaui capaian-capaian filsafat diskursif, dan lagi-lagi fantasi itu hanya ditempuh dengan menyandarkan diri pada pengalaman-pengalaman spiritual mistik. Walhasil, kebenaran-kebenaran yang diraih dapat dengan mudah diejawantahkan dalam tatanan praktis, menebarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan seperti halnya para filosof, nabi dan para imam. (Moh Ali Abû Rayân, opcit, 264).

Mengenai pengetahuan mistik Iluminatif, ia tidak memarginalkan demonstrasi akal—seperti yang diceritakan sarjana-sarjana Timur modern—, hanya  saja modus kontemplasi pada kekuatan imajinasi dan intuisi, pelepasan jiwa dari kerendahan jasad, lebih menjadi prioritas menempuh pengetahuan metafisik, tapi setelah itu ditemukan argumen-argumen filosofis diskursif memainkan perannya dan melakukan penalaran layaknya kaum Peripatetik Muslim.

Selain fakta kegagalan kaum Peripatetik Mulsim, kemunculan filsafat Iluminasi juga bermuara dari ke-inkonsistensi-an filsafat Timur (Al-Falsafah Al-Masyriqiyyah) pada ranah logis, epistemologis, bahkan area [sensitif] metafisis. Filsafat Timur yang dipahami Ibnu Sina sebagai usaha mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi atas realitas teoretis dan praktis sesuai kemampuan manusia, yang tidak didasari pada rasionalisasi semata, melainkan juga pada supra-imajinasi (Moh Ali Abû Rayân, opcit, 268). gagal direalisasikan pada tatanan praktis. Bahkan terjadi monopoli Peripatetik di atas dasar imajinasi, yang seharusnya [kedua landasan ini] berperan sama dan saling bersandingan. Begitupun peletakan Kararsi Fi Al-Hikmah dan Mantiq Al-Masyriqiyyin yang dinisbatkan Ibnu Sina sebagai metode dasar “orang Timur” dalam berfilsafat, juga tidak sesuai dengan alam Timur yang menginginkan kaidah-kaidah yang berbeda dengan kelompok Peripatetik. (Henri Corbin, t.t. hal. 30)

Diantara kritikan Suhrawardî pada gurunya Syaikhu Râis, adalah penolakan Mantik Masyriqiyyin dan Kararsis Fi Al-Hikmah sebagai landasan dasar filsafat Iluminasi (filsafat alam Timur) dan penentangan tersebut didasarkan pada kecurigaan susunan kaidah logika kedua manhaj yang semata adalah reinkarnasi dari teks-teks logika standar kaum Peripatetik. Lebih jauh lagi Suhrawardî menekankan, bahwa modifikasi-modifikasi sederhana yang dilakukan Ibnu Sina tidak menjadikan ia sebagai filosof Timur.

Suhrawardî tidak mengingkari Ibnu Sina sebagai sebagai peletak pertama pandangan filsafat Timur, bahkan beberapa istilah, teks-teks, metode, bahkan sebagian landasan yang digunakannya dalam Hikmah Al-Isyrâq banyak digunakan. Tapi fakta-fakta ini tidak membenarkan konklusi bahwa munculnya filsafat Iluminasi sebagai alegoris dari filsafat Timur Ibnu Sina, karena sumer-sumber yang digunakan tidak hanya bermuara pada Ibnu Sina saja, melainkan banyak guru-guru lain yang dielaborasinya. Dan dengan demikian penulis tetap meyakini bahwa filsafat Iluminasi milik Suhrawardî semata.

Epistemologi Isyraqiyyah
Pada pembahasan ini, kiranya perlu ditekankan bahwa prinsip dasar pengetahuan Iluminasionis adalah pengalaman visioner, yang dirasakan subjek pada tingkatan ketiga setelah Cahaya Ilahi merasuk ke dalam jiwanya, pada saat itulah ia telah mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran yang tak terbatas. Dan itu diungkapkan dalam perkataan, “mengetahui sesuatu, berarti memperoleh pengalaman tentangnya”. 

Dari jenis keilmuan, filsafat iluminsionisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian dari pengetahuan khudluri (knowledge by preson). Ilmu khudluri adalah ilmu yang didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman kehidupannya. Dalam pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta obyek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah. Kemanunggalan subyek dan obyek pengetahuan ini adalah istanta (instance/mishdaq)(ultimate reality). paling sempurna dari kehadiran obyek pengetahuan pada subyek pengetahuan. Karena prinsip dasar illuminasionis adalah mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Yang ingin dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah pengalaman pribadinya sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik tertentu bisa mencapai realitas puncak tertinggi.

Dengan demikian, metodologi untuk mendapatkan pengetahuan ini bukanlah melalui terapan indera, tetapi melalui pelatihan spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam ini, sarana yang dibutuhkan adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang yang mencapai kebersihan hati, maka secara langsung akan mendapatkan pengalaman tentang realitas hakiki (ultimate reality). Dalam perolehannya jiwa atau hati (qolb)(mukasyafah) sehingga akan terlimpahi oleh pancaran cahaya dari sumber cahaya itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Suhrawardi sendiri bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memperivikasinya secara logis rasional, mengalami keterbukaan.Jadi seperti yang dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan luhur.

Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam materi.

Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.

Menurutnya ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah) serta mendapatkan apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, didasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.
 
Dalam kerangka epistemologis filsafat Iluminasi, itu bermuara pada tiga teori; pemahaman hakikat Cahaya dan sifat-sifatnya, teori Cahaya dari segala cahaya (Nûr Al-Anwâr), dan yang terakhir proses penciptaan semesta berdasarka kaidah Isyrâq.

1. Hakikat Cahaya Murni (Wujud Cahaya Agung) dan sifat-sifatNya  
Dalam buku Hikmah Al-Isyrâq, tepatnya dalam pembahasan macam-macam cahaya, guru besar Iluminasi (Suhrawardî) beranggapan bahwa Cahaya Murni—dengan C besar—merupakan suatu hakikat, yang nyata dan aksiomatik, tidak memerlukan penjelasan dan definisi. Cahaya adalah sesutau yang terang, gamblang, yang eksistensinya dibutuhkan oleh benda-benda yang menyusun eksistensi alam semesta; cahaya tidak murni, substansi gelap dan aksiden-aksiden gelap, (Henri Corbin, opcit, hal. 106) sehingga tidak ada cahaya yang lebih terang kecuali Cahaya itu sendiri. Dan yang di maksud dengan Cahaya—dengan C besar—yang tidak memerlukan definisi, adalah Cahaya Murni, yang menjadi sebab wujud setiap eksistensi di alam semesta ini. Dan eksistensinya tidak bergantung pada wujud yang lain.

Sebagaimana lazimnya cahaya selalu tampak jelas dan terang, baik dalam hakikat ataupun zatnya secara esensial, selalu memberikan penerangan (pancaran) bagi yang lainnya, kejelasan dan keterangan cahaya memanglah bersifat esensial, dan ini juga membuktikan bahwa cahaya (esensi) itu lebih terang, dari pada sesuatu yang becahaya tapi sifat terangnya bersifat non-esensial. 

Begitupun kehadiran cahaya-cahaya yang tidak murni, mereka bukanlah sederetan sifat tambahan pada zatnya. Cahaya-cahaya ini secara esensial tidak tersembunyi dan juga tidak tampak, bahkan terkadang terang dan kehadirannya bersifat non-esensial. Hakikat Cahaya Murni murni adalah tidak dapat diindra, tidak bisa di tunjuk, tidak memiliki arah, dan sebaliknya setiap cahaya yang sensibel adalah cayaha tak murni. 

Cahaya murni memancar untuk dirinya sendiri (linafsihi), tidak bergantung kepada yang lain dan beradi dengan substansinya sendiri. Cahaya tak murni adalah cahaya yang bukan bercahaya dari dirinya sendiri, karena eksistensi dan keberadaanya tidaklah mandiri, selalu membutuh pada wujud dan realitas yang lain. Dan ketiadaan wujud yang lainpun meniscayakan ketiadaan cahayanya.

Cahaya Murni memiliki pengetahuan dan mengetahui zatnya sendiri. Dan pengetahuan Cahaya Murni pada wujud dan zatnya bersifat hudhuri (hadir secara langsung), bukan dengan husuli (melalui penggambaran pikiran) karena pengetahuan cahaya pada zatnya sendiri yang dihasilkan melaui gambaran, senantiasa berada diluar [zat] subjek. Karena dalam kenyataannya, objek yang dipahami hanyalah gambaran dari zat bukanlah esensi asli yang mewujud dalam zat. 

Sifat Cahaya Murni yang mengetahui zatnya sendiri, menandakan ia hidup, berpengetahuan dan memiliki aktivitas. Adapun benda gelap, substansi, dan aksiden-aksiden gelap lainnya, mereka diam dan tidak memiliki pengetahuan pada zatnya sendiri, karena mereka memiliki kebergantungan pada wujud yang lain, dan kediamannya meniscayakan tidak adanya pengetahuan dan aktivitas (diam).

Cahaya Murni memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, dijabarkan oleh Suhrawardi dalam satu perumpamaan sederhana yang mengangkat eksistensi A sebagai penyebab keberadaan, dan pengetahuan bagi eksistensi B. Dengan demikian, mejadi sebuah keharusan, bahwa A mengtahui dirinya sendiri dan mengetahui segala eksistensi dan wujud-wujud B. Sedangkan B tidak bisa menghasilkan penetahuan akan dari dirinya sendiri karena esensinya bergantung pada eksistensi A, yang menjadi sebab keberadaannya.

Berdasarkan substansinya tidak ada satu faktor pun yang dapat mengubah suatu hakikat yang memiliki pengetahian atas zatnya sendiri, menjadi hakikat yang tidak mengaetahui dirinya sendiri. dan begitupun tidak ada satupun faktor yang dapat merubah posisinya menjadi realitas yang tak berilmu menjadi hakikat yang mengetahui dirinya sendiri. Tapi apakah sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan pada dirinya sendiri menjadi esensial yang berpengetahuan? Hal itu mungkin dan jika pengetahuan yang dimiliki Cahaya Murnii dihadirkan dalam esensinya. (Ibid, hal. 110).

2.      Nur al-Anwar (Cahaya segala cahaya)
Perbedaan cahaya-cahaya murni adalah sifat gradasional, yaitu tingkatan masing-maing cahaya. Semua cahaya-cahaya murni dipandang dari zat dan hakikatnya adalah satu. Perbedaannya hanya terdiri dari aspek kesempurnaan, kekurangan, aksiden-aksiden, yang ada di luar zat. Karena jika perbedaan itu terletak pada zat, maka setiap dari cahaya-cahaya itu akan tersusun dari dua deferensia yang saling bertentangan, dan ini akan merujuk pada dualisme wujud cahaya, yaitu; gelap dan terang. Sedangkan dualisme dalam satu zat yang sama adalah hal yang mustahil. (Ibid, hal. 121).

Nûr Al-Anwâr tidak terdapat perbedaan antara zat dan hakikatnya, keduanya adalah satu dan bukan unsur yang berlainan, bahkan bertentangan (cahaya dan kegelapan). (Ibid, hal 117). Wujud Cahaya di atas cahaya, adalah sebuah keniscayaan dan dapat dibuktikan dengan penalaran pada ungkapan logis, “jikalau Cahaya Murni itu begantung pada realitas yang lain, maka kebutuhannya memuat ia menjaid substansi gelap atau benda tak hidup (karena ia butuh pada wujud yang lain), dan jikalau ia benda gelap maka ia membutuhkan pada Cahaya Murni, yang lain. Sedangkan perputaran hukum penciptaan pada rantai yang tak terhingga adalah mustahil terjadi. Dan karena ketakterhinggaan adalah mustahil maka sebab keberadaan Cahaya Murni haruslah ada dan cahaya ini tidak lain adalah Cahaya segala cahaya (Nur Al-Anwar).
 
Kebutuhan setiap eksistensi pada faktor pencipta, menetapkan sifat kemanunggalannya (Cahaya segala cahaya). Karena jikalau terdapat dua Cahaya Murni yang tak saling membutuhkan adalah mustahil, karena kedua cahaya ini dari sisi zat dan hakikatnya sama, dan kesamaan kepribadian keduanya mustahil menjadi penyebab perbedaan cahaya-cahaya yang ada. 

3.      Proses penciptaan [semesta] berdasarkan kaidah Isyrâq
Dalam pemaparan teori penciptaan, Suhrawardî sepakat dengan pandangan kaum Peripatetik yang meyakini bahwa “Zat manunggal hanya memancarkan pada satu bentuk yang tunggal”. Nur Al-Anwar yang ditegaskan sebelumnya sebagai sumber penciptaan hanya memancarkan cahayaNya pada satu Cahaya murni yang juga memiliki sifat yang sama dengan Nur Al-Anwar. Pemancaran cahaya ini diakibatkan oleh aktivitas Nur Al-Anwar yang senantiasa memancarkan cahaya dari substansinya. Dan sebenarnya mata rantai dari aktivitas Nur Al-Anwar inilah, yang dalam pemikiran kelompok Iluminasioner mendasari perannya (Nur Al-Anwar) sebagai pencipta alam semesta. 

Sebagai hasil pemancaran cahaya substansinya terjadilah satu pelimpahan atau emanasi pada Cahaya Murni-pertama dan dibarengi dengan satu materi alam abadi (yang disebut dengan Huyuli) yang menjadi materi dasar pembentuk alam semesta. Cahaya murni pertama ini, seperti Nur Al-Anwar dicirikan oleh aktivitasnya yang serupa, yaitu meneruma pancaran cahaya Nur Al-Anwar dan memancarkan CahayaNya kembali dari substansinya. Tapi walaupun demikiran keduanya tetap memiliki perbedaan fundamental, baik dalam zat ataupun strata fungsionalnya. 

Sang guru besar (Suhrawardî) menjelaskannya dalam satu contoh sederhana yang mengambarkan proses pemancaran Nur Al-Anwar pada Cahaya Murni-pertama. Nur Al-Anwar digambarkan sebagai Matahari sedangkan Cahaya murni-pertama adalah cermin, pancaran sinar matahari yang tak beraturan tertampi dalam sebuah cermin yang dengannya terpantul sebuah cahaya yang berbeda dari cahaya sebelumnya. Keduanya sama-sama memancarkan cahaya, tetapi cahaya yang dipancarkan cermin tidaklah sama dengan cahaya Matahari, karena cermin hanyalah perantara yang menerima cahaya yang besar dan memantulkan cahaya sesuai kemampuannya.

Proses menerima dan memancarkan cahaya, terus diulangi Suhrawardî sebagai proses penciptaan alam semesta, dan keberadaan cahaya-cahaya murni yang mengelilinginya. Dan proses pemancaran dari setiap Cahaya Murni, selalu disertai oleh materi-materi yang menjadi susunan dalam tatanan cosmos. Seperti pemancaran Cahaya Murni-kedua pada cahaya murni ketiga disertai dengan bola-bola langit yang bersesuaian dengannya, yaitu langit pertama. Dan akhir dari proses emanasional adalah dunia sublanatural yang terletak di bawah alam bulan, tempat hidupnya manusia dan mahluk-mahluk lain yang juga menerima pancaran dari Cahaya Murni-kesepuluh.

Proses emanasi dari Cahaya Nur Al-Anwar ke materi-materi yang ada di alam semesta, adalah pengerucutan cahaya dari bentuknya yang supra-kemilau ke dalam bentuk parsial sesuai kemamuan penerimannya. Dan inilah bukti kebenaran ungkapkan Ibnu Sina saat mengatakan bahwa nabi Muhammad adalah bentuk sesempurnaan Cahaya Al-Wujud, namun ia akan menjelma sebagaimana seseorang menangkap pancaran cahayanya. Subjek yang berjiwa rendah, akan mengatakan Muhammad layaknya manusia biasa. Adapun bagi subjek yang memiliki jiwa yang sedikit bercahaya, akan mendapatkan kebijakan-kebijaannya dalam jumlah yang terbagas. Sedangkan bagi subjek yang mempunyai jiwa yang tercerahkan akan merasakan pancaran yang begitu sempurna dari diri Muhammad, karena ia adalah “sebentuk dari kesempurnaan zat yang Maha Sempurna”.

"Dilihat secara keseluruhan tujuan filsafat Iluminasi diarahkan pada sasaran yang bersifat teoretis di samping sisi praktis yang dapat dicapai, arah tersebut dimulai dengan penyucian diri dari segalala kotoran, baik secara ruhani ataupun jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai tahapan awal penjalinan hubungan dengan Cahaya Murni-kesepuluh yang menjadi medium antara dunia materi dan imateri. Cahaya Murni-kesepuluh adalah emanasi dari “Wujud Cahaya Agung” yang nantinya akan menganugrahkan pengalaman visioner  setelah subjek berhasil menapaki syarat dan ritual-ritual yang telah ditentukan sebelumnya. Merasuknya Cahaya-cahaya Murni ke dalam subjek mengantarkan pada pengetahuan yang tidak diperoleh melalui proses berfikir, kejadian ini berlangsung pada alam kusus yang disebut dengan mundus imaginalis (Al-Âlam Al-Mitsâli). Adapun tahapan selanjutnya ditempuh dengan pendemostrasian dengan landasan logis, epistemologis dan metafisika Aristotelian Timur (Al-Mayaiun Al-Syarqiyun) sebgai cara intensif menjabarkan dari simbol-simbol bahasa yang dimengerti tetapi sulit diungkapkan."

DAFTAR BACAAN
Henri Corbin, Histoire De La Philosophie Islamique, diarabkan oleh Nasr Morwa & Hasan Kobeissi, dengan judul Târîkh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, Ouiedat, Beirut, cet II, 1983.
Moh Ali Abû Rayân, Ushûl Al-Falsafah Al-Isyrâqiyyah, Maktabah Angglo, Kairo, cet I, 1959.
Mahmûd Muhammad Alî Muhammad, Al-Mantiq Al-Isyrâqy `Inda Syihab Al-Dîn Al-Suhrawardî, Misr El-Arabiyyah, Kairo, cet I, 1999.
Moh Ali Abû Rayân, Târîkh Al-Fikr Al-Falsafî fî Al-Islâm, Dar el-Ma`rifah, Iskandariyah, t.t.
Henri Corbin, Haiah El-Ammah Li Qushur El-Tsaqafah, vol II, t.t.
Dr. Ghilam Husein El-Ibrâhêm El-Dinâni, Isyrâq Al-Fikr wa Al-Syuhûd Fi Falsafah Al-Suhrawardî, Dar El-Hadi, Beirut, cet I, 2005.
Sayed Hosen Nasr & Oliver Lehman, History of Islamic Philosophy, diindonesiakan oleh Mizan, dengan judul Ensiklopedi Tematis Filsafat Ilsam, Mizan, Bandung, cet I, 2003.
Mahredad Mahren, Falsafah Al-Syarq,








1 comment:

Surah Al-Fatihah, menjadi pembuka & Kunci kehidupan di Dunia & Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم Asma Alloh harus digunakan dalam kehidupan (bukan sekedar dibaca/dijadikan wiridan saja) الحمد لله رب العالمين...